Pertimbangkan Ulang ”Burden Sharing”, Neraca BI Bisa Defisit Rp 21,8 Triliun
›
Pertimbangkan Ulang ”Burden...
Iklan
Pertimbangkan Ulang ”Burden Sharing”, Neraca BI Bisa Defisit Rp 21,8 Triliun
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, mekanisme ”burden sharing” perlu dipertimbangkan ulang untuk tahun depan karena neraca keuangan BI diperkirakan defisit Rp 21,8 triliun pada 2021 sebagai dampak ”burden sharing”.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
Di tengah guliran pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Bank Indonesia dan independensi bank sentral tersebut, tugas Bank Indonesia mencukupi likuiditas pembiayaan nasional makin berat. Bahkan, pimpinan tertinggi Bank Indonesia memaparkan secara gamblang risiko dan konsekuensi atas perannya tersebut.
Di masa pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas ekonomi terhenti, berbagai stimulus dan kebijakan moneter telah dikeluarkan Bank Indonesia (BI) untuk memastikan kecukupan likuiditas. BI diminta membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana melalui skema berbagi beban atau burden sharing.
BI juga masih melanjutkan kebijakan membeli SBN dari perbankan di pasar sekunder melalui mekanisme lelang term repo. Kebijakan BI terbaru adalah pemberlakuan suku bunga 1,5 persen untuk jasa giro bagi penempatan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan. Sebelumnya, BI tidak pernah mengambil kebijakan tersebut.
Skema burden sharing antara pemerintah dan BI bakal menimbulkan risiko keuangan dan kelembagaan. Pada 2021, neraca keuangan BI diperkirakan defisit Rp 21,8 triliun sehingga perlu ada alternatif kebijakan selain burden sharing. Risiko berpotensi akan lebih besar karena pemerintah dan BI menyepakati skema itu diperpanjang hingga 2022.
Dalam skema burden sharing, BI dapat membeli surat utang pemerintah di pasar perdana melalui mekanisme pasar ataupun secara langsung. Mengutip data BI per 15 September 2020, pembelian surat berharga negara melalui mekanisme pasar Rp 51,17 triliun, sementara secara langsung Rp 183,48 triliun.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menuturkan, mekanisme burden sharing perlu dipertimbangkan ulang untuk tahun depan karena neraca keuangan BI diperkirakan defisit Rp 21,8 triliun pada 2021 sebagai dampak burden sharing. Penerimaan dari devisa asing juga akan berkurang karena suku bunga global turun.
”BI sudah melakukan efisiensi operasi moneter. Dulu, sebagian pakai sertifikat bank indonesia sekarang hampir semua surat berharga negara. Namun, SBN yang BI miliki juga sebagian untuk burden sharing sehingga bebannya BI juga untuk mendanai APBN,” ujar Perry dalam rapat kerja virtual bersama Komisi XI DPR RI, Senin (28/9/2020).
Mekanisme burden sharing perlu dipertimbangkan ulang untuk tahun depan karena neraca keuangan BI diperkirakan defisit Rp 21,8 triliun pada 2021 sebagai dampak burden sharing.
Pada 2021, pemerintah dan BI sepakat melanjutkan skema burden sharing melalui mekanisme pasar. BI bertindak sebagai pembeli siaga (stand by buyer) apabila SBN yang diterbitkan pemerintah tidak terserap pasar. BI dapat membeli sampai dengan 25 persen dari total lelang.
Menurut Perry, kebijakan itu dimungkinkan karena tren inflasi rendah dan kebutuhan pembiayaan tahun depan masih tinggi. BI juga telah menyiapkan skenario jika tren inflasi mengalami pembalikan atau tiba-tiba meningkat. Salah satunya, dengan menggeser kelebihan likuiditas perbankan ke APBN.
Sementara itu, skema burden sharing melalui pembelian langsung tidak dilanjutkan. BI dan Kementerian Keuangan dalam surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani pada 7 Juli 2020 berkomitmen pembelian SBN secara langsung hanya berlaku atau diterapkan sekali pada 2020 atau one off. Tujuannya, menjaga mekanisme pasar surat utang.
”Berbagai skenario sudah dipikirkan pemerintah dan BI dengan memantau perkembangan terkini,” kata Perry.
Alternatif kebijakan
Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, berpendapat, skema burden sharing menciptakan risiko kelembagaan yang mesti disiapkan mitigasinya. Bahkan, perlu ada alternatif kebijakan pendanaan APBN selain dengan burden sharing antara pemerintah dan BI. Jangan sampai BI menanggung beban terlalu besar.
”Risikonya akan membuat BI secara institusional keliatan mengalami kejatuhan. Harus disiapkan alternatif kebijakan baru,” kata Misbakhun.
Di sisi lain, pendanaan APBN dengan skema burden sharing juga berpotensi tidak terserap optimal tahun 2020. Hal itu tecermin dari kebijakan penggunaan anggaran hingga tahun berikutnya (carry over) yang disepakati pemerintah dan BI. Pendanaan melalui burden sharing seharunya dioptimalkan untuk menutup defisit APBN.
Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto berpendapat, skema burden sharing melalui pembelian langsung sebaiknya tidak dilanjutkan tahun depan. Pemerintah dan BI harus menjalankan kebijakan one off sesuai komitmen awal.
”Jika skema burden sharing dalam SKB 2 jalan lagi, ada potensi pasar merespons negatif karena komitmen tidak terealisasi,” katanya.
Jika skema burden sharing dalam SKB 2 jalan lagi, ada potensi pasar merespons negatif karena komitmen tidak terealisasi.
Menurut Handy, skema burden sharing melalui mekanisme pasar masih diperlukan tahun depan. BI perlu membantu pemerintah karena kebutuhan pembiayaan relatif tinggi. Defisit APBN 2021 ditetapkan 5,7 persen produk domestik bruto (PDB) atau setara Rp 1.006,3 triliun.
Sejauh ini, pasar masih merespons positif skema burden sharing melalui mekanisme pasar ataupun langsung karena dampak ke inflasi relatif terbatas dan ekonomi masih terkontraksi. ”Kebutuhan pembiayaan dari pasar juga turun sehingga biaya yang ditanggung pemerintah lebih murah,” ujarnya.