Komnas HAM: Publik Bisa Gugat Pengangkatan Eks Anggota Tim Mawar sebagai Pejabat Kemenhan
›
Komnas HAM: Publik Bisa Gugat ...
Iklan
Komnas HAM: Publik Bisa Gugat Pengangkatan Eks Anggota Tim Mawar sebagai Pejabat Kemenhan
Anggota Komnas HAM, Choirul Anam, menekankan pengangkatan dua eks anggota Tim Mawar sebagai pejabat Kementerian Pertahanan bisa digugat publik di pengadilan. Ada setidaknya tiga kerangka hukum yang bisa tempuh publik.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ikatan Keluarga Orang Hilang atau IKOHI mempertimbangkan upaya hukum apabila surat protes mereka terkait pengangkatan dua perwira tinggi TNI yang terlibat penculikan aktivis tahun 1997-1998 sebagai pejabat Kementerian Pertahanan tak digubris. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menekankan pengangkatan tersebut bisa digugat publik di pengadilan.
Kedua pejabat yang dimaksud ialah Brigadir Jenderal TNI Dadang Hendrayudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Brigjen TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kemenhan. Pengangkatan keduanya melalui Keputusan Presiden Nomor 166/TPA Tahun 2020 tertanggal 23 September 2020 setelah menerima usulan dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Dadang dan Yulius merupakan anggota Tim Mawar yang dinyatakan pengadilan pada April 1999 terlibat dalam penculikan sembilan aktivis pada 1997-1998. Semua anggota Tim Mawar adalah anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Kopassus saat itu dipimpin Prabowo Subianto.
Anggota Komnas HAM, Choirul Anam, Selasa (29/9/2020), di Jakarta, menjelaskan, penculikan aktivis 1997-1998 yang melibatkan Tim Mawar Kopassus merupakan pelanggaran HAM berat. Peristiwa penculikan ini juga diakui Presiden Joko Widodo.
”Dalam dua konteks di atas, keluarga korban bisa menggugat surat keputusan pengangkatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Kerangka dasarnya apakah ini dalam prosesnya melawan hukum atau tidak. Kemudian secara substansi, apakah keputusan yang diambil mencerminkan publik atau tidak,” katanya.
Dia melanjutkan, keluarga korban bisa pula melakukan gugatan perbuatan melakukan hukum (PMH). Gugatan berlandaskan dokumen formal dan informal. Dokumen formal berupa status kasus penculikan aktivis 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. Sementara dokumen informal berupa janji Presiden untuk menyelesaikan kasus ini.
Dia menjelaskan, kerangka hukum PMH adalah kasus pelanggaran HAM berat merupakan kasus pidana dengan karakteristik cepat, berbiaya murah, dan sebagainya. Namun, sudah bertahun-tahun menunggu, kasus tersebut tak kunjung selesai. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Asas kepastian hukum bisa menjadi dasar melakukan gugatan PMH.
”Di level narasi politik ketika kampanye pilpres, dikesankan seolah-olah ini menjadi perhatian dan akan diselesaikan. Tetapi, faktanya malah menciptakan hambatan-hambatan untuk penyelesaiannya. Untuk itu, PMH juga memungkinkan untuk dilakukan," ucapnya.
Di sisi lain, lanjut Anam, publik pun bisa menggugat pemerintah melalui gugatan warga negara (citizen law suit/CLS). ”Melalui CLS, pemerintah bisa didalilkan tidak menyelenggarakan negara dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang baik. Adapun prinsip penyelenggaraan negara yang baik adalah kepedulian terhadap HAM, keadilan, serta kepastian hukum,” ujarnya.
Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin menyatakan sedang menunggu respons pemerintah terkait dengan surat protes terhadap pengangkatan dua eks anggota Tim Mawar di Kementerian Pertahanan. IKOHI melalui surat tersebut meminta Presiden mencabut Keputusan Presiden Nomor 166/TPA Tahun 2020 tertanggal 23 September 2020.
Apabila surat protes ini tak ditanggapi pemerintah, IKOHI akan mempertimbangkan opsi gugatan hukum. ”Untuk langkah hukum, IKOHI akan berkonsultasi dulu dengan pendamping hukum,” ujarnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari berpendapat, gugatan di PTUN bisa berlandaskan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Menurut dia, pengangkatan dua eks Tim Mawar itu bermasalah karena mengabaikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU 30/2014. AUPB meliputi kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang, keterbukaan, kepentingan umum, serta pelayanan yang baik.
”Misalnya, soal asas kepentingan umum, apakah pelantikan (dua eks anggota Tim Mawar) itu menjunjung asas kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi dan kelompoknya?” katanya.
Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak belum merespons pertanyaan Kompas terkait dengan pengangkatan kedua pejabat itu sejak Minggu (27/9/2020). Begitu pula Kepala Biro Humas Sekretariat Jenderal Kemenhan Brigjen TNI Djoko Purwanto (Kompas, 29/9).