Pengendalian Produk Tembakau Disinergikan dengan Pertumbuhan Ekonomi
›
Pengendalian Produk Tembakau...
Iklan
Pengendalian Produk Tembakau Disinergikan dengan Pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan pengendalian produk tembakau harus menyeluruh, seperti kesehatan, pertanian, industri, perpajakan, perdagangan, komunikasi, dan media. Ini agar pengendalian rokok juga berkontribusi pada peningkatan ekonomi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai ekonomi yang tinggi dari produk tembakau membuat dilema dalam upaya penurunan jumlah perokok, penanggulangan kemiskinan, dan pencapaian target pembangunan lainnya. Guna mengatasi hal tersebut, kebijakan pengendalian produk tembakau akan disinergikan dengan aspek pertumbuhan ekonomi.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Pungkas Bahjuri Ali menyampaikan, pengendalian produk tembakau harus menyeluruh dari sektor kesehatan, pertanian, industri, perpajakan, perdagangan, komunikasi, dan media.
”Strategi yang diterapkan dulu itu lebih banyak pada pelarangan, iklan, dan cukai. Namun, aspek lain, termasuk pertanian tembakau, tidak terlalu diperhatikan. Untuk mengurangi rokok tidak ada strategi membunuh petani,” ujarnya dalam simposium secara daring terkait harga rokok, Selasa (29/9/2020).
Secara komprehensif, strategi pengendalian produk tembakau mencakup kebijakan fiskal dan nonfiskal serta strategi khusus bagi petani maupun pekerja. Upaya kebijakan fiskal meliputi penentuan tarif dan regulasi cukai hasil tembakau, sedangkan strategi kebijakan nonfiskal berupa pengaturan iklan, promosi, sponsor, gambar peringatan, dan mendorong adanya kawasan tanpa rokok. Adapun strategi khusus bagi petani di antaranya pendampingan, pengalihan komoditas, serta perlindungan sosial.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Rizkiyana Sukandhi Putra mengatakan, Kementerian Kesehatan tengah berdiskusi dengan sejumlah pihak agar pembuatan kebijakan kesehatan, khususnya pengendalian produk tembakau, dapat seiring sejalan dengan peningkatan ekonomi. Sebab, kebijakan ini erat kaitannya dengan pemenuhan tenaga kerja atau aspek ekonomi lainnya.
”Kita harus melihat bagaimana petani diajarkan agar produk (tembakau) laku terjual di level internasional. Aspek tenaga kerja, produksi, dan kapasitasnya juga harus ditingkatkan, tetapi produk tidak dijual di dalam negeri. Ini akan membuat pendapatan negara tidak berkurang dan menjadi investasi dari negara kita,” ujarnya.
Menurut Koordinator Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T) Adriana Venny, harus ada kesinambungan kebijakan antarkementerian dan lembaga dalam upaya penanggulangan produk tembakau. Sebab, saat ini sejumlah kementerian dan lembaga masih berbeda pandangan terhadap upaya mewujudkan kesehatan masyarakat atau meningkatkan ekonomi negara.
Adriana menilai, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), serta Kementerian PPN/Bappenas terus berupaya agar prevalensi perokok bisa turun. Namun, di sisi lain, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan masih terus berupaya meningkatkan produk tembakau.
Kawasan tanpa rokok
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Kesejahteraan Kementerian PPPA Hendra Jamal mengatakan, ibu hamil yang merokok atau terkena paparan asap rokok akan berakibat pada kesehatan janin dan berpotensi menyebabkan anak menjadi tengkes atau stunting.
Ia pun menegaskan, negara, pemerintah daerah, masyarakat, dan orangtua atau wali berkewajiban serta bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, termasuk dari bahaya paparan asap rokok. Hal ini sesuai dengan amanah Konvensi Hak Anak Tahun 1989, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Meski demikian, hasil evaluasi kabupaten/kota layak anak Kementerian PPA menunjukkan baru 52 persen dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang telah memiliki kebijakan kawasan tanpa rokok dalam bentuk peraturan daerah (perda). Sementara 21 persen kabupaten/kota memiliki kebijakan kawasan tanpa rokok dalam bentuk nonperda dan 27 persen lainnya tidak memiliki kebijakan.
Hendra juga menyatakan pihaknya terus mendorong agar revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau dapat segera diselesaikan. Revisi tersebut akan memastikan rokok dijual dengan harga mahal dan tidak diecer serta ada pengaturan iklan rokok di warung.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2018 tentang proporsi merokok pada anak usia 10-14 tahun, terdapat 0,7 persen anak yang menjadi perokok aktif. Sementara 1,4 persen anak merupakan perokok kadang-kadang dan 2 persen merupakan mantan perokok.
Data tersebut juga menunjukkan sebanyak 95,90 persen anak dikategorikan bukan perokok, tetapi menjadi berisiko menjadi perokok pasif atau terkena paparan asap rokok dari orangtua dan lingkungan sekitar. Padahal, perokok pasif juga sama berbahayanya dengan perokok aktif.