Penindakan Pelanggar Protokol Kesehatan Belum Tegas
Bawaslu mencatat 18 kegiatan kampanye yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Jenis pelanggaran mulai dari tidak membatasi peserta hingga tidak memakai masker dan jaga jarak. Namun, sanksi Bawaslu dinilai tak tegas.
JAKARTA, KOMPAS — Sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada 2020 dinilai belum tegas. Dari 18 kegiatan kampanye yang melanggar protokol kesehatan, Badan Pengawas Pemilu baru memberikan teguran tertulis. Bahkan, penindakan pelanggar protokol kesehatan pun terkesan saling lempar tanggung jawab.
Berdasarkan catatan pengawasan Bawaslu pada 26-27 September 2020, total terdapat 18 kegiatan kampanye yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Jenis pelanggaran itu seperti tidak membatasi jumlah peserta kampanye, peserta kampanye tidak menggunakan masker, tidak menjaga jarak, dan tidak tersedia fasilitas cuci tangan di area kampanye (Kompas, 29/9/2020).
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, saat dihubungi, Selasa (29/9/2020), di Jakarta mengatakan, Bawaslu sudah mengirimkan peringatan tertulis kepada para pelanggar protokol kesehatan saat kampanye tanggal 26-27 September lalu. Peringatan tertulis itu dikeluarkan sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020.
Baca juga : Bawaslu: Pengawasan hingga Penindakan Dilakukan Konsisten
Pasal 88 A PKPU No 13/2020 menyebutkan, apabila ada pihak yang melanggar kewajiban protokol kesehatan, Bawaslu dapat memberikan peringatan tertulis. Apabila sudah diberi peringatan tertulis, tetapi protokol kesehatan tetap tidak dijalankan, Bawaslu bisa menyampaikan rekomendasi kepada kepolisian. Rekomendasi berisi permintaan agar pelanggar diberi sanksi sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Bawaslu provinsi maupun kabupaten/kota sudah mengeluarkan peringatan tertulis kepada para pelanggar protokol kesehatan. Jika melanggar lagi, bisa dikurangi masa kampanyenya selama tiga hari.
”Bawaslu provinsi maupun kabupaten/kota sudah mengeluarkan peringatan tertulis kepada para pelanggar protokol kesehatan. Jika melanggar lagi, bisa dikurangi masa kampanyenya selama tiga hari,” kata Bagja.
Menurut Bagja, Bawaslu membuat tingkatan peringatan sesuai dengan jenis pelanggaran. Bawaslu akan memberikan peringatan tertulis, pembubaran massa, hingga rekomendasi proses pidana umum. Namun, menurut Bagja, belum ada rekomendasi proses pidana umum yang dilayangkan ke kepolisian dari Bawaslu di daerah.
Sejauh ini, peringatan tertulis masih efektif untuk menindak para pelanggar. Setelah diberi peringatan tertulis, sudah ada perubahan sikap untuk menaati protokol kesehatan. ”Kalau memang ada yang setelah ditegur tertulis masih tetap melanggar, kami bisa melaporkan kepada kepolisian agar bisa ditindak pidana umum,” kata Bagja.
Pemetaan Bawaslu
Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (29/9/2020), mengatakan, setiap pelanggaran terhadap protokol kesehatan akan dipetakan oleh Bawaslu. Dari pemetaan itu, Bawaslu berhak menentukan pelanggaran mana yang cukup diberikan peringatan, dibubarkan kegiatannya, atau diberikan sanksi pengurangan waktu kampanye.
Setelah ditentukan sanksinya, Bawaslu akan merekomendasikannya kepada pihak-pihak terkait, baik kepolisian maupun KPU. Pihak yang ditunjuk wajib menindaklanjuti rekomendasi itu.
”Jika itu ranah KPU, tentu kami akan menindaklanjuti, yang kemudian mengoordinasikannya kepada pasangan calon dan tim kampanye,” ujar Raka.
Dalam praktik sejauh ini, lanjut Raka, sering kali antara Bawaslu dan KPU hadir di suatu tempat yang sama agar terjadi koordinasi dalam pengawasan. Koordinasi ini sangat penting karena pilkada tersebar di 270 wilayah dengan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang berbeda-beda.
Apalagi, setiap instansi memiliki pegangan aturan sendiri-sendiri. Misalnya, KPU dan Bawaslu berpegang pada Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19. Sementara kepolisian atau satuan polisi pamong praja bisa mengacu pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, UU Wabah Penyakit, atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
”Jadi, kalau di lapangan terhadap mereka yang nyata-nyata terbukti melanggar dan terpenuhi unsur-unsurnya, menurut saya, ditindak saja sesuai kewenangan masing-masing sehingga tidak banyak terjadi perdebatan lagi. Jadi, sebenarnya sudah dipetakan setiap instansi tugasnya di mana supaya tidak saling lempar tanggung jawab. Maka, koordinasi menjadi penting. Dengan demikian, kita bisa melihat secara lebih komprehensif, publik akan tahu pihak mana yang tidak tegas di lapangan,” ucap Raka.
Jadi, kalau di lapangan terhadap mereka yang nyata-nyata terbukti melanggar dan terpenuhi unsur-unsurnya, ditindak saja sesuai kewenangan masing-masing sehingga tidak banyak terjadi perdebatan lagi. Jadi, sebenarnya sudah dipetakan setiap instansi tugasnya di mana supaya tidak saling lempar tanggung jawab.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono menyampaikan, kepolisian tidak bisa asal memidanakan pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan. Pemberian sanksi telah diatur dalam aturan KPU.
”Ada ketentuan dari KPU yang mengatur tentang sanksi,” ujar Awi.
Regulasi tak sempurna
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai, salah satu dampak dari regulasi yang tidak sempurna dalam penyelenggaraan pemilihan di masa pandemi adalah ketidaksepahaman dan ketidaktegasan terkait skema penegakan hukum dan penjatuhan sanksi.
”Ini sudah bisa diprediksi sejak awal bahwa kemungkinan besar pihak kepolisian akan menyerahkan penegakan hukum kepada kelembagaan penyelenggara pemilihan,” ujar Titi.
Padahal, lanjut Titi, pada saat yang sama, pengaturan yang ada di dalam UU ataupun PKPU juga terbatas terkait upaya memberi efek jera. Rangkaian sanksi teguran, pembubaran, dan larangan berkampanye selama tiga hari terlalu ringan dibandingkan dengan dampak yang diakibatkan pelanggaran protokol kesehatan tersebut terhadap keselamatan dan kesehatan warga negara.
”Kalau masyarakat melihat bahwa pelanggaran protokol kesehatan tidak tertangani dengan baik, stigma bahwa pilkada ini tidak aman dan tidak sehat bisa semakin kuat. Akibatnya, keengganan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pemilihan semakin menguat,” ucapnya.
Titi menambahkan, selama regulasi yang mengatur kepatuhan pada protokol kesehatan masih mengandalkan PKPU, ketidaksepahaman dan saling lempar tanggung jawab dalam praktik di lapangan masih akan terus terjadi. Menurut dia, hal ini harus segera dibenahi dengan penerbitan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu), yang memuat skema penegakan hukum dan sanksi yang memberi efek jera.
Jadi, kalau responsnya dipandang publik malah sebaliknya, lambat dan terkesan mengandalkan KPU, bisa semakin memperkuat stigma dan skeptisme masyarakat bahwa pilkada kali ini tidak menjamin keamanan dan kesehatan pemilih dengan baik. Akhirnya bisa berdampak buruk pada partisipasi dan keterlibatan pemilih dalam proses pemilihan.
Namun, perppu ini juga tidak akan efektif apabila tidak disosialisasikan dan diinternalisasikan dalam waktu yang memadai di antara para pihak yang memiliki otoritas, khususnya KPU, Bawaslu, dan kepolisian.
Baca juga : Ketegasan dan Sanksi Sangat Dibutuhkan untuk Atasi Pelanggaran Protokol Covid-19 di Pilkada
”Apalagi masa kampanye berlangsung cukup panjang, 71 hari. Godaan melakukan pelanggaran, apalagi jelang hari pemilihan, sangat mungkin akan terus terjadi. Jadi, kalau responsnya dipandang publik malah sebaliknya, lambat dan terkesan mengandalkan KPU, bisa semakin memperkuat stigma dan skeptisme masyarakat bahwa pilkada kali ini tidak menjamin keamanan dan kesehatan pemilih dengan baik. Akhirnya bisa berdampak buruk pada partisipasi dan keterlibatan pemilih dalam proses pemilihan,” tutur Titi.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Laura Navila Yamani, mengatakan, pilkada yang dilaksanakan pada masa pandemi membutuhkan peraturan dan sanksi yang tegas, terutama tentang protokol kesehatan. Tanpa regulasi dan sanksi tegas, tahapan pilkada, terutama masa kampanye, berpotensi menularkan Covid-19. Tanpa implementasi peraturan yang tegas, masyarakat pun akan semakin abai terhadap protokol kesehatan.
”Banyak kasus di Indonesia orang tanpa gejala. Mereka bisa saja ikut berkampanye dan ikut mempercepat penularan Covid-19. Apalagi, kondisi penyebaran kasus Covid-19 di Indonesia saat ini masih kritis,” kata Laura.