Penyintas Cemaskan Dampak Kesehatan Jangka Panjang Setelah Pulih
›
Penyintas Cemaskan Dampak...
Iklan
Penyintas Cemaskan Dampak Kesehatan Jangka Panjang Setelah Pulih
Penyintas mulai lebih memperhatikan dampak kesehatan jangka panjang yang timbul dari paparan Covid-19. Meski belum menerima informasi yang lengkap, mereka mengantisipasi dengan menjaga kesehatan diri.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian penyintas Covid-19 mencemaskan kondisi kesehatannya setelah dinyatakan sembuh. Mereka mengantisipasi dampak kesehatan jangka panjang yang timbul setelah terpapar virus korona baru. Tidak banyak informasi sampai ke mereka setelah sembuh dari penyakit ini.
Narasi tentang dampak kesehatan jangka panjang dari Covid-19 memang belum banyak diketahui, tetapi mulai berkembang di sejumlah kalangan penyintas. Rokhidin (41), penyintas Covid-19 yang juga bekerja sebagai tenaga kesehatan, sedikit mengetahui informasi tentang dampak tersebut. Secara konsep, dia meyakini kondisi tubuh mungkin tidak akan pernah sama lagi setelah terpapar Covid-19.
”Saya percaya Covid-19 mungkin berdampak pada kehidupan orang-orang di masa depan, terutama gangguan sistem pernapasan karena organ itu yang paling diserang. Setelah dinyatakan sembuh, saya menuruti saran dokter agar lebih menjaga asupan tubuh,” ucap Rokhidin melalui sambungan telepon, Selasa (29/9/2020).
Warga Kelurahan Pademangan Barat, Pademangan, Jakarta Utara, itu belakangan merasa cepat lelah. Karena itu pula Rokhidin cenderung mengurangi aktivitas setelah dinyatakan sembuh pada akhir Agustus silam. Rokhidin dan istri yang sempat positif kini juga menerapkan protokol kesehatan secara ketat mulai dari memakai masker, kebiasaan cuci tangan, hingga jaga jarak fisik.
Kecemasan serupa dialami Dahlia (38), warga Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Perempuan yang sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng ini sempat mengeluh pusing setelah dinyatakan negatif Covid-19. Meski begitu, dia tidak tahu hal tersebut adalah sakit biasa atau dampak Covid-19.
”Selepas isolasi di rumah sakit, saya hanya merasa pusing-pusing. Saya juga tidak tahu apakah itu pengaruh Covid-19 atau sekadar sugesti karena ada di rumah sakit. Keluhan itu sempat saya sampaikan ke dokter, tetapi dianggap bukan gejala apa-apa,” ungkap penyintas Covid-19 yang sempat dirawat pada bulan Juli lalu.
Para penyintas, termasuk Mochammad Yusro (57), cenderung mengambil langkah antisipatif dengan menjaga kesehatan. Setelah pulih dari Covid-19, Yusro juga lebih ketat menjalankan protokol kesehatan.
”Sekarang saya sudah jarang banget keluar-keluar yang jauh. Sekali pergi keluar pun, masker enggak pernah lepas dari mulut. Saya baru sadar belakangan kalau antisipasi begini penting daripada telanjur terpapar Covid-19 dan harus keluar uang buat tes dan sebagainya,” tutur warga Jakarta Utara itu.
Langkah kewaspadaan dipilih para penyintas atas kesadaran bahwa virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, masih belum jelas dampaknya pada tubuh manusia secara jangka panjang. Sejumlah studi di beberapa negara mulai menyelisik dampak Covid-19 pada tubuh secara jangka panjang.
Riset Trinity College Dublin, Irlandia, mengungkap adanya rasa kelelahan yang terus-menerus dialami 52 penyintas Covid-19, setidaknya selama 10 minggu setelah ”pulih secara klinis” dari Covid-19. Partisipan dalam studi awal yang belum menjalani peer review itu terdiri dari 71 pasien Covid-19 yang pernah dirawat di rumah sakit serta 57 pegawai rumah sakit yang positif Covid-19 dan mengalami sakit ringan. Rata-rata usia mereka 50 tahun.
Dalam riset itu, para peneliti mengkaji sejumlah faktor potensial, termasuk tingkat keparahan penyakitnya, kondisi kesehatan pasien sebelumnya, termasuk depresi. Mereka menemukan bahwa kelelahan dialami baik oleh pasien positif yang pernah dirawat di rumah sakit maupun yang tidak dirawat.
”Ciri-ciri infeksi virus SARS-CoV-2 telah diketahui, tetapi konsekuensi jangka menengah dan panjangnya tetap belum diketahui. Karena itu, perlu ada penelitian lanjutan terhadap dampak Covid-19 secara mendalam,” ujar Liam Townsend, peneliti utama dari St James Hospital and Trinity Translational Medicine Institute, Irlandia.
Studi serupa dilakukan pada pasien Covid-19 yang telah pulang dari rumah sakit di Italia, Juli silam. Peneliti menemukan 87 persen pasien masih merasakan setidaknya satu gejala dalam 60 hari setelah jatuh sakit. Kelelahan dan sesak napas merupakan dua gejala yang paling banyak mereka rasakan.
”Kami melihat bukti ’Covid jangka panjang’ yang semakin banyak, dan kelelahan adalah salah satu efek samping yang banyak dilaporkan. Studi ini menggarisbawahi bahwa kelelahan dialami baik oleh pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan,” kata Michael Head dari University of Southampton, Inggris, yang menjadi salah satu peneliti dalam studi itu.
Dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Erlina Burhan, membenarkan sebagian pasien sembuh yang masih merasakan gejala sisa. Pasien tersebut telah dinyatakan sembuh dari infeksi Covid-19, tetapi masih merasakan gangguan pernapasan.
Gejala sisa umumnya adalah gangguan nyeri di dada. Saat diperiksa, sebagian paru-paru pasien mengalami pemadatan. Erlina merinci, sebagian pasien lainnya ada yang mengeluhkan jantung terlalu berdebar setelah dinyatakan pulih.
”Virus SARS-CoV-2 tampaknya juga menyerang bagian otot jantung pasien. Ada beberapa orang yang mengeluhkan jantung terasa berdegup terlalu kencang. Ada juga yang merasa sesak, tetapi gejala itu perlahan hilang seiring waktu,” jelas Erlina.
Terkait itu, Erlina menyampaikan butuh waktu dan kesabaran dalam pemeriksaan pasien Covid-19. Banyak hal yang dia belum tahu terkait dampak Covid-19 pada kesehatan secara jangka panjang. ”Banyak sekali yang kita belum tahu sehingga kita masih terus pelajari lagi dari pola kelainan pasien,” ujarnya.
Nisreen Alwan, associate professor bidang kesehatan masyarakat di University of Southampton, Inggris, menyatakan studi di sejumlah negara kini mulai fokus terhadap dampak kesehatan Covid-19 secara jangka panjang. ”Pengukuran dampak Covid-19 mulai bergeser dari banyaknya angka kasus kematian, kini sejumlah studi berupaya melihat dampaknya secara jangka panjang pada tubuh manusia,” tuturnya seperti dilaporkan Nature.