Peternak di Blitar Mengeluh Harga Jual Telur Anjlok
›
Peternak di Blitar Mengeluh...
Iklan
Peternak di Blitar Mengeluh Harga Jual Telur Anjlok
Harga telur di tingkat peternak di Blitar Anjlok sampai kisaran Rp 15.000 per kg dari sebelumnya Rp 20.000. Selain Jakarta sebagai pangsa pasar utama sedang PSBB, peternak juga menyoroti SE Dirjen PKH.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
BLITAR, KOMPAS — Peternak ayam layer di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, mengeluh harga jual telur yang merosot hingga kisaran Rp 15.000 per kilogram dari sebelumnya Rp 20.000 per kg. Ini adalah kali kedua harga telur anjlok dalam setahun terakhir setelah awal pandemi Covid-19 lalu.
Peternak menduga ada dua hal yang memengaruhi turunnya harga. Selain Jakarta, sebagai pasar utama telur dari Blitar, tengah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua, peternak menilai keluarnya Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) terkait stabilisasi pasokan dan pembatasan telur tetas ikut memengaruhi.
”Harga turun drastis. Informasi yang saya terima dari poultry, macam-macam penyebabnya. Ada yang bilang karena Suroan (tahun baru hijriah), kebiasaan setiap Agustus harga turun, sampai di Jakarta ada PSBB. Namun, yang pasti mana, saya belum tahu,” ujar Widodo Setiohadi, salah satu peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Selasa (29/9/2020).
Menurut Widodo, harga telur merosot sejak beberapa pekan lalu secara bertahap. Tiga pekan lalu harga turun dari Rp 20.000 per kilogram menjadi Rp 18.000 per kg, lalu Rp 16.000 per kg, hingga hari ini berada di angka Rp 15.300 per kg. Sementara harga di pasar tradisional saat ini Rp 17.000 per kg.
Untungnya, menurut Widodo, tidak ada kendala soal pakan. Widodo pribadi memiliki 2.000 ayam dengan produksi 80 kg per hari. ”Kemarin saya baru saja afkir. Untung harga ayam afkir masih bagus Rp 20.000 per kg dari sebelumnya Rp 16.000 per kg,” ujarnya.
Wakil Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) Blitar Sukarman membenarkan masalah ini. Dia mengatakan, harga telur langsung turun setelah keluar SE dari Dirjen PKH 24 Agustus 2020. Pasalnya, kata Sukarman, SE menyebutkan bahwa telur yang tidak diinkubasi (hatched egg/HE) dapat disalurkan sebagai CSR.
Surat Edaran (SE) Dirjen PKH No 09246T/SE/PK/230./F/08/2020 tentang Pengurangan DOC FS melalui Cutting Hatching Egg (HE) Umur 18 Hari, Penyesuaian Setting HE dan Afkir Dini Parent Stock (PS) Tahun 2020 dinilai menambah stok telur di pasaran sehingga mengakibatkan harga telur di tingkat peternak layer anjlok.
”Yang menjadi latar belakang (keluarnya SE) adalah harga ayam jatuh, produksi telur breeding melimpah. Akhirnya dirjen mengeluarkan SE untuk menyelamatkan harga daging ayam dengan mengurangi jumlah anak ayam,” katanya. Cara mengurangi jumlah anak ayam di antaranya dengan menggunakan telur yang belum ditetaskan untuk kebutuhan CSR.
Pekan lalu, paguyuban dan koperasi peternak ayam layer di Blitar sudah mengirimkan surat ke Dirjen PKH agar SE tersebut ditinjau kembali. Hal serupa dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Blitar.
”Kami setuju perusahaan integrator memberi CSR telur kepada masyarakat, tetapi tidak menggunakan telur HE. Tetapi, menggunakan telur dari peternak layer karena aturannya (Permentan Nomor 32 Tahun 2017) telur HE tidak boleh dikonsumsi,” ucapnya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar Adi Andaka mengatakan, harga telur saat ini memang sedang berada di bawah standar dari harga yang ditetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 sebesar Rp 19.000-Rp 21.000 per kg.
Pemerintah daerah telah memfasilitasi paguyuban peternak dan koperasi di Blitar untuk berkirim surat ke Kementerian Pertanian guna meninjau kembali SE yang dimaksud. Karena berdasarkan informasi ada 7 juta butir telur breeding yang tidak jadi ditetaskan dalam sepekan.
Kami setuju perusahaan integrator memberi CSR telur kepada masyarakat, tetapi tidak menggunakan telur HE. Tetapi menggunakan telur dari peternak layer karena aturannya (Permentan Nomor 32 Tahun 2017) telur HE tidak boleh dikonsumsi.
”Intinya, telur-telur (HE) itu tidak boleh dijual, tetapi dijadikan CSR terkait pandemi. Masyarakat bawah butuh nutrisi. Itu (CSR) sebenarnya tujuan mulia. Sedangkan kalau harus membeli telur dari peternak layer, kan, harus memertimbangkan anggaran dan butuh proses,” katanya.
Di luar masalah tersebut, Pemkab Blitar, kata Adi, juga berusaha mencarikan jalur penjualan telur ke arah timur, tidak hanya ke barat. Selama ini para peternak sudah nyamannya menjual telur ke barat dengan pertimbangan infrastruktur dan transportasinya lebih mudah dibandingkan ke arah timur.
Selama ini 65-70 persen telur produksi Blitar dikirim untuk memasok kebutuhan konsumen di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Sisanya 30-35 persen untuk memenuhi kebutuhan Jawa Timur dan daerah lain. Di Blitar terdapat lebih dari 4.000 peternak layer dengan produksi telur per hari sekitar 1.000 ton.