Sepotong Ayam yang Mewah di Panti Anak Sultra
Jika dikalkulasikan, satu anak rata-rata hanya mendapat Rp 20.000-Rp 22.000 atau sekitar Rp 7.000 untuk satu kali makan. Padahal, jika membeli makanan di pedagang, satu porsi nasi telur di Kendari seharga Rp 15.000.
Tepat setelah nasi putih bersih dari omprengnya, Hasan Ismail menyantap hikmat sepertiga telur mata sapi yang sengaja ia sisihkan. Yang terbaik dimakan terakhir, begitu kira-kira kode etik makannya. Telur, terlebih daging ayam, adalah kemewahan bagi anak penghuni Panti Sosial Anak dan Remaja Dinas Sosial Sulawesi Tenggara di Kendari.
Sepotong tempe dan gulai pakis telah ludes dari nampan aluminiumnya. Remaja 16 tahun ini makan dengan lahap. Dua kali ia menyendok nasi dari bakul yang disiapkan. Nasi adalah satu-satunya yang bisa ditambah saat makan di Panti Sosial Anak dan Remaja (PSAR) Dinas Sosial Sulawesi Tenggara ini. Lauk tidak bisa karena porsi telah dihitung.
Sekejap, telur pun habis. Ia menyapu bumbu di jarinya dengan mulut. Tidak ada yang tersisa dari tempat makannya. Hanya ada sisa-sisa sambal saus berminyak tanda ompreng itu baru habis dipakai makan.
”Enak (masakannya). Kalau tadi pagi sarapan makan telur dadar,” ucap Mail, panggilannya, Selasa (15/9/2020), di kantin panti.
Baca juga : Uang Harian Anak Panti Sosial di Sultra Tertunda
Mail adalah salah satu penghuni panti yang cukup senior. Saat ini, sulung dua bersaudara ini duduk di bangku kelas XI SMA setelah tiga tahun lalu dibawa ke panti. Adiknya, Fikri (15), menetap di kampungnya di Muna.
Sejak kecil, Mail mengaku tidak pernah bertemu ibunya yang entah di mana. Sang ayah juga ia tidak tahu di mana rimbanya. Mail tinggal dan dirawat oleh nenek dan bibinya. Ia bercerita tanpa ekspresi, seolah ayah dan ibu adalah sosok yang tidak istimewa dalam hidupnya.
Tinggal di panti, anak yang bercita-cita jadi tentara ini mengatakan makannya lebih teratur dari sebelumnya. Setiap hari, mereka mendapat jatah makan tiga kali sehari. Pagi, sekitar pukul 07.00, adalah jadwal sarapan. Nasi dan telur menjadi penganan. Siang, setelah azan Dzuhur berkumandang adalah penanda jadwal makan siang tiba. Malam, mulai pukul 19.00 adalah jadwal makan malam sebelum mereka beristirahat.
Menu makan selang-seling, antara telur dan ikan. Menu ayam hanya sepekan sekali. Waktu makan yang paling ia tunggu-tunggu.
”Kalau Rabu itu biasanya makan ayam. Saya biasanya paling pertama di kantin,” ujar Mail cengengesan.
Benar saja, ketika makan siang di hari Rabu tiba, Mail telah selesai lebih dulu dari kawan-kawannya. Opor ayam menjadi menu utama. Sayur sop menjadi pelengkap. Tidak ada tempe lagi siang itu. Harum sepotong kecil daging ayam dengan beberapa sendok kuah tersaji di nampan aluminium. Satu anak mendapat jatah satu potong kecil ayam.
Anisa (14), penghuni panti lainnya, menyantap opor ayam bagiannya hingga hanya tersisa beberapa ruas kecil tulang. Tempat makannya bersih meski ia dua kali menambah nasi untuk makan siangnya.
”Makan banyak tadi,” ucapnya tertawa sembari menutup muka. ”Apalagi makannya ayam hari ini,” kata remaja yang baru masuk dua bulan terakhir ini.
Mail dan Anisa adalah dua dari 50 anak binaan di PSAR. Berbeda dari Mail yang telah bertahun tinggal, Anisa, siswa kelas I SMA, anak ketujuh dari pasangan petani kecil ini, baru saja masuk ke panti. Semua anak di panti ini berasal dari kalangan keluarga tak mampu.
Di panti, setiap anak mendapat jatah makan Rp 25.000 per hari. Hal tersebut sesuai dengan aturan dan alokasi yang dikeluarkan Dinas Sosial Sultra, dinas yang membawahkan panti sosial ini. Anggaran tersebut sebelum dipotong pajak.
Ia telah mengusulkan agar anggaran makan anak-anak bertambah. Setidaknya bisa makan layak dan jauh lebih bergizi dari sebelumnya. (Syahruddin)
Jika dikalkulasikan, satu anak rata-rata hanya mendapat Rp 20.000-Rp 22.000 atau sekitar Rp 7.000 untuk satu kali makan. Padahal, jika membeli makanan di pedagang, satu porsi nasi telur di Kendari seharga Rp 15.000. Nilai Rp 25.000 bahkan hanya senilai satu porsi es kopi susu boba yang saat ini banyak peminatnya.
Baca juga : Bantuan Tunai Rp 83,4 Miliar di Sultra Belum Tersalurkan kepada Warga Terdampak
Jika membandingkan anggaran di panti sosial atau instansi pelayanan lainnya, anggaran makan mencapai Rp 60.000 per orang dalam sehari. Oleh karena itu, mereka tidak bisa makan gorengan sambil meminum teh saban sore. Tak ada anggaran untuk itu.
Jamilah, pihak ketiga yang mengelola makanan di panti ini, menuturkan, ia harus memutar otak dan mencari cara agar anggaran makan ”sebesar” itu cukup untuk kebutuhan anak sehari-hari. Ia mengusahakan agar kandungan gizi anak-anak terpenuhi.
”Kayak bikin telur mata sapi itu kasih banyak bumbunya. Biar enak dan anak-anak bisa campur juga sama tempe. Atau bikin sayur bening biar tidak pakai santan, jadi menghemat. Nanti dikasih tahu atau tempe,” ucapnya.
Namun, jika memasak ayam, Jamilah menyebutkan anggaran Rp 25.000 itu pasti tidak cukup. Terlebih lagi, harga ayam saat ini melonjak selama pandemi. Harga ayam naik hingga Rp 70.000 per ekor. Harga cabai dan bawang juga meroket.
Anggaran sebesar Rp 400 juta untuk 50 anak sejak Maret hingga Desember tidak lagi cukup. Ia tetap berusaha untuk melayani, apalagi anak panti berasal dari keluarga tidak mampu.
”Kita pintar-pintar saja biar cukup. Kalau bicara untung, hampir dibilang tidak ada,” ucap Jamilah.
Tak manusiawi
Anggaran makan memang sangat terbatas bagi anak-anak di panti ini. Sejak bertahun-tahun, alokasi anggaran tidak pernah berubah. Nilainya tetap sama Rp 25.000 per hari untuk satu anak meski inflasi terus terjadi, terlebih terjadi pandemi seperti saat ini.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas PSAR Syahruddin mengungkapkan, nilai tersebut memang sangat kecil untuk biaya makan anak. Angka itu sama seperti ia menjabat tiga tahun lalu, bahkan bertahun-tahun sebelumnya.
Sejak awal, ujar Syahruddin, ia telah mengusulkan agar anggaran makan anak-anak bertambah. Setidaknya bisa makan layak dan jauh lebih bergizi dari sebelumnya. Akan tetapi, Dinas Sosial, juga DPRD Sultra, belum juga menyetujui usulan tersebut. Saat pandemi Covid-19, menjadi beban berat karena seharusnya anak-anak tersebut mendapat gizi lebih agar imun tubuh terjaga.
Alokasi anggaran makan hanya salah satu persoalan di panti ini. Panti ini mendapat alokasi Rp 1 miliar dalam setahun, termasuk biaya makan, keperluan sekolah, uang harian, dan operasional kantor.
”Satu tahun itu cuma dapat alokasi untuk beli satu set pakaian sekolah sebesar Rp 200.000. Sepatu juga Rp 250.000. Mau tidak mau baju sekolah dan sepatu itu cuma satu. Untuk anggaran pakaian pramuka atau olahraga tidak ada,” kata Syahruddin.
Belum lagi terkait uang saku anak yang rutin terlambat. Setiap hari, satu anak mendapatkan uang harian Rp 10.000. Uang tersebut adalah uang saku untuk sekolah atau kebutuhan harian. Saat ini, telah dua bulan uang saku belum juga dibagikan kepada anak.
Hafsah, Bendahara UPTD PSAR, menyampaikan, uang harian anak memang belum diberikan seiring pencairan anggaran yang tertunda. Pihaknya telah melaporkan hal ini ke dinas, tetapi belum mendapatkan jawaban.
”Memang sebelumnya biasanya dirapel dua bulan, tetapi pandemi ini terlambat sampai empat bulan. Makanya, sebelum-sebelumnya kami biasanya gantian untuk menalangi dulu. Namun, belum ada kejelasan lagi,” ucapnya.
Kepala Perwakilan Ombudsman Sulawesi Tenggara Mastri Susilo menilai pemerintah sudah berlaku tidak manusiawi terhadap anak-anak di panti. Sebab, uang saku tersebut merupakan hak anak-anak yang tidak boleh dilewatkan. Jika terlewat, hal tersebut berarti malaadministrasi sekaligus mencederai asas kemanusiaan.
Belum lagi terkait anggaran makanan untuk satu anak sangat sedikit dan bahkan hampir tidak mencukupi. ”Kalau kita makan di luar dengan porsi sederhana saja sudah belasan ribu rupiah. Mereka tidak sampai Rp 25.000 untuk tiga kali makan. Itu jangan-jangan nilai untuk 10 tahun lalu yang masih terus dipakai sampai sekarang,” ucapnya.
Oleh karena itu, ia melanjutkan, Pemprov Sultra harus berbenah dan mengevaluasi segala hal dalam panti. Anak binaan merupakan anak yang dilindungi oleh negara dan wajib mendapatkan perhatian lebih.
Bagi anak-anak di panti, mereka hanya berusaha menikmati ”kemewahan” yang mereka temui setiap hari. Bermain bersama, tidur sekamar bertiga atau berempat, dan memakan ayam sekali setiap pekan menjadi hal yang mengisi keseharian di tengah kerasnya pergulatan hidup. Kemewahan-kemewahan kecil yang telah sangat berarti bagi mereka meski selayaknya mereka mendapatkan kemewahan yang jauh lebih baik.
”Di sini (panti) bisa ketemu teman-teman baru. Mereka juga tidak sombong,” ucap Anisa. ”Apalagi di kampung jarang makan ayam. Biasanya kalau Lebaran saja.”