Beban Ganda Bencana di Musim Hujan
Indonesia perlu mewaspadai dua bencana mulai Oktober 2020, yaitu bencana alam hidrometeorologi dan bencana non-alam pandemi Covid-19. Dalam lima tahun terakhir, 90 persen bencana selalu terjadi di musim hujan.
Memasuki musim hujan Oktober 2020, beban penanggulangan pandemi Covid-19 bertambah dengan kewaspadaan tanggap darurat penanganan bencana hidrometeorologi. Banjir dan tanah longsor harus diwaspadai di tengah pandemi.
Dua bencana menyatu mulai Oktober 2020. Sebelumnya, sejak Maret 2020 bencana non-alam berupa pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia. Pandemi belum juga usai, siklus bencana alam musim hujan harus turut diwaspadai. Di beberapa wilayah, status tanggap darurat bencana hidrometeorologi karena banjir dan tanah longsor mulai diberlakukan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi awal musim hujan tahun 2020 terjadi pada Oktober. Sebanyak 34,8 persen wilayah Indonesia akan memasuki musim hujan lebih awal dibandingkan lainnya.
Salah satu penciri kondisi saat ini adalah meningkatnya intensitas curah hujan harian disertai angin kencang. Bahkan beberapa hari yang lalu, bencana banjir bandang besar melanda wilayah Sukabumi, Jawa Barat, setelah turun hujan lebat selama hampir satu jam.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) beserta Pemerintah Kabupaten Sukabumi menetapkan tiga kecamatan terdampak, yaitu Cicurug, Cidahu, dan Parung, berstatus tanggap darurat bencana selama satu minggu (21-27 September 2020). Total ada 11 desa terdampak.
Berdasarkan analisis sementara BNPB, wilayah banjir merupakan dataran rendah yang berada di bawah kaki Gunung Salak dengan beberapa aliran sungai, yaitu Sungai Citarik-Cipeuncit dan Cibojong. Wilayah tersebut memiliki indeks bahaya sedang hingga tinggi terhadap banjir bandang.
Selama 24 jam terakhir sebelum kejadian, intensitas hujan sangat tinggi, mencapai 120 mm sehingga menyebabkan massa air makin besar. Di sisi lain, ada bentukan bendung alami yang terdiri dari banyak material kayu, batu, dan lainnya. Intensitas air yang membesar mengakibatkan bendung alami tersebut hancur dan mengalir ke daerah lebih rendah.
Selain Sukabumi, kejadian banjir bandang juga melanda lima desa di dua kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah pada 13 Mei 2020. Tak berselang lama, ribuan rumah di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Besar, Aceh Tamiang, dan Lhokseumawe tergenang banjir dari luapan sungai pada 17 Mei 2020.
Banjir dan banjir bandang menjadi kejadian bencana alam yang paling sering terjadi, diikuti puting beliung dan tanah longsor. Data BNPB selama periode 2015-2019 menunjukkan bahwa sedikitnya 90 persen jenis kejadian bencana alam di Indonesia terjadi saat musim hujan. Bencana alam tersebut juga membawa dampak kerugian dari sisi material, dengan estimasi kerugian Rp 97 miliar.
Pandemi belum usai
Kewaspadaan menangani bencana alam sebagai dampak masuknya musim hujan bersamaan dengan upaya pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19. Penambahan kasus harian dan rasio positif yang masih masif menunjukkan belum hilangnya tingkat bahaya penularan infeksi Covid-19.
Rata-rata penambahan kasus terkonfirmasi seminggu terakhir (19-26 September 2020) adalah 4.379 kasus. Kasus tertinggi bahkan menyentuh angka 4.823 kasus pada 25 September 2020.
Sementara rasio positif masih sangat tinggi, mencapai 17,52 persen pada 26 September 2020. Apabila dirata-rata seminggu terakhir, laju penambahannya 16,64 persen. Persentase ini masih di atas dari batasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 persen.
Sebanyak 90 persen kejadian bencana alam di Indonesia terjadi saat musim hujan.
Penambahan kasus harian terbanyak terjadi di Jakarta, yang mencapai 1.322 kasus, disusul Jawa Barat 386 kasus, Jawa Tengah 364 kasus, dan Jawa Timur 279 kasus. Sementara penambahan korban terbanyak terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat, masing-masing 18 orang, Jawa Tengah 14 orang, dan DKI Jakarta 12 orang.
Kondisi mengkhawatirkan pandemi di Indonesia diperparah dengan makin banyaknya kluster penularan, mulai dari kluster perkantoran, tempat ibadah, asrama, hingga rumah tangga. Tantangan krisis penanganan pandemi di Indonesia juga berhadapan dengan jumlah kematian tenaga medis yang tercatat lebih dari 100 orang.
Selain itu, data kapasitas rumah sakit juga menunjukkan kondisi yang makin menipis, khususnya wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Salah satu alasan pemberlakukan kembali PSBB jilid II di DKI Jakarta adalah makin sedikitnya ketersediaan tempat perawatan. Dari 4.053 tempat tidur isolasi yang tersedia khusus untuk pasien dengan gejala sedang, sebanyak 77 persen sudah terpakai.
Situasi krisis
Penanganan situasi krisis tidak terbatas pada bencana alam, tetapi mencakup seluruh kejadian berisiko besar, seperti wabah penyakit. Terlebih, pola virus yang menyerang organ pernapasan selalu menguat saat musim hujan dengan gejala flu, pilek, dan batuk.
Sebuah studi oleh Centre for Infectious Disease dari University of Edinburgh terhadap empat jenis virus korona, yaitu HCoV-229E, HCoV-HKU1, HCoV-NL63, dan HCoV-OC43, mengungkap pola musiman yang cenderung sama dengan virus influenza, yaitu menguat saat suhu harian menurun (musim dingin).
Oktober 2020 yang diperkirakan menjadi awal musim hujan, menggambarkan kejadian bencana yang mampu menimbulkan kerugian yang cukup signifikan. Padahal puncak musim hujan masih akan terjadi pada Januari 2021. Artinya, Indonesia harus bersiap menghadapi risiko besar bencana alam.
Siklus bencana saat musim hujan sebenarnya sudah dapat diprediksi. Beberapa fenomena banjir dan tanah longsor terjadi lagi di lokasi-lokasi yang sama. Apabila hingga kini belum bisa dikendalikan, upaya mitigasi bencana harus lebih ditingkatkan, contohnya banjir di DKI Jakarta dan longsor di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Antisipasi yang segera dapat dilakukan adalah mulai mengeruk sungai dan saluran air di wilayah Ibu Kota.
Kendala utama penanganan bencana di Indonesia adalah implementasi kebijakan menjadi arahan teknis di lapangan. Padahal siklus manajemen kebencanaan telah memberikan tahapan-tahapan dengan jelas. Di samping itu, koordinasi dan pelibatan banyak elemen masyarakat.
Implementasi yang tepat berdampak pada tahapan mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi berjalan dengan lancar. Situasi manajemen bencana bukan hanya untuk bencana alam, melainkan jenis bencana lain, termasuk wabah penyakit.
Pengukuran dan penerapan kesiapan mitigasi wabah penyakit menjadi urgensi, apalagi saat ini Indonesia sedang berada di tengah kondisi pandemi. Oleh sebab itu, merumuskan manajemen risiko di setiap fase, menentukan ukuran penilaian mitigasi, serta menghadirkan paradigma risiko menjadi unsur penting mitigasi wabah.
Berbeda dengan bencana alam yang bisa diperkirakan kapan berakhir dengan tahapan penanganan yang presisi dalam satuan waktu, situasi pandemi sebaliknya. Pandemi menunjukkan kadar ketidakpastian yang tinggi. Masifnya infeksi, anjloknya ekonomi, hingga ancaman kelaparan merupakan bukti ketidakpastian tersebut.
Baca juga : Mengelola Anggaran di Negeri Bencana
Beban ganda Indonesia di akhir tahun 2020 hingga awal tahun 2021 membutuhkan penanganan yang tepat. Apabila target-target yang dirumuskan pemerintah meleset, banyak hal yang dipertaruhkan, seperti keselamatan warga negara hingga pemulihan ekonomi yang lambat.
Di sisi lain, masyarakat tidak bisa hanya berpangku tangan dan berharap pandemi ini berlalu. Di saat seperti inilah, setiap warga negara harus sadar kondisi yang sedang dihadapi, yaitu ancaman bencana hidrometeorologi musim hujan dan pandemi Covid-19, dan berperan aktif dengan beraktivitas sesuai arahan pemerintah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Benarkah Iklim Panas Mampu Menekan Penyebaran Covid-19?