Dua Sisi Wajah Persaingan di Bengkulu
Rekam jejak pengalaman dan modal popularitas akan menjadi persaingan yang sengit di Pilkada Bengkulu. Peta dukungan partai politik juga menambang deretan potensi insentif elektoral bagi pasangan calon.
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu selalu menghadirkan kontestasi yang cukup ketat bagi setiap tokoh politik berpengalaman. Matematika politik tidak sepenuhnya berlaku di tengah lemahnya loyalitas pendukung partai dan kuatnya dukungan terhadap ketokohan.
Proses pendaftaran calon kepala daerah di Bengkulu sempat dikejutkan oleh keikutsertaan Agusrin Maryono Najamuddin bersama Imron Rosyadi. Pasangan yang diusung Partai Gerindra, PKB, dan Perindo ini mendaftar 6 September 2020 atau pada hari terakhir masa pendaftaran calon kepala daerah.
Kehadiran Agusrin sempat menjadi perbincangan hangat mengingat sosok ini sangat dikenal masyarakat di Bengkulu. Sejumlah analis politik lokal juga memprediksi persaingan dalam pilkada di Bengkulu kian ketat berkat hadirnya sejumlah tokoh yang berpengalaman dalam jabatan politik di Bengkulu, termasuk Agusrin.
Agusrin merupakan Gubernur Bengkulu periode 2015-2010 dan 2010-2011. Pada periode kedua jabatan, ia sempat tersandung kasus korupsi pengelolaan dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tahun 2006 sehingga harus mengakhiri jabatannya lebih awal.
Namun, Agusrin dinyatakan tidak memenuhi syarat karena dinilai KPU belum memenuhi ketentuan sesuai Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020, yakni jeda waktu lima tahun setelah bebas dari tahanan. Akibatnya, persis seperti lima tahun lalu, pemilihan gubernur di Bengkulu tahun ini kembali diikuti dua pasangan calon setelah KPU menetapkan calon yang memenuhi syarat.
Figur ketokohan
Calon gubernur ataupun wakil gubernur yang bertarung merupakan figur yang cukup kuat dalam ranah politik lokal di Bengkulu. Pertama adalah pasangan Helmi Hasan dan Muslihan Diding Soetrisno. Helmi adalah Wali Kota Bengkulu yang telah menjabat sejak 2013 lalu.
Sementara Muslihan Diding Soetrisno merupakan tokoh politik lokal yang telah lama malang melintang sebagai pejabat politik sejak tahun 2001, baik sebagai Bupati Bengkulu Utara maupun sebagai anggota DPRD tingkat provinsi.
Pasangan Helmi-Muslihan akan berhadapan dengan Rohidin Mersyah dan Rosjonsyah. Keduanya merupakan tokoh politik yang saat ini masih mengemban jabatan sebagai kepala daerah.
Rohidin Mersyah merupakan Gubernur Bengkulu yang menjabat sejak 2018 setelah menggantikan Ridwan Mukti karena tersandung kasus korupsi. Sementara Rosjonsyah adalah Bupati Lebong selama dua periode yang telah menjabat sejak 2010 lalu.
Hadirnya empat orang yang memiliki latar belakang jabatan politik menggambarkan kuatnya peran ketokohan dalam kontestasi di Bengkulu. Jika melihat jejak kontestasi ke belakang, kondisi ini dapat dipahami mengingat tingginya loyalitas pemilih terhadap figur yang telah berpengalaman menjabat sebagai kepala daerah
Pada Pilkada 2010, misalnya, Agusrin Maryono Najamuddin kembali melenggang sebagai gubernur terpilih. Agusrin merupakan calon petahana yang sebelumnya juga menjabat sebagai Gubernur Bengkulu 2005-2010.
Pada Pilkada 2015, pilkada juga dimenangkan oleh figur yang berpengalaman sebagai kepala daerah. Pasangan Ridwan Mukti dan Rohidin Mersyah berhasil melenggang sebagai kepala daerah di Bengkulu setelah meraup 57,4 persen suara.
Sebelum mencalonkan diri sebagai Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti merupakan Bupati Musi Rawas, Sumatera Selatan, selama dua periode. Meski sebelumnya memimpin daerah di provinsi yang berbeda, kehadiran sosok Ridwan Mukti turut ditopang oleh Rohidin Mersyah yang pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Bengkulu Selatan.
Dari jejak pemilihan gubernur di Bengkulu, tampak jelas bahwa pengalaman sebagai kepala daerah menjadi jembatan untuk memenangi persaingan. Tak ada ruang bagi sosok baru yang tidak berpengalaman sebagai pemimpin daerah dalam setiap kontestasi.
Dengan kondisi ini, persaingan pemilihan kepala daerah tahun ini akan semakin ketat mengingat kedua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur adalah mereka yang telah cukup lama hadir dalam ruang politik di Bengkulu.
Insentif elektoral
Persaingan tampaknya akan lebih banyak dimotori aspek ketokohan dibandingkan peran partai politik. Pasalnya, Bengkulu tidak memiliki basis pemilih yang loyal terhadap partai.
Sebaliknya, daerah ini memiliki basis pemilih yang cukup fanatik terhadap ketokohan. Artinya, basis massa dari partai pengusung bisa jadi tidak begitu memengaruhi hasil suara yang diperoleh.
Minimnya loyalitas pemilih terhadap partai tecermin dalam dua hal, yakni pemilu legislatif dan jejak pilkada sebelumnya. Pada pemilu legislatif, hampir setiap penyelenggaraan pemilu sepanjang reformasi dimenangkan oleh partai yang berbeda. PDI-P, Golkar, Demokrat, dan Nasdem adalah partai pemenang pemilu di Bengkulu secara berturut-turut sejak 1999 hingga 2014.
Praktis hanya PDI-P yang berhasil memenangi pemilu sebanyak dua kali di Bengkulu sepanjang reformasi, yakni pada Pemilu 1999 dan 2019. Namun, kondisi ini juga tidak menggambarkan loyalitas pemilih di Bengkulu terhadap PDI-P. Pasalnya, pada 2019 PDI-P hanya meraih 13,84 persen suara atau unggul tipis dari Golkar (13,81 persen) dan Gerindra (13,23 persen).
Dengan kondisi ini, sulit mengandalkan insentif elektoral dari partai politik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Bengkulu. Apalagi, jejak penyelenggaraan pilkada di Bengkulu pada 2010 membuktikan bahwa calon yang diusung banyak partai justru hanya mampu meraup sedikit suara.
Pada satu sisi, setiap calon berpotensi menang karena memiliki rekam jejak pengalaman politik dan modal popularitas.
Saat itu, pasangan Rosihan Arsyad-Rudi Irawan hanya memperoleh 14,4 persen suara. Padahal, pasangan ini diusung banyak partai di DPRD dibandingkan pasangan calon lainnya, yakni PDI-P, PKB, Hanura, PPP, dan PPD.
Sebaliknya, pada Pilkada 2015, pasangan Sultan Bachtiar Najamudin-Mujiono justru memperoleh suara yang cukup menjanjikan (42,6 persen) meskipun hanya diusung dua partai politik (PDI-P dan Demokrat).
Jabatan sebagai Wakil Gubernur Bengkulu 2013-2015 turut menjadi modal popularitas yang diraih Najamudin. Meski pada akhirnya kalah dalam persaingan, kondisi ini menggambarkan bahwa dukungan partai politik tidak selalu dapat menjadi acuan matematika politik dalam kontestasi di Bengkulu.
Rekam jejak loyalitas pemilih terhadap partai dan figur ketokohan menjadikan Pilkada Bengkulu 2020 semakin menarik dan sulit ditebak. Meskipun dalam pilkada sebelumnya petahana memiliki catatan pertarungan yang sangat baik, ini tidak menjamin pilkada tahun ini akan dengan mudah dimenangkan oleh petahana.
Pada satu sisi, setiap calon berpotensi menang karena memiliki rekam jejak pengalaman politik dan modal popularitas. Sementara di sisi lain, peta dukungan partai politik juga tidak dapat dijadikan potret untuk memetakan kemungkinan raihan suara.
Bertolak dari fakta ini, masa kampanye dari setiap calon kepala daerah akan sangat menentukan basis massa yang diraih. (LITBANG KOMPAS)