Ibu Kota Antisipasi Banjir dan Covid-19 dengan Protokol Kesehatan di Pengungsian
›
Ibu Kota Antisipasi Banjir dan...
Iklan
Ibu Kota Antisipasi Banjir dan Covid-19 dengan Protokol Kesehatan di Pengungsian
Kesulitan warga dalam menjaga jarak jika mengungsi akibat banjir bakal meningkatkan risiko penularan Covid-19 di pengungsian. Selain itu, munculnya penyakit-penyakit khas banjir juga berpotensi menurunkan imunitas.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman banjir membayangi DKI Jakarta menjelang musim hujan 2020-2021 di tengah masih ganasnya penularan Covid-19. Pemerintah Provinsi DKI bersama TNI dan Polri telah menyiapkan skenario pendirian pos pengungsi yang berprotokol kesehatan.
Jika terdapat permukiman yang dilanda banjir dan warganya terpaksa mengevakuasi diri, pengungsian dirancang agar warga tetap bisa menjaga jarak, memakai masker, dan membersihkan diri. ”Mudah-mudahan tidak kejadian, tetapi kalau kejadian, kami siapkan dengan protokol kesehatan,” ucap Gubernur DKI Anies Baswedan, Rabu (30/9/2020), di Jakarta.
Pada Rabu pagi, di Lapangan Promoter Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta Selatan, Gubernur Anies menjadi inspektur apel kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir di Jakarta. Pasukan dari Pemprov, TNI, dan Polri ikut serta dengan membawa, antara lain, perahu, rakit, dan kendaraan taktis. Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana dan Panglima Komando Operasi TNI Angkatan Udara I Marsekal Muda Tri Bowo Budi Santosa turut hadir.
Anies mencontohkan, agar para pengungsi bisa menjaga jarak, tenda yang didirikan akan berjumlah lebih banyak di pos pengungsian jika banjir datang. Selain itu, pihaknya juga merancang skenario evakuasi warga dengan protokol kesehatan sehingga petugas dan sukarelawan juga aman dari penularan SARS-CoV-2.
Sebelumnya, juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menekankan, kebersihan pengungsian akan menjaga para pengungsi dari penyakit-penyakit yang bisa disebabkan oleh musim hujan, seperti demam berdarah dengue, lepra, tifus, diare, dan penyakit kulit. Pada akhirnya, pencegahan penularan penyakit-penyakit itu akan meminimalkan risiko penularan Covid-19 di pengungsian.
”Semua penyakit ini dapat menurunkan imunitas sehingga masyarakat menjadi rentan tertular Covid-19,” ujar Wiku. Jika pembatasan jarak antarpengungsi sulit dipenuhi, pemerintah daerah setempat diminta sebisa mungkin memastikan adanya sirkulasi udara yang baik, sinar matahari yang cukup, dan lokasi bersih.
Anies menambahkan, selama musim hujan nanti, Jakarta menghadapi ancaman dari tiga sumber. Pertama, hujan lebat di daerah hulu yang mengalir masuk Jakarta melalui 13 sungai. Kedua, hujan lokal di Ibu Kota. Ketiga, penurunan muka tanah di daerah pesisir yang membuat muka air laut makin tinggi sehingga aliran air dari sungai dan saluran menuju laut terhambat.
Risiko bertambah dengan terjadinya La Nina, yakni fenomena mendinginnya suhu muka laut di Samudra Pasifik yang memicu aliran massa udara basah ke wilayah Indonesia yang suhu muka lautnya lebih hangat. Jumlah curah hujan bakal di atas normal, terutama di selatan khatulistiwa.
Pengaruh La Nina mulai terlihat dengan turunnya hujan deras pada pekan lalu di Jakarta dan sekitarnya. Pada Senin (21/9/2020), misalnya, hujan berintensitas tinggi ditambah air dari Pintu Air Katulampa, Bogor, Jawa Barat, memicu banjir di sejumlah titik di DKI.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati dalam keterangan pada Selasa (22/9/2020) menyampaikan, dari laporan yang masuk hingga pukul 11.00, banjir tersebut mengakibatkan 104 jiwa mengungsi. Rinciannya, 15 jiwa di Mushala Riyadhul Saadah di Jakarta Barat serta 89 jiwa mengungsi di empat titik, yakni di PT Delta Laras Wisata RW 007 Kelurahan Rawajati, Puskesmas Rawajati 2 RW 007, halaman rumah dinas RW 007, dan Rusunawa Pengadegan di Kelurahan Pengadegan, Jakarta Selatan.
Dalam siaran pers, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menuturkan, selain adanya potensi La Nina, pemantauan anomali suhu muka laut di Samudra Hindia juga menunjukkan adanya kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) negatif. Itu berarti suhu muka laut di Samudra Hindia sebelah barat Sumatera lebih hangat dibandingkan dengan Samudra Hindia sisi timur Afrika.
”Hal ini juga menambah suplai uap air untuk pertumbuhan awan-awan hujan di wilayah Indonesia dan menghasilkan peningkatan curah hujan, khususnya untuk wilayah Indonesia bagian barat,” kata Dwikorita. Kondisi IOD negatif berpeluang bertahan hingga akhir tahun 2020.