Kebudayaan, Jalan Rekonsiliasi
Rekonsiliasi budaya adalah jalan utama melakukan transformasi kesadaran untuk saling memaafkan terhadap peristiwa sejarah sebagai suatu kenyataan masa lalu guna menatap masa depan.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S masih menyisakan kepedihan bagi bangsa Indonesia. Kepedihan itu tidak hanya dirasakan oleh para keluarga korban sebelum dan saat peristiwa itu terjadi, juga oleh para korban pasca-G30S.
Segala upaya untuk membuka jalan rekonsiliasi selalu menimbulkan pro dan kontra. Sejak Reformasi 1998, upaya rekonsiliasi melalui jalan politik telah dilakukan, di antaranya lewat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pengadilan internasional, dan upaya lainnya yang pendekatannya lebih bersifat politis. Namun, semakin kuat upaya upaya tersebut dilakukan, semakin kuat pula pertentangan di masyarakat.
Pertemuan bertajuk ”Silaturahmi Nasional” yang menghadirkan anak-anak dari pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa 30 September 1965, maupun DI / TII, adalah satu-satunya di antara upaya-upaya itu. Namun, kenyataannya belum menghasilkan harapan yang cukup konkret. Masyarakat semakin terbelah dalam dua kutub yang bertentangan.
Namun, semakin kuat upaya upaya tersebut dilakukan, semakin kuat pula pertentangan di masyarakat.
Menuju jalan rekonsiliasi
Namun, sebenarnya di level masyarakat dan akar rumput, berbagai jalan rekonsiliasi kultural sudah berjalan. Di antara para korban sudah saling bertemu dan saling memaafkan. Rekonsiliasi juga dilakukan dengan menggunakan laku budaya masing-masing.
Suatu komunitas yang digawangi anak-anak muda dari Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) di Yogyakarta pada 2005 menginisiasi suatu forum bagi keluarga eks tahanan politik (tapol) perempuan ’65. Syarikat sejatinya adalah organisasi anak-anak muda Nahdlatul Ulama. Dari inisiasi ini para keluarga eks tapol perempuan ’65 yang tinggal di daerah Yogyakarta kemudian bergabung dalam Kiprah Perempuan (Kiper) sebagai ruang ekspresi dan kultural bagi keluarga eks tapol perempuan.
Baca juga: Komunisme Memang Gagal
Komunitas ini tidak hanya menjadi ruang ekspresi, tetapi juga ruang berkumpul sebagai bentuk trauma healing. Ruang ini juga memberikan keleluasaan untuk bertukar cerita sehingga meringankan beban mereka dari stigma, yang telah terkonstruksi dalam masyarakat secara sosial, budaya, dan politik. Dalam ruang ini berbagai lintas generasi saling menguatkan satu sama lain.
Ruang yang semula dibangun untuk membantu para sesama eks tapol perempuan ’65 untuk bersilaturahmi kemudian berkembang sebagai wadah pertemuan rutin. Kiper juga memberikan bantuan ekonomi guna meringankan beban para eks tapol perempuan ’65 lainnya.
Dari Kiper itu kemudian berkembang kelompok Teater Tamara. Nama Tamara sendiri kependekan dari Tak Mudah Menyerah. Nama ini terinspirasi dari tekad ibu-ibu eks tapol yang tidak gampang menyerah. Teater Tamara merupakan ruang bagi para eks tapol perempuan menyalurkan hasrat kesenian mereka.
Baca juga: Politisasi Isu Kebangkitan PKI
Lewat kesenian inilah mereka menemukan harapan dan semangat untuk hidup baru. Forum ini pula yang memberikan hidup mereka lebih bermakna. Mereka dapat saling membantu dan membangkitkan semangat hidup bagi sesama: bahwa hidup masih memberikan harapan akan masa depan.
Para keluarga eks tapol perempuan juga membentuk sebuah kelompok paduan suara, yang mereka beri nama Dialita. Dialita adalah kependekan dari Di Atas Lima Puluh Tahun. Kelompok ini beranggotakan ibu-ibu dan keluarga para eks tapol 1965. Mereka menyebut dirinya sebagai para penyintas ’65.
Lewat kesenian inilah mereka menemukan harapan dan semangat untuk hidup baru.
Dialita dibentuk untuk memberikan ruang bagi ibu-ibu eks tapol ’65 dan juga keluarganya untuk saling berbagi dan menguatkan. Kehadiran paduan suara Dialita juga sebagai upaya mengubur dendam dan sakit pada pemerintah yang memenjarakan mereka selama hampir 14 tahun.
Pembentukan Dialita ini juga tidak lepas dari upaya mereka untuk menyelamatkan karya-karya para ibu eks tapol yang diciptakan pada saat di dalam penahanan. Beberapa lagu diciptakan di tahanan Bukit Duri, Salemba, Ambarawa, dan Plantungan.
Dalam suasana kehidupan penahanan yang penuh tekanan dan tidak adanya kebebasan, para tapol perempuan menuangkan peristiwa kehidupan yang mereka alami sehari-hari dalam bentuk syair lagu-lagu. Karena tidak diperbolehkan memiliki alat tulis, untuk mengingat suatu peristiwa mereka mengabadikannya dalam bentuk lagu yang terus-menerus dinyanyikan.
Baca juga: Keppres dan Tap MPRS Melarang PKI
Cara ini dilakukan untuk menghafal dan meringankan beban ketika mereka rindu terhadap keluarga atau memberikan dukungan terhadap diri mereka untuk tidak larut dalam keputusasaan. Suatu upaya untuk merawat ingatan bersama dengan mengarsipkan lagu-lagu agar tidak hilang.
Para anggota Dialita kemudian menelusuri kembali lagu-lagu yang diciptakan para tapol selama dalam penjara. Saat ini Dialita berhasil mengumpulkan sedikitnya 20 lagu. Masih banyak lagu yang belum dapat mereka tuliskan kembali. Seiring berjalannya waktu ingat mereka juga memudar. Beberapa judul lagu yang berhasil ditulis kembali antara lain ”Salam Harapan”, ”Relakan”, ”Ujian”, dan ”Lagu untuk Anakku”.
Memaknai rekonsiliasi
Dari dua wadah komunikasi yang dibangun oleh para eks tapol itu, mengutip Degung Santikarma (2003), apabila kita menginginkan rekonsiliasi yang benar, kita harus juga dapat mengubah pikiran kita. Juga cara kita memaknai sejarah terhadap diri kita dan juga sesama kita.
Membuka jalan rekonsiliasi tentu diperlukan kebesaran hati untuk jujur terhadap diri sendiri, mampu memaafkan diri sendiri, dan terbuka terhadap orang-orang yang dianggap lawan sesama manusia. Pada titik ini kadang kala ada ketakutan pada kita sebagai bangsa untuk berkata jujur terhadap diri sendiri dan memaafkan orang lain.
Pada titik ini kadang kala ada ketakutan pada kita sebagai bangsa untuk berkata jujur terhadap diri sendiri dan memaafkan orang lain.
Rasa dendam tidak dapat kita pelihara terus-menerus untuk menguasai diri. Rantai ini harus kita putus apabila kita ingin menyiapkan generasi ke depan agar tidak hidup dalam reruntuhan kemanusiaan.
Padahal, di pihak lain para keluarga korban pembunuhan peristiwa G30S telah menerima itu sebagai fakta sejarah yang tidak mungkin dimungkiri. Tragedi adalah suatu pergumulan nasib yang tak dapat dimenangi. Tragedi tidak pernah berlalu karena peristiwa itu tidak pernah berlalu lantaran selalu diingat (Nani Sutojo: 2000).
Namun, mereka tidak mau terjebak dalam peristiwa tragis itu. Sebagaimana disampaikan oleh Amelia Ahmad Yani (2010), bahwa rasa takut, sedih, dan sakit pasti ada, tetapi semua rasa itu sudah dikubur dalam-dalam. Luka itu sudah disembuhkan dengan cara mereka masing-masing.
Baca juga: Membaca Ulang Film ”Pengkhianatan G-30-S PKI”
Rekonsiliasi budaya adalah jalan utama melakukan transformasi kesadaran untuk saling memaafkan terhadap peristiwa sejarah sebagai suatu kenyataan masa lalu guna menatap masa depan. Kita harus mampu memberi maaf dan menerima semua yang terjadi sebagai sebuah kenyataan pahit sejarah. Kita harus mampu berpijak pada sejarah, sepahit dan sekelam apa pun sejarah kita, untuk menghadapi tantangan masa kini, dan menatap jauh ke depan.
Oleh karena itu, jalan kebudayaan menjadi pilihan yang lebih baik ketimbang pilihan politik yang kadang masih sulit saling menerima, bahkan menimbulkan bekas luka lama terbuka lagi. Jalan kebudayaan selalu memberikan alternatif yang saling menghargai dan tidak saling menyakiti. Semoga ke depan kita menjadi bangsa yang mampu memupuk kebersamaan dan gotong royong ketimbang memupuk dendam sejarah.
Amurwani Dwi Lestariningsih, Mahasiswa S-3 Ilmu Sejarah FIB-UI; Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kemendikbud; Meneliti tentang Tapol Wanita di Kamp Plantungan