Kembali Jadi Zona Merah, Kota Bogor Tetap Tidak Bisa Ikuti Kebijakan PSBB DKI
›
Kembali Jadi Zona Merah, Kota ...
Iklan
Kembali Jadi Zona Merah, Kota Bogor Tetap Tidak Bisa Ikuti Kebijakan PSBB DKI
Kembali menjadi zona risiko tinggi Covid-19, Pemkot Bogor tetap tidak akan mengikuti kebijakan PSBB ketat seperti Jakarta. Bogor memutuskan memperpanjang pembatasan skala mikro untuk langsung menyasar ke level lokal.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Kota Bogor kembali ke zona merah dan memperpanjang pembatasan sosial berskala mikro atau PSBM hingga dua minggu ke depan. PSBM akan disertai pengetatan protokol kesehatan dan pengawasan terhadap perkantoran serta pergerakan warga yang keluar kota.
Wali Kota Bogor sekaligus Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Bima Arya mengatakan, setelah sepekan berstatus zona merah, Kota Bogor kembali masuk zona merah dengan skor 1,65. Sejumlah faktor yang menyebabkan Kota Bogor masuk zona merah adalah kasus meninggal meningkat dalam sepekan terakhir.
Berdasarkan pembaruan data Minggu (27/9/2020) yang diterima Kompas, pada 31 Agustus-6 September kasus meninggal tiga orang. Minggu berikutnya, pada 7-13 September, kasus meninggal meningkat menjadi lima orang. Sementara pada 14-2 September menurun menjadi satu kasus meninggal, dan pada 21-27 September meningkat kembali menjadi enam kasus meninggal.
”Faktor lainnya, jumlah kasus sembuh menurun dibanding minggu lalu, dari 142 kasus menjadi 135 kasus. Faktor selanjutnya, saat ini keterisian rumah sakit yang semakin tinggi mencapai 62,6 persen. Hal ini menjadi evaluasi dan akan dikoreksi. Beberapa faktor ini yang membuat Kota Bogor berstatus zona merah,” kata Bima, saat jumpa pers, Selasa (29/9/2020).
Berdasarkan data, pada September tingkat keterisian tempat tidur pasien Covid-19 mencapai 216 dari 345 tempat tidur. Rincianya 109 pasien (50,5 persen) dari Kota Bogor, 64 pasien (29,6 persen) dari Kabupaten Bogor, dan 43 pasien (19,9 persen) dari luar kota.
Dalam seminggu ini, ada tren kenaikan cukup tinggi paparan Covid-19 pada anak-anak, yaitu 16 kasus. Selain kasus kematian karena penyakit penyerta, paparan virus pada anak-anak harus menjadi perhatian. (Bima Arya)
Selain itu, kata Bima, kasus kematian tertinggi sejak awal pandemi hingga saat ini sebagian besar karena faktor komorbid atau penyakit penyerta sebesar 80 persen. Dari 45 kasus kematian, 35 kasus di antaranya (78 persen) adalah laki-laki. Sementara sebaran usia yang terpapar Covid-19 pada anak dari rentang usia kurang dari 5 tahun-19 tahun mencapai 12,2 persen, usia dewasa produktif 20-49 tahun mencapai 59,5 persen, dan usia lansia dan pralansia 50 tahun ke atas mencapai 27,5 persen.
”Dalam seminggu ini, ada tren kenaikan cukup tinggi paparan Covid-19 pada anak-anak, yaitu 16 kasus. Selain kasus kematian karena penyakit penyerta, paparan virus pada anak-anak harus menjadi perhatian. Kluster keluarga menjadi wilayah risiko tinggi karena terjadi penularan oleh anggota keluarga usia produktif yang bekerja di kantor dan dari luar kota (imported case). Ini yang menyebabkan kluster keluarga tinggi,” kata Bima.
Oleh karena itu, lanjut Bima, pihaknya memutuskan memperpanjang pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) hingga dua minggu ke depan. Selain itu, Pemkot Bogor juga akan memperketat pengawasan protokol kesehatan di lingkungan perkantoran.
Kedisiplinan aturan 50 persen work from home harus dijalankan, terutama pekerja yang memiliki penyakit penyerta dilarang untuk bekerja di kantor. Untuk penguatan dan pengawasan protokol kesehatan, Pemkot Bogor mewajibkan perkantoran memiliki satgas yang juga wajib berkoordinasi dengan Satgas Kota Bogor.
Tidak ikuti DKI
Bima menilai saat ini langkah PSBM masih akan menjadi kebijakan untuk penangan pandemi di wilayah Kota Bogor karena permasalah utama yang harus dilakukan adalah penanganan di kluster perkantoran dan luar kota sehingga menyebabkan kluster keluarga tinggi.
Berdasarkan data, kluster keluarga mencapai 499 kasus (42,3 persen), terjadi kenaikan 94 kasus. Sementara kluster luar kota mencapai 322 kasus (27,3 persen) kenaikan mencapai 125 kasus, sementara kluster perkantoran mencapai 41 kasus (3,5 persen), terjadi kenaikan 5 kasus.
Berdasarkan data tersebut, pengawasan di level RW harus semakin ditingkatkan. Pemkot Bogor akan memperketat pendataan untuk warga yang bekerja atau dinas di luar kota. Warga tersebut harus dimonitor dan dilakukan tes usap agar bisa menekan penularan di kluster keluarga.
Mengikuti PSBB seperti Jakarta, itu tidak mungkin dilakukan. Memburu nyamuk tidak bisa gunakan meriam. (Bima Arya)
”Mengikuti PSBB seperti Jakarta, itu tidak mungkin dilakukan. Memburu nyamuk tidak bisa gunakan meriam. Permasalahan pertama, 80 persen warga terpapar secara ekonomi dan 40 persen putus kerja. Ini masalah serius yang perlu diperhatikan. Kami berkomitmen pada aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Kami menyiapkan langkah penanganan kesehatan, mulai dari fasilitas kesehatan hingga nonfasilitas kesehatan, dari penanganan pasien kasus berat hingga orang tanpa gejala, dan lainnya. Jadi, tidak bisa disamaratakan kebijakan antardaerah,” tegas Bima.
Bima juga memahami penerapan PSBB Jakarta membuat warga Ibu Kota datang ke wilayah tetangganya seperti Kota Bogor yang tidak menerapkan PSBB. Kedatangan warga Jakarta justru dinilai positif karena dapat menaikkan pendapat asli daerah (PAD).
Menurut Bima, protokol kesehatan di tempat umum, seperti rumah makan, kafe, dan restoran, dinilai sudah baik karena ada pengawasan ketat dari petugas serta kedisiplinan tempat usaha dalam menjalankan aturan. Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan pada sektor ekonomi dan kesehatan. Pemkot Bogor akan menyesuaikan aturan pembatasan aktivitas warga hingga pukul 21.00. Begitu pula dengan pembatasan jam operasi unit usaha berlaku hingga pukul 21.00.
Pembatasan tersebut akan tetap dalam pengawasan petugas TNI, polisi, Satpol PP, dan Satgas Penanganan Covid-19 Kota Bogor. Petugas tersebut akan dibantu dengan Tim Elang dan Tim Merpati agar penguatan protokol kesehatan terlaksana.
Bima melanjutkan, pihaknya juga akan fokus pada penelusuran pada kontak erat dengan kasus positif. Mereka menargetkan, satu kasus positif akan melancak sekitar 20 kontak erat. Target selanjutnya adalah 1.000 tes usap per Minggu. Saat ini tes usap dilakukan sekitar 16.000 tes.
”Kami sudah minta untuk penambahan ruang isolasi dan tempat tidur di rumah sakit rujukan. Untuk orang tanpa gejala akan dirawat di BNN Lido. Saya sudah berkomunikasi dengan Pak Wishnutama, kami siapkan dua hotel di Bogor untuk isolasi OTG,” kata Bima.
Sementara itu epidemiolog dari Universitas Indoensia, Tri Yunis Miko, mengatakan, dengan fasilitas nonkesehatan yang dimiliki Pemkot Bogor, diharapkan penanganan di kluster keluarga di Kota Bogor bisa terkendali.
Penanganan OTG sangat penting agar tidak berdampak luas terhadap keluarga lainnya. Selain itu, ketersedian fasilitas nonkesehatan untuk OTG akan memaksimalkan rumah sakit rujukan dalam penanganan pasien bergejala sedang dan berat dan rumah sakit tersebut pun tidak penuh.
Terkait perluasan PSBB di Jabodetabek, Miko menilai Pemkot Bogor sudah melakukan PSBB hanya saja berskala mikro dengan pembatasan aktivitas dan langsung menyasar ke komunitas atau berskala mikro pada level lokal dan RW.
”Saya pikir itu kunci penanganan yanag harus dilakukan oleh Pemkot Bogor, langsung mengawasi di level lokal. Sementara untuk menentukan kebijakan PSBB seperti di Jakarta, harus ada evaluasi luas dari pemerintah pusat, Pemprov DKI, Jawa Barat, dan Banten. Harus dilihat efektivitas penanganan pandemi Covid-19 pada level apa. Tanpa evaluasi dari pemimpin pusat dan kepala daerah di provinsi, sulit menjalankan PSBB secara ketat di seluruh Jabodetabek. Setiap daerah memiliki level berbeda dalam penaganan pandemi,” kata Miko.