Komnas HAM Rumuskan Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
›
Komnas HAM Rumuskan Jaminan...
Iklan
Komnas HAM Rumuskan Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Komnas HAM meluncurkan standar norma dan pengaturan tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Aturan tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi aparat negara agar tak ada lagi pembatasan dan pelarangan KBB
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meluncurkan standar norma dan pengaturan tentang hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Standar norma ini sekalipun tidak mengikat, tetapi diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk menyikapi bagaimana seharusnya kebebasan beragama dan berkeyakinan itu dijamin, yakni atas dasar konstitusi, peraturan lainnya, serta konvensi internasional atas perlindungan HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Standar norma dan pengaturan itu dibukukan dengan judul ”Standar Norma dan Pengaturan tentang Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (SNPKBB)”, yang diluncurkan secara daring, Rabu (30/9/2020), di Jakarta. Peluncuran buku juga diisi dengan diskusi yang mengundang penyusun SNPKBB dan pemerhati HAM.
Hadir sebagai pembicara ialah Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik; anggota Komnas HAM Sandrayati Moniaga; Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama (Kemenag) Nifasri; Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko; Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri; dan Direktur Institut Dialog Antar-iman (DIAN) Interfidei Elga Sarapung.
Taufan mengatakan, peluncuran standar norma dan pengaturan mengenai KBB itu dinilai penting mengingat saat ini ada banyak persoalan jaminan KBB yang terjadi di Tanah Air. Setiap bulan, Komnas HAM menerima laporan adanya pelanggaran KBB dari sejumlah daerah, mulai dari kasus pelarangan ibadah, perusakan rumah ibadah, dan aksi-aksi kekerasan serta intoleransi lainnya yang menyeruak.
Fenomena ini menjadi perhatian Komnas HAM sebagai bagian dari tujuh program prioritas lembaga untuk ditangani. Penyusunan standar norma dan pengaturan itu diharapkan bisa menjadi acuan dan rujukan bagi pembuat kebijakan tentang hal-hal apa saja yang perlu dipahami dalam konteks jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Fenomena pelanggaran KBB ini, seperti fenomena gunung es, jadi bukan soal agama atau kelompok tertentu. Karena ini isu yang terjadi pada banyak agama, bahkan di internal agama sekalipun (Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik)
Di dalam SNPKBB ini termuat sejumlah definisi normatif atas berbagai instrumen HAM, baik di dalam aturan yang berlaku internasional maupun nasional. Selain itu, dokumen tersebut juga dikontekstualkan dengan kondisi penanganan KBB di Tanah Air melalui berbagai tema, seperti pengakuan agama, kewajiban negara, pembatasan, diskriminasi, toleransi, dan kerukunan, penaatan, pengamalan, pendidikan agama, tempat ibadah, larangan siar kebencian, hingga organisasi atau lembaga agama. Setiap tema dijabarkan melalui definisi-definisi dasar dan aturan yang melandasi perlindungan KBB.
”Fenomena pelanggaran KBB ini seperti fenomena gunung es, jadi bukan soal agama atau kelompok tertentu. Karena ini isu yang terjadi pada banyak agama, bahkan di internal agama sekalipun. Misalnya, ada masjid Muhammadiyah yang ditolak oleh jemaah dari mazhab lain di Aceh. Padahal, Muhammadiyah adalah organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia,” kata Taufan.
Untuk mengatasi hal ini, Komnas HAM tidak bisa sendirian. Kerja sama dengan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah (pemda) diperlukan. Di sejumlah daerah, kasus pelanggaran KBB ini luput dari perhatian pemda. Ada pula perda-perda yang justru tidak sesuai dengan prinsip perlindungan KBB karena diskriminatif.
Sandrayati mengatakan, penyusunan standar norma dan pengaturan KBB tersebut merupakan sinergi Komnas HAM dengan berbagai pihak, termasuk Imparsial. ”Tujuannya ialah sebagai pedoman bagi aparat negara sehingga tidak ada lagi tindakan pembatasan dan pelarangan hak atas KBB. Standar yang sama juga dapat menjadi pedoman bagi individu dan kelompok orang,” katanya.
Gufron dari Imparsial yang merupakan anggota tim penyusun SNPKBB mengatakan, sekalipun sifatnya tidak mengikat bagi pemerintah pusat dan pemda, standar norma dan pengaturan itu sedikitnya dapat menjadi rujukan tentang aturan-aturan HAM yang berlaku internasional maupun nasional terkiat perlindungan KBB. Dengan mengikuti standar norma dan pengaturan itu, pemerintah pusat dan pemda telah taat asas dalam menjamin hak-hal sipil, utamanya KBB.
”Dalam konteks bagaimana mendorong harmonisasi pada level kebijakan, SNPKBB ini bisa menjadi panduan. Selain itu, pemerintah juga dapat menggunakanya pada level perencanaan dan implementasi. Semuanya dalam kerangka untuk memperbaiki kualitas KBB,” ujarnya.
Tujuannya ialah sebagai pedoman bagi aparat negara sehingga tidak ada lagi tindakan pembatasan dan pelarangan hak atas KBB. Standar yang sama juga dapat menjadi pedoman bagi individu dan kelompok orang (Sandrayati Moniaga)
Sementara itu, dalam praktik kehidupan di daerah, Dewanti yang menjadi wali kota, menyadari ada gesekan-gesekan yang mungkin timbul di antara umat beragama. Namun, di wilayahnya, yakni Kota Batu, Jawa Timur, perbedaan itu berusaha dijembatani dengan memaksimalkan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Setiap kegiatan umat beragama sebisa mungkin melibatkan umat beragama lainnya, tanpa membeda-bedakan. Pertemuan dan interaksi yang hangat itu diharapkan bisa memupuk saling pengertian dan toleransi antarwarga.
Terkait dengan peran pemda, Elga mengatakan, peran mereka amat menentukan untuk menjaga harmoni dan menjamin KBB di wilayahnya. Sayangnya, di sejumlah daerah masih ditemui kepala daerah yang tidak cukup memiliki kesadaran akan KBB, sehingga jaminan atas hak tersebut tidak dapat dinikmati warga.
Nifasri menegaskan, tidak ada peraturan dan perundang-undangan di Indonesia yang melarang warganya untuk beragama dan berkeyakinan. Konstitusi mengatur itu secara tegas. Persoalan yang kerap ditemui di lapangan ialah karena implementasi peraturan yang kurang tepat, dan acap kali dipicu oleh komunikasi yang buruk.
”Komunikasi menjadi hal penting karena kerap kali persoalan komunikasi inilah yang menimbulkan persoalan di lapangan. Ketika komunikasi jalan, sebenarnya warga bisa menerima perbedaan dan timbul kecurigaan,” ujarnya.