Banyak warga terdampak pandemi yang belum tersentuh program bantuan resmi dari pemerintah. Kepekaan sosial antarwarga yang menjadi jaring penyelamat. Peran mereka menjadi asa di tengah bencana tak jelas ujungnya ini.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·6 menit baca
Di masa pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, belum semua warga di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang tersentuh skema bantuan sosial pemerintah, baik pusat maupun daerah. Orang-orang yang seolah terlupakan ini kemudian dirangkul oleh gerakan sosial untuk mulai diberi bantuan kemudian juga ada yang berkembang menjadi program pendampingan dan pemberdayaan.
Hal itu yang berusaha dilakukan oleh Perkumpulan Suara Kita yang fokus membantu para waria dan transpuan di Jabodetabek. Ketika ditemui pada hari Selasa (29/9/2020), Hartoyo, direktur lembaga swadaya masyarakat ini, menjelaskan sengaja memilih untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender bagi komunitas waria dan transpuan.
Umumnya mereka mengalami kekerasan berlapis di masyarakat, seperti kekerasan sosial, psikis, fisik, dan seksual. Minimnya kepedulian terhadap komunitas ini mengakibatkan anggotanya terpaksa mencari nafkah sebagai pengamen ataupun pekerja seks yang membahayakan kesehatan dan keselamatan mereka.
”Kami melakukan pendampingan mengenai hak mereka sebagai warga negara untuk dilindungi juga melakukan program pemberdayaan menuju usaha mikro dan kecil supaya mereka bisa memperoleh inklusi ekonomi. Tapi, enggak berapa lama kemudian pandemi Covid-19 terjadi,” katanya.
Awalnya, Perkumpulan Suara Kita menggalang dana dengan cara menjual pakaian melalui butik daring bernama Srikendes yang mereka kelola. Baju-baju itu dibuat dari berbagai wastra Nusantara yang model jahitannya dirancang sendiri oleh para anggota.
Selain di butik Srikendes, mereka juga berjualan di pelbagai pameran kriya, bazar, dan acara-acara terkait pengarusutamaan jender. Menurut Hartoyo, cara ini memberi Perkumpulan Suara Kita kebebasan serta kemandirian karena tidak bergantung pada dana dari korporasi ataupun lembaga-lembaga luar negeri.
Ketika pandemi Covid-19 menghantam Jabodetabek pada Maret 2020, mayoritas waria dan transpuan dampingan perkumpulan ini tidak bisa mencari nafkah akibat PSBB yang menyuruh berbagai warung tutup sementara. Mereka kesusahan mencari makan, sementara anggaran di Perkumpulan Suara Kita hanya cukup untuk membiayai operasional program.
”Bansos (bantuan sosial) dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak bisa diakses oleh komunitas waria dan transpuan karena biasanya mereka tidak pernah tinggal menetap di satu daerah sehingga tidak terdata oleh RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga),” papar Hartoyo.
Animo pelanggan Srikendes maupun orang-orang awam yang baru mengenal kegiatan ini tinggi. Kami mendapat kiriman barang-barang bekas. Bahkan, banyak yang bermerek asli Chanel, Louis Vuitton, Tory Burch, dan Gucci yang masih disertai bungkus dari butik aslinya. (Hartoyo)
Perkumpulan Suara Kita kemudian mengkaji kembali strategi pembiayaan mereka. Pada masa pandemi pakaian di butik Srikendes tidak bisa menghasilkan uang secara cepat. Terlebih, pangsa pasar produk dari kain Nusantara terbatas hanya di penikmatnya, bukan massal.
Srilove
Hartoyo mengungkapkan, muncul gagasan untuk menjual barang-barang bekas. Perkumpuan Suara Kita segera mengontak orang-orang yang merupakan langganan butik Srikendes apabila mau menyumbangkan barang-barang yang sudah tidak dipakai lagi karena bosan. Pada pertengahan April, terkumpul 200 barang yang terdiri dari pakaian dan tas, 95 persen dalam kondisi layak jual.
Bermodal ponsel pintar, Hartoyo menggelar pasar kaget melalui siaran langsung di Facebook. Secara terbuka ia mengumumkan hasil penjualan akan dipakai untuk membeli sembako bagi komunitas waria dan transpuan di Jabodetabek selama PSBB berlangsung. Ia mempromosikan setiap barang bergantian dengan harga pas. Pembeli yang berminat melalui kolom ”komentar” langsung menyatakan mau membeli. Siapa cepat, dia dapat.
Tak disangka, semua barang ludes terjual dan dikirim melalui pos ke rumah para pembeli. Di siaran langsung pertama itu, Perkumpulan Suara Kita mendapat Rp 9 juta yang sebagian dipakai untuk membeli sembako untuk 150 waria dan transpuan. Sisa pendapatan dipakai sebagai modal operasional seperti perawatan barang.
Kegiatan penggalangan dana ini kemudian dinamai Srilove yang berasal dari penggabungan kata Srikendes dan preloved, istilah untuk barang-barang yang pernah disayangi oleh orang lain.
”Animo pelanggan Srikendes maupun orang-orang awam yang baru mengenal kegiatan ini tinggi. Kami mendapat kiriman barang-barang bekas. Bahkan, banyak yang bermerek asli Chanel, Louis Vuitton, Tory Burch, dan Gucci yang masih disertai bungkus dari butik aslinya,” ujar Hartoyo.
Khusus untuk pakaian, sepatu, dan tas dengan merek ternama dijual dengan metode lelang melalui laman Facebook dan Instagram Srilove. Walaupun berbasis di Jakarta Selatan, pembeli barang-barang Srilove berasal dari seantero Indonesia. Mereka pernah mengirim barang ke pembeli di Banda Aceh dan Jayapura.
Kini pasar daring Srilove melakukan siaran langsung dua kali dalam sepekan dengan hasil penjualan Rp 3 juta hingga Rp 20 juta dalam satu kegiatan, belum termasuk lelang barang bermerek. Total sudah 1.750 paket sembako yang dikirim ke komunitas waria dan transpuan di Jabodetabek.
Setiap paket bernilai Rp 125.000 hingga Rp 150.000 dan setiap penerima telah mendapat paket tiga kali. Terdapat pula 100 paket yang dikirim untuk membantu komunitas waria di Lampung dan Bandung, serta 200 paket untuk warga miskin di Kalibata.
Berkembang
Kegiatan ini berkembang sebagai metode donasi inklusif, tidak sebatas komunitas waria dan transpuan lagi. Srilove berkolaborasi dengan Dapur Umum Rusun Bidara Cina di Jakarta Timur. Koordinator dapur umum, Evalina Tobing, menjabarkan awalnya ia dan beberapa warga rumah susun patungan memasak untuk anak-anak dan lansia miskin yang tinggal di kompleks tersebut.
Tercatat ada 150 anak yang orangtuanya pekerja serabutan atau dipecat akibat PSBB dan ada pula 50 lansia yang hidup sebatang kara. Makanan mereka ditanggung oleh Dapur Umum Rusun Bidara Cina. Hingga sekarang, orang-orang ini belum menerima bansos dari pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Ia mengungkapkan, Srilove kemudian mendekati mereka menawarkan bantuan untuk membeli bahan makanan untuk dimasak dari hasil penjualan barang bekas. ”Semua pengurus dapur umum juga tahu organisasi tersebut selama ini bergerak dalam pendampingan waria dan transpuan. Hal itu bukan masalah bagi kami,” kata Evalina.
Melalui Srilove, terkumpul uang Rp 20 juta yang dipakai untuk membiayai pemulihan Z, remaja korban kekerasan seksual, hingga Juni 2021. Uang itu dipakai untuk membayar honor salah seorang warga yang bertugas sebagai pendamping Z. (Evalina Tobing)
Pada bulan Mei, di tengah kolaborasi tersebut muncul kabar seorang remaja perempuan yang menyandang disabilitas di lingkungan rusun Bidara Cina menjadi korban kekerasan seksual oleh tetangganya. Remaja berinisial Z itu diasuh oleh ayahnya yang bekerja sebagai tukang parkir cabutan sehingga penanganan pascakekerasan tidak maksimal.
Melalui Srilove, terkumpul uang Rp 20 juta yang dipakai untuk membiayai pemulihan Z hingga Juni 2021. Uang itu dipakai untuk membayar honor salah seorang warga yang bertugas sebagai pendamping Z. Selain memasak untuk gadis itu, pendamping juga melakukan interaksi yang intens dengan Z, seperti mengajarkan dia tata krama sosial dan keselamatan diri, misalnya jangan mau diajak orang dengan iming-iming uang atau barang.
Pendamping juga menjadi jembatan antara ayah Z, RT, dan RW dengan petugas dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak DKI Jakarta agar berkolaborasi dalam program pemulihan remaja itu dari trauma akibat kekerasan seksual.
”Uang juga dipakai untuk membeli pakaian ZL, termasuk pakaian dalam dan pembalut, juga membeli buku pelajaran khusus anak dengan disabilitas. Hal-hal ini luput dari perhatian ayahnya yang merupakan orangtua tunggal miskin dan sibuk mencari nafkah,” tutur Evalina.
Langgeng
Menurut Hartoyo, selain ramah lingkungan karena bertumpu pada perputaran barang yang sudah dimiliki orang, metode menggalang dana untuk pemberdayaan melalui penjualan barang bekas ini juga mendekatkan berbagai anggota masyarakat. Jual beli barang bekas ini menjadi pintu masuk masyarakat mengenal pengarusutamaan dan keadilan jender.
”Setiap orang biasanya setelah jangka waktu tertentu akan bosan dengan beberapa barang kepunyaannya. Artinya, selalu ada stok barang baru tapi lama bagi Srilove sehingga keberlangsungan program tidak memerlukan jangka waktu tertentu seperti jika dananya dari donatur saja,” ucapnya.
Pengurus Filantropi Indonesia, Sita Supomo, menjelaskan, filantropi merupakan wujud kedermawanan lokal yang berasal dari masyarakat. Cara ini lebih efektif karena para donaturnya bisa memilih dan mengetahui persis pemanfaatan dana maupun produk yang mereka sumbangkan (Kompas, 17 November 2018).