Biaya untuk pemeriksaan kesehatan dan perawatan di fasilitas kesehatan ataupun tempat isolasi mandiri menjadi prioritas di tengah ketidakpastian pandemi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian pandemi mendorong warga agar lebih waspada. Mereka menyiapkan sebagian dana bulanan untuk kebutuhan yang terkait penanganan Covid-19 sebab ketidakpastian apakah keluarga mereka aman dari paparan virus korona baru tersebut.
Dana tersebut disiapkan untuk biaya tes cepat, tes usap, dan perawatan di rumah sakit atau tempat isolasi mandiri ke dalam dana darurat. Perencana keuangan menyarankan perseorangan atau keluarga memperkuat dana darurat karena ketidakpastian pandemi. Caranya menyusun ulang skala prioritas dalam pengelolaan keuangan.
Joey (25) biasanya menyisihkan pemasukan ke dalam tiga pos, yaitu tabungan, dana darurat, dan pos lain. Semenjak pandemi, pos bertambah untuk pemeriksaan dan perawatan Covid-19 sehingga menjadi tabungan 25 persen, dana darurat 35 persen, Covid-19 sebesar 20 persen, dan dana lain 20 persen. ”Gue kurangin tabungan dan lainnya untuk jaga-jaga kalau berurusan dengan Covid-19,” ujar Joey.
Siasat ini dilakukan bukan tanpa alasan. Warga Jakarta Selatan ini belajar dari kejadian beberapa bulan lalu. Kala itu salah satu anggota keluarganya hendak ke kampung untuk urusan mendesak. Syaratnya wajib menyertakan hasil tes usap. Biaya tes mandiri ini sebesar Rp 2.000.000 dengan hasil tes keluar dalam sehari.
Menurut rencana, dana untuk pemeriksaan dan perawatan Covid-19 ini setidaknya untuk tiga kali tes usap dan isolasi mandiri 3 x 14 hari, termasuk makan dan minum. ”Biaya perawatan dan isolasi mandiri harus diperhitungkan meskipun gue lebih banyak di rumah saja,” katanya.
Chernenko Panjaitan (29) juga sudah mempersiapkan diri apabila sewaktu-waktu terpapar Covid-19. Persiapannya dengan ikut asuransi perawatan akibat Covid-19 sejak Agustus lalu.
Warga Maja, Lebak, Banten, ini memilih asuransi karena biaya untuk perawatan Covid-19 tidak terprediksi. Berapa lama waktu perawatan, isolasi mandiri, biaya obat-obatan, dan biaya alat pelindung diri menjadi pertimbangannya. ”Jadi lebih baik pakai asuransi. Nanti bisa klaim sesuai tagihan rumah sakit kalau amit-amit tetpapar Covid-19,” ucap Chernenko.
Ia belum menyediakan dana untuk tes cepat ataupun tes usap. Sebab pekerjaannya lebih banyak dari rumah. Aktivitas di luar rumah pun hanya untuk bersifat penting atau mendesak.
Nada (22) juga mulai menyisihkan penghasilan untuk dana darurat karena pandemi. Jumlahnya berkisar 20-25 persen. ”Saya baru mulai buka usaha bulan Juli. Sisihkan untuk dana darurat Agustus lalu. Jaga-jaga karena usaha kena dampak pembatasan sosial,” kata Nada
Warga Jawa Timur ini menyiapkan dana darurat bukan hanya untuk Covid-19. Ia berjaga-jaga agar tetap bisa membayar cicilan jika harus menutup usaha.
Dana darurat merupakan bagian penting dalam pengelolaan keuangan di masa pandemi ini. Kendati besarannya bervariasi, tiga perencana keuangan, Prita Hapsari Ghozie, Mohammad Teguh, dan Aidil Akbar, yang dihimpun Kompas, Minggu (26/4/2020), memberi ancar-ancar nilai dana darurat 6-12 kali biaya hidup per bulan.
Kendati tak selalu tunai, dana darurat ini mesti mudah dicairkan atau likuid. Dana ini juga merupakan dana cadangan yang tidak boleh digunakan untuk investasi atau membeli barang. Maka, bisa disimpan dalam bentuk rekening khusus.
”Dalam situasi seperti ini, keberadaan dana darurat menjadi vital. Alokasi ini perlu disiapkan untuk mengantisipasi biaya hidup yang tidak didukung pemasukan,” ujar perencana keuangan dari ZAP Finance, Prita Hapsari Ghozie.
Sebesar 30 persen pemasukan bulanan mesti disisihkan sebagai dana darurat. Adapun 60 persen untuk kebutuhan harian, termasuk membayar cicilan. Sementara 10 persen sisanya untuk hiburan, termasuk biaya berlangganan video dan musik. ”Jika belum atau sudah tidak ada beban cicilan, persentase pos alokasi dana darurat bisa diperbesar,” ujarnya.
Financial Expert Halofina, Mohammad Teguh, menyebutkan, idealnya dana darurat bagi yang masih lajang ataupun yang sudah berkeluarga sekitar 12 kali dari biaya hidup bulanan. Walakin setidaknya enam kali biaya hidup bulanan sudah tergolong cukup.
Selain dalam bentuk tunai dan tabungan, dana darurat bisa ditempatkan dalam tabungan dan aset yang likuid, seperti reksa dana pasar uang, deposito, dan tabungan emas. Disebut likuid karena lebih mudah diuangkan sewaktu-waktu dalam kondisi darurat.
Aidil Akbar Madjid menambahkan, dalam kondisi normal ada dana yang dialokasikan untuk hiburan dan investasi jangka panjang. Walakin di tengah pandemi Covid-19 dana itu mesti dialihkan untuk tabungan atau dana darurat. Dana darurat diperlukan untuk mengantisipasi kondisi ekonomi yang memburuk, pemotongan gaji, dan pemutusan hubungan kerja.
Menurut Aidil, dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu, alokasi dana darurat harus lebih banyak dari biasanya. Jika biasanya dana darurat yang disiapkan sekitar enam kali dari pengeluaran rutin bulanan, kini perlu dinaikkan menjadi sembilan kali pengeluaran bulanan. ”(Tambahan dana darurat) ini untuk jaga-jaga kalau tiba-tiba kondisi (ekonomi) memburuk. Toh, kalau dalam tiga bulan kondisi sudah membaik, uang masih bisa diinvestasikan lagi,” katanya.