Mobilitas Warga Tidak Terbendung meski Ada Pembatasan Ketat
›
Mobilitas Warga Tidak...
Iklan
Mobilitas Warga Tidak Terbendung meski Ada Pembatasan Ketat
Tren menunjukkan warga masih kerap bepergian keluar rumah meski sedang masa pembatasan sosial ketat. Banyak orang yang masih bepergian karena urusan penghidupan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan mobilitas warga untuk memutus rantai penularan Covid-19 sulit terjadi di Jakarta. Sejak kembali ketatnya masa pembatasan sosial berskala besar pada awal September 2020, sejumlah warga cenderung tidak dapat menahan kegiatan bepergian antarkota.
Aktivitas bepergian masih dilakukan sejumlah warga dari Jakarta menuju Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sepanjang Rabu (30/9/2020). Wawan (50), warga Palmerah, Jakarta Barat, masih bepergian mengantarkan pesanan karangan bunga ke sejumlah rumah duka. Sebagian rumah duka tujuannya hari ini ada di bilangan Depok dan Bogor, Jawa Barat.
Sebagai pengantar karangan bunga, dia belum tahu kalau bidang pekerjaannya tidak termasuk dalam 11 sektor vital yang dikecualikan pemerintah. Mestinya dia tidak bisa melakukan perjalanan selama masa pembatasan. Namun, kenyataannya, dia tetap melakukannya sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) kembali berlaku ketat. Paling tidak, dirinya mengantarkan dua hingga tiga karangan bunga setiap hari.
”Saya kurang peduli soal larangan pergi-pergi itu. Pemerintah saja enggak bisa bantu warga secara finansial. Ini malah melarang warga untuk mencari penghidupan,” ujarnya saat ditemui di pasar bilangan Rawabelong, Palmerah, Rabu ini.
Sofian (25), warga Rangkasbitung, Lebak, Banten, juga disibukkan dengan aktivitas ke kantor sedikitnya dua hari dalam sepekan. Kepentingan ke kantor masih harus dijalani lantaran kewajiban bekerja sistem sif untuk administrasi sebuah perguruan tinggi.
Karena kewajiban itu, Sofian masih harus menempuh rutinitas bepergian naik kereta rel listrik pada jam-jam padat. Sore ini, dia segera pulang karena kereta tutup operasi lebih cepat pada pukul 17.00. ”Ya, kalau dibolehkan bekerja dari rumah, sih, saya pengin banget. Tetapi, masih ada kewajiban untuk urusan administrasi walau enggak tiap hari,” katanya lewat sambungan telepon.
Sofian menilai aturan PSBB belum begitu terlihat pada perjalanan kereta rel listik (KRL). Sebab, pada jam-jam padat, seperti berangkat dan pulang kerja, dia kerap sulit menjaga jarak fisik antarorang.
Iis (40), warga Kelurahan Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, belakangan juga masih bepergian untuk urusan dagang. Aturan untuk membatasi mobilitas tidak terlalu dia hiraukan.
Kecenderungan mobilitas warga tampak sejalan dengan survei Badan Pusat Statistik tentang Perilaku Masyarakat Selama Pandemi Covid-19. Survei yang melibatkan 90.967 responden dalam kurun tanggal 7-14 September mengungkap kecenderungan orang lebih sering bepergian selama PSBB.
Tren tersebut terlihat pada data perbandingan frekuensi keluar rumah saat ini dengan sebelum adaptasi kebiasaan baru per Agustus 2020. 20,56 persen responden mengakui lebih sering keluar rumah, sedangkan 33,73 persen responden tetap bepergian keluar rumah seperti saat Agustus silam. Adapun responden yang lebih sering keluar rumah didominasi alasan pekerjaan sebanyak 15, 22 persen, alasan pelesiran sebanyak 3,89 persen, serta alasan kebutuhan sosial sebanyak 1,44 persen.
Kalangan responden di bawah umur 45 tahun mendominasi kecenderungan bepergian keluar rumah. Tren survei menunjukkan makin muda usia, justru makin sering bepergian keluar rumah.
Tren makin seringnya orang bepergian keluar rumah juga tampak pada sejumlah situasi keramaian. Beberapa hari belakangan, orang cenderung mencari hiburan dengan bepergian ke luar wilayah Jakarta. Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono sebelumnya menyampaikan hal serupa. Menurut pengamatannya, PSBB di Jakarta berbanding terbalik dengan situasi Bodetabek yang melonggar.
”Saya melihat, koordinasi dan komunikasi antara Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah daerah penyangga tidak dikerjakan sebelum menerapkan PSBB ketat. Seharusnya sebelum Pemprov DKI menerapkan PSBB ketat, ada koordinasi dan komunikasi dengan daerah penyangga dulu. Tujuannya supaya ada sinkronisasi kebijakan antara Jakarta dan daerah penyangga,” kata Gembong yang juga anggota Komisi A bidang Pemerintahan, Selasa (29/9/2020).
Gembong mengingatkan, sebagai bagian dari wilayah Jabodetabek, Jakarta tidak bisa hidup sendiri. Agak sulit Jakarta menerapkan kebijakan itu sendirian tanpa adanya dukungan dari daerah-daerah penyangga.
Apalagi, Gembong mencontohkan, antara masyarakat Jakarta dan Bekasi saja bisa berbeda. Namun, kultur yang berbeda itu seharusnya bisa terkoneksi melalui koordinasi itu. ”Makanya pemprov harus mampu menjalin itu. Jadi, kebijakan DKI dengan penyangga itu harus bersinergi walaupun tidak sama kebijakannya, tetapi ada sinergitas kebijakan karena kultur yang berbeda-beda,” ucapnya.
Roy Valiant Salomo, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, menyatakan, tiga provinsi yang menaungi wilayah Jabodetabek, yaitu Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, mesti bekerja sama untuk penanganan Covid-19. Ketiga provinsi bisa membentuk semacam tim ad hoc penanganan Covid-19.
Apabila selama ini masih dalam bentuk koordinasi, perlu diikat dalam bentuk perda bersama. DKI Jakarta yang tengah menyusun perda tentang penanganan Covid-19 itu bisa menjadi perda payung bagi pemerintah di Jabodetabek.
”Selama ini DKI Jakarta punya kerja sama dengan wilayah Bodetabek untuk urusan infrastruktur, untuk penanganan Covid-19 kenapa tidak? Ketiga provinsi itu bisa duduk bersama membentuk tim penanganan Covid-19 selama waktu tertentu katakan enam bulan,” katanya.