Panggung Pertarungan Sosok yang Terbuka
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat menjadi panggung pertarungan sosok yang terbuka. Selalu gagalnya wakil gubernur petahana berlaga di pilkada menjadi ujian bagi petahana yang kini maju di pilkada.
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat menjadi panggung pertarungan sosok yang terbuka. Rekam jejak kontestasi di provinsi ini merekam satu gejala bahwa kemunculan petahana dari wakil kepala daerah tidak menutup peluang bagi pesaingnya mendulang kemenangan.
Awalnya, hajatan pemilihan kepala daerah di Sumatera Barat ini sempat menghangat dengan dua peristiwa yang semuanya terkait dengan sosok. Pertama, hadirnya sosok anak muda, Faldo Maldini, yang berhasrat maju sebagai calon gubernur di provinsi ini.
Faldo, yang juga Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia Sumbar, ini ”nekat” maju meskipun partai yang ia pimpin sama sekali tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi Sumbar.
Langkah Faldo bukannya tanpa hasil. Dua partai yang dia gadang, yakni Nasdem dan PKB, melirik namanya untuk maju di pilkada tahun ini, bahkan PKB sempat mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Faldo Maldini-Febby Datuak Bangso. Febby adalah Ketua DPW PKB Sumbar.
Namun, dua partai ini tidak cukup untuk memenuhi syarat minimal kursi untuk mengusung pasangan calon di pilkada. Pada akhirnya kedua partai ini bergabung bersama Golkar mengusung pasangan Fakhrizal-Genius Umar. ”Hasil kerja kita tidak mengecewakan, tetapi kesempatan saja yang belum diberikan,” ungkap Faldo dalam akun Instagram-nya setelah memastikan dirinya batal maju di Pilkada Sumbar tahun ini.
Peristiwa kedua yang membuat publik menyorot Pilkada Sumbar adalah terkait kasus tidak jadinya dukungan PDI-P yang sebelumnya sudah diumumkan untuk pasangan Mulyadi-Ali Mukhni.
Pidato Ketua DPP PDI-P Puan Maharani terkait Provinsi Sumbar yang dikaitkan dengan Pancasila disinyalir menjadi sumber absennya partai ini di Pilkada Sumbar. Banyak pihak menyebut rekam jejak elektoral yang dimiliki partai berlogo kepala banteng ini tidak begitu bagus di Sumbar.
Meskipun demikian, PDI-P pernah menorehkan sukses di pilkada langsung pertama yang digelar di Sumbar ini. Di Pilkada 2005 saat itu, PDI-P yang berkoalisi dengan Partai Bulan Bintang berhasil mengantarkan pasangan Gamawan Fauzi- Marlis Rahman sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih dengan raihan suara mencapai 41,5 persen.
Sosok Gamawan yang sebelumnya dikenal sebagai Bupati Solok dua periode ini memang cukup berprestasi sehingga tak heran popularitasnya saat itu turut mendongkrak namanya saat bertarung di pemilihan gubernur.
Kemenangan Gamawan di pilkada gubernur 2005 saat itu relatif cukup tinggi karena berhasil menyisikan empat pasangan calon lainnya dengan raihan suara jauh melampaui dari perolehan suara empat pesaingnya kala itu.
Sayangnya, Gamawan tak sampai menyelesaikan masa jabatannya karena terpilih menjadi Menteri Dalam Negeri pada era Presiden Susilo Bambang Yudhyono di periode 2009-2014. Marlis Rahman akhirnya meneruskan kepemimpinan di Sumbar sampai habis masa jabatan hingga 2010.
Sebagai partai yang tidak memiliki basis pemilih yang besar di Sumbar, pilihan PDI-P mendukung Marlis Rahman sebagai petahana di Pilkada 2010 cukup realistis, meskipun hasilnya pasangan calon yang diusungnya gagal mempertahankan kekuasaannya.
Gubernur dari PKS
Pasangan calon Marlis Rahman-Aristo Munandar yang diusung Golkar dan PDI-P ini harus mengakui keunggulan pasangan Irwan Prayitno-Muslim Kasim yang diusung PKS, Hanura, dan PBR. Irwan sebelumnya pernah berlaga di Pilkada 2005 tetapi kalah dari Gamawan.
Di Pilkada 2010 ini PKS bersama sosok Irwan Prayitno kembali meneguhkan wilayah Sumbar dengan lanskap politik pemilihnya yang sebagian besar berbasis keagamaan.
Hal ini tidak lepas dari sejarah politik di wilayah ini yang memang menjadi basis pemilih Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), partai politik Islam terbesar dalam sejarah republik ini.
Hal ini terutama terlihat dengan kemenangannya Masyumi di Pemilu 1955. Sumbar menjadi lumbung suara yang relatif besar bagi Masyumi. Provinsi ini menyumbang sekitar 10,1 persen terhadap perolehan suaranya secara nasional di Pemilu 1955
Munculnya sosok Irwan Prayitno, yang sebelumnya menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PKS dan berasal dari daerah pemilihan Sumbar ini makin meneguhkan personifikasi wilayah ini sebagai basis PKS.
Hal ini relatif tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Jawa Barat dengan sosok Ahmad Heriyawan yang juga kader PKS dan juga NTB yang dipimpin oleh Zulkieflimansyah yang juga kader PKS.
Koalisi PKS, Hanura, dan PBR berhasil mengantarkan pasangan Irwan Prayitno- Muslim Kasim memenangi Pilkada Sumbar 2020 dengan raihan suara mencapai 32,6 persen.
Perolehan suara ini tidak jauh berbeda dengan perolehan suara petahana, Marlis Rahman, yang berada di urutan kedua dengan perolehan suara mencapai 26,2 persen.
Kepemimpinan Irwan Prayitno selama lima tahun di Sumbar relatif diapresiasi sehingga dia terpilih kembali di Pilkada Sumbar 2015. Menariknya, di pilkada lima tahun lalu ini terjadi pecah kongsi antara gubernur petahana dan wakilnya. Wakil gubernur Muslim Kasim maju sebagai penantang Irwan bergandengan dengan Fauzi Bahar.
Pasangan ini diusung koalisi Nasdem, PAN, PDI-P, dan Hanura. Sementara Irwan Prayitno yang berpasangan dengan Nasrul Arbit diusung koalisi PKS dan Gerindra. Pasangan Irwan-Nasrul pun memenangi pilkada dengan perolehan suara mencapai 58,6 persen, meninggalkan mantan sekondannya, Muslim Kasim, yang meraih 41,4 persen suara.
Kesuksesan Irwan tidak lepas dari upayanya membangkitkan Sumbar setelah di tahun 2009 terjadi gempa di Padang. Pada Agustus 2010, saat Irwan dilantik sebagai gubernur, kondisi Sumbar masih minus dan tanggap darurat pasca gempa, bahkan pelantikannya sebagai gubernur dilakukan di sebuah garasi mobil di DPRD Sumbar.
Kini setelah hampir 10 tahun pasca gempa, PDRB per kapita Sumbar mengalami kenaikan pesat dari 2010 sebesar Rp 17 juta menjadi Rp 45,3 juta pada 2019. Rasio Gini juga membaik, pada 2010 angkanya 0,325 turun menjadi 0,306 di 2019.
Keberadaan sosok Irwan di Sumbar ternyata juga berdampak pada eksistensi PKS di Sumbar. Meskipun tren perolehan suaranya secara nasional di Sumbar mengalami penurunan, PKS mengalami tren kenaikan perolehan kursi di DPRD Sumbar.
Pada Pemilu 2009 partai ini hanya meraih 5 kursi di legislatif tingkat provinsi tersebut. Pada Pemilu 2014 perolehan kursi PKS meningkat menjadi 7 kursi dan pada Pemilu 2019 lalu bertambah menjadi 10 kursi. Kekuatan sosok Irwan sebagai kader partai sekaligus Gubernur Sumbar selama sepuluh tahun terakhir boleh jadi turut memberikan efek ekor jasa kepada PKS.
Ujian petahana
Faktor sosok ini kembali akan diuji pada Pilkada 2020 ini. Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar 2020 jumlah pasangan calonnya kembali lebih banyak seperti halnya yang terjadi di Pilkada 2005 dan 2010. Dengan empat pasangan calon yang sudah ditetapkan, pertarungan perebutan suara bakal seru dan sengit. Ada tiga alasan mengapa kontestasi di pilkada Sumbar tahun ini relatif menarik diikuti.
Pertama, pilkada tahun ini tidak ada kepala daerah petahana, yang ada hanya wakil kepala daerah petahana. Tak dimungkiri, pilkada tahun ini menjadi ujian bagi Nasrul Abit sebagai wakil kepala daerah petahana. Sepanjang tiga kali pilkada langsung yang sudah digelar, dua di antaranya diikuti wakil kepala daerah petahana dan keduanya gagal.
Di Pilkada 2010, Wakil Gubernur Marlis Rahman yang juga menggantikan Gamawan sebagai gubernur karena terpilih menjadi menteri gagal memenangi pilkada.
Hal yang sama juga dialami Muslim Kasim di Pilkada 2015. Tentu, rekam jejak ini menjadi ujian bagi Nasrul Abit apakah dia akan menjadi wakil gubernur petahana pertama di era pilkada langsung di Sumbar ini yang berhasil merebut kursi gubernur melalui kontestasi langsung, atau malah menambah rekam jejak wakil gubernur petahana kalah di pilkada.
Kedua, seperti di tiga pilkada sebelumnya, Pilkada Sumbar tahun ini juga tidak terjadi pengumpulan kekuatan partai politik di salah satu pasangan calon. Kekuatan partai relatif menyebar merata yang bisa menjadi sinyal terjadi kekuatan yang seimbang di antara keempat pasangan calon yang bertarung di pilkada 9 Desember nanti.
Ketiga, pilkada tahun ini menjadi ujian juga buat PKS sebagai partai yang dua kali turut memenangi pilkada di Sumbar, yakni Pilkada 2010 dan 2015. Partai-partai lainnya hanya merasakan satu kali memenangkan pasangan calon.
Apalagi pasangan calon yang diusung PKS tahun ini bukan dari petahana. Meskipun demikian PKS relatif konsisten mengajukan kadernya, Mahyeldi yang juga petahana Wali Kota Padang ini.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyebutkan, sosok menjadi kekuatan elektoral, apalagi pemilih di Sumbar relatif terbuka. ”Saat Pemilihan Presiden 2009, SBY menang di Sumbar dan mengalahkan Pak JK yang istrinya orang Sumbar,” ungkap Arya. Hal ini menurut Arya makin menegaskan preferensi politik masyarakat Sumbar sangat terbuka.
Pada akhirnya semua akan bertumpu pada kekuatan sosok calon yang diusung partai. Dengan kekuatan partai pendukung di empat pasangan calon yang relatif merata, sosok akan menjadi faktor dominan yang memengaruhi pilihan pemilih.
Dengan tiadanya kepala daerah petahana dalam kontestasi kali ini, panggung persaingan sosok lebih terbuka bagi siapa pun dari keempat pasangan calon ini meraih simpati pemilih. (LITBANG KOMPAS)