Rakyat Penunggu Melawan Penggusuran Lahan untuk Pertanaman Tebu PTPN II
›
Rakyat Penunggu Melawan...
Iklan
Rakyat Penunggu Melawan Penggusuran Lahan untuk Pertanaman Tebu PTPN II
Bentrokan akibat konflik agraria kembali terjadi di Sumatera Utara antara BPRPI dan PTPN II saat penggusuran lahan untuk pertanaman tebu, bahan baku pabrik gula perusahaan. Puluhan orang terluka.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·6 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Ratusan warga yang tergabung dalam Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak, Desa Pertumbukan, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, melakukan perlawanan saat petugas menggusur lahan yang mereka tempati dan usahakan, Selasa (29/9/2020). Penggusuran dilakukan guna perluasan tanaman tebu PT Perkebunan Nusantara II. Puluhan orang dilaporkan terluka, baik dari warga maupun tim perusahaan. Sejumlah kendaraan rusak.
Warga merasa memiliki lahan karena telah mendiami lahan selama 25 tahun terakhir. Lahan juga merupakan lahan adat rakyat penunggu sebelum investasi perkebunan masuk ke Sumatera Timur pada abad ke-19.
Adapun PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II melakukan penggusuran untuk mengambil kembali lahan yang merupakan konsesi mereka yang selama ini diduduki warga. Lahan akan digunakan untuk pertanaman tebu bahan baku dua pabrik gula yang dimiliki perusahaan.
Dalam keterangan tertulis yang Kompas terima, Rabu (30/9/2020) pagi, dari sisi warga, dua orang harus dirawat intensif di rumah sakit swasta di Medan akibat luka serius. Sebanyak delapan rumah sudah digusur rata, kantor sekretariat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), tiga mobil, tiga angkutan umum, dan puluhan sepeda motor rusak.
Ketua BPRPI Sumatera Utara Alfi Syahrin, saat dihubungi dari Medan, mengatakan, belasan warga terluka akibat bentrokan dengan petugas, tiga luka parah. Satu orang patah tulang, dua lainnya robek di kepala. ”Kami masih berada di Polres Langkat untuk melaporkan kasus ini,” ujar Alfi, Selasa malam.
Penggusuran telah berlangsung beberapa hari terakhir. Sebelumnya, kata Alfi, penggusuran sudah dilakukan di Desa Pertumbukan seluas 60 hektar. Sementara di Kampong Durian Selemak, penggusuran sudah terjadi pada lahan 20 hektar. ”Ladang tanaman palawija dan jeruk, sumber kehidupan warga, dihancurkan,” kata Alfi.
Alfi mengatakan, warga sudah mendiami kawasan itu selama 25 tahun. Sementara Desa Durian Selemak dihuni sekitar 500 keluarga. Mereka tinggal di lahan seluas 117 hektar. Lahan itu seluruhnya akan diambil kembali oleh PTPN II.
”Padahal yang tinggal di sini ada 30 janda, anak-anak yatim, yang hidupnya bergantung pada ladang. Pada masa pandemi Covid-19 begini, itulah sandaran hidup mereka. Kami minta okupasi lahan ini dihentikan karena ini lahan adat dan sumber kehidupan warga,” kata Alfi.
Penggusuran dilakukan sejak Selasa pagi, tetapi warga khususnya para perempuan mengadang kendaraan dan alat berat dan duduk di jalan melakukan Yasinan. Di tengah pandami Covid-19, warga justru berkerumun mengabaikan protokol kesehatan. Warga juga berorasi dan berdialog dengan petugas, tapi tidak menemukan titik temu. Sore hari, bentrokan pun pecah.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Utara Ansyurdin meminta penggusuran itu dihentikan karena selain menimbulkan kerugian materi, hilangnya rasa aman, juga berpotensi terjadi kekerasan. Apalagi, masyarakat adat akan kehilangan ketahanan pangannya menghadapi pandemi Covid-19.
Dalam dialog dengan perusahaan, pihaknya menyayangkan pembuktian adanya hak guna usaha (HGU) perusahaan tidak bisa diperlihatkan. Ia berharap peristiwa di Kampong Pertumbukan dan Kampong Durian Selemak tidak terjadi lagi di mana pun, kata Ansyurdin dalam keterangan tertulisnya.
Warga menyatakan perusahaan menawarkan tali asih Rp 2 juta per hektar dan Rp 20 juta untuk bangunan. Tawaran itu ditolak warga. BPRPI menilai, 167 hektar lahan yang dikuasai warga itu nilainya Rp 10.000 per meter sehingga nilai totalnya Rp 16,7 miliar.
Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat PTPN II Sutan Panjaitan menyatakan, sejumlah anggota timnya juga terluka akibat bentrok itu. Pihaknya juga melaporkan kasus ini ke Polres Langkat. ”Sejak awal, diskusi, surat edaran, imbauan, pemasangan papan pengumuman, dan tawaran tali asih dengan harga layak sudah kami sampaikan kepada warga, namun mereka menolak,” kata Sutan.
Ia menyatakan bentrokan justru dipicu oleh kelompok warga. ”Mereka memancing dengan melempar beberapa anggota. Anggota juga luka-luka,” kata Sutan. Meskipun demikian, Sutan menyatakan dalam melakukan kegiatan, pihaknya tetap mematuhi protokol kesehatan. ”Kami selalu teriak-teriak jaga jarak,” kata Sutan.
Pihaknya menyatakan memiliki sertifikat HGU di kebun Kuala Bingei, Stabat, Langkat, termasuk yang diduduki warga, seluas 1.530,71 hektar. HGU berlaku hingga tahun 2028.
Selasa siang, penasihat hukum perusahaan sudah menerangkan kepada warga tentang alas hak perusahaan dan hak-hak warga. Namun, warga meminta HGU perusahaan ditunjukkan. ”Bagaimana mungkin HGU ditunjukkan di situ, kalau mau datang ke kantor,” kata Sutan.
Pihaknya juga meminta persoalan diselesaikan di ranah hukum untuk menghindari kekerasan. ”Namun, pekerjaan kami membersihkan lahan tetap jalan terus,” kata Sutan.
Lahan yang diduduki warga itu akan dibersihkan untuk ditanami tebu sebagai bahan baku produksi Pabrik Gula (PG) Sei Semayang dan PG Kuala Madu, milik PTPN II. Produktivitas gula digenjot untuk memenuhi target pemerintah ber-swasembada gula. Sebelumnya, PG Sei Semayang sempat tidak berproduksi selama empat tahun, salah satunya karena kekurangan bahan baku.
Pihaknya telah mengalokasikan lahan seluas 200 hektar di Kecamatan Secanggang, Langkat, bagi masyarakat adat sesuai petunjuk Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. ”Masyarakat adat yang mana, kami kurang tahu, karena tentu yang terdaftar di pemerintah dan sesuai petunjuk dari Pemerintah Provinsi Sumut,” kata Sutan. Sutan mengatakan, datanya ada di Bagian Aset Pemerintah Provinsi Sumut.
Pihaknya telah mengalokasikan lahan seluas 200 hektar di Kecamatan Secanggang, Langkat, bagi masyarakat adat sesuai petunjuk Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. (Sutan Panjaitan)
Alfi mengatakan, rakyat penunggu adalah warga yang tinggal di Langkat yang sejak zaman Belanda bercocok tanam dengan sistem berladang rebah. Ladang berada di hutan, tapi tidak merusak hutan, dan berpindah ke lahan lain setelah menghijaukan lahan sebelumnya.
Ketika investasi tembakau datang di Sumatera Timur (Medan dan sekitarnya) pada abad ke-19-20, kehidupan warga itu diwadahi oleh perusahaan-perusahaan asing yang menanamkan modal di Sumatera Timur, dengan sistem tanah jaluran. Warga bisa menaman di tanah yang tidak ditanami tanaman tembakau. Hal itu dimungkinkan karena tanaman tembakau membutuhkan tanah baru untuk tumbuh sehingga penanamannya harus berpindah dalam periode tertentu lalu kembali ke tanah lama.
”Saat kemerdekaan, perusahaan-perusahaan dinasionalisasi. Tapi tanah semestinya dikembalikan kepada warga, bukan dinasionalisasi,” kata Alfi. Warga merasa tidak lagi memiliki akses pada lahan. Akibatnya, hingga kini, konflik agraria di Sumatera Utara tidak berkesudahan.
Berbagai kebijakan pemerintah sebenarnya mendukung BPRPI. Seperti pada 1980, Gubernur Sumut EWP Tambunan sudah memerintahkan Bupati Langkat dan Bupati Deli Serdang untuk menyelesaikan konflik rakyat penunggu BPRPI. Pada 1982 terbit Surat Asisten Bidang Pertanahan atas nama Gubernur Sumut Tengku Putra Aziz yang meminta Bupati Deli Serdang dan Bupati Langkat merealisasikan 1.000 hektar lahan untuk BPRPI (sebelumnya tertulis 10.000 hektar-red).
Pada 1983, SK Direktorat Agraria Medan atas nama Gubernur Sumut menyebutkan tanah seluas 9.085 hektar dikeluarkan dari HGU PTP IX (yang kemudian menjadi PTPN II) yang menjadi obyek reforma agraria dan selanjutnya didistribusikan kepada petani rakyat penunggu. Namun, hingga kini, rakyat penunggu tidak pernah menerima tanah-tanah itu. Tanah diduga diperjualbelikan kepada pihak-pihak tertentu.