Harga kopi robusta di tingkat petani saat ini tergolong rendah,yaitu Rp 15.000-Rp 17.000 per kilogram. Padahal, harga kopi yang memenuhi nilai keekonomian berkisar Rp 25.000 per kilogram. Stok kini tertahan di gudang.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akibat penumpukan stok di gudang, harga kopi di tingkat petani merosot. Penurunan ini dapat diatasi dengan penguatan akses pasar bagi petani, salah satunya melalui kanal dalam jaringan atau online.
Ketua Komunitas Petani Kopi Tanggamus, Lampung, Fajar Sasora menyebutkan, harga kopi robusta di tingkat petani saat ini tergolong rendah, yaitu Rp 15.000-Rp 17.000 per kilogram. Padahal, harga kopi yang memenuhi nilai keekonomian berkisar Rp 25.000 per kg.
”Stok kini tertahan di gudang. Ada penurunan permintaan sekitar 30 persen,” katanya saat dihubungi, Rabu (30/9/2020).
Harga kopi robusta di tingkat petani saat ini tergolong rendah, yaitu Rp 15.000-Rp 17.000 per kilogram. Padahal, harga kopi yang memenuhi nilai keekonomian berkisar Rp 25.000 per kilogram.
Belum lagi, ada satu perusahaan swasta yang berhenti bermitra langsung dengan petani kopi di salah satu wilayah sentra produksi di Lampung. Akibatnya, petani kopi tidak bisa menikmati keuntungan optimal karena adanya perantara.
Oleh karena itu, Fajar berharap, kemitraan perusahaan dengan petani kopi dapat terjalin secara langsung. Dengan kemitraan langsung, petani dapat menikmati fasilitas pelatihan dan sertifikasi yang diberikan oleh perusahaan.
Pengurus Koperasi Murbeng Puntang, Jawa Barat, Ayi Sutedja, mengatakan, harga kopi arabika dalam bentuk buah ceri saat ini Rp 6.500-Rp 8.000 per kg. Harga ini tergolong stabil dan penyerapannya lancar karena rantai pasoknya sudah mumpuni.
Sebelum ada pandemi Covid-19, komunitas petani di sana telah membentuk jaringan pasar secara daring melalui aplikasi Whatsapp dan media sosial. ”Sekarang, kalau ada kebutuhan di pasar, kami langsung memberikan informasinya di grup (Whatsapp), nanti langsung ditanggapi,” katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Chairman of Executive Board Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) Paramita Mentari Kesuma, petani kopi di Jawa Barat diuntungkan karena dekat dengan wilayah-wilayah konsumen, seperti Jakarta. Dengan demikian, saluran dari sentra produsen ke hilir pun tergolong lancar.
Akan tetapi, berdasarkan laporan yang didapatkan dari anggota SCOPI, petani kopi di Aceh tengah menghadapi tantangan. Harganya berada di tingkat terendah sejak 2011.
Di Aceh, stok biji kopi mentah (green bean) hasil panen Maret-Juni 2020 sebanyak 15.000 ton menumpuk di pedagang, eksportir, dan petani. Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, puncak panen kopi di Dataran Tinggi Gayo diperkirakan terjadi mulai akhir September 2020 sampai Januari 2021 dengan proyeksi total produksi 70 persen dari total produksi pada umumnya atau setara 52.052 ton.
”Hingga Januari 2021, diproyeksikan akan ada 67.000 ton kopi Gayo yang tersedia dan berpotensi tidak terserap jika permintaan kopi terus menurun,” kata Nova (Kompas, 24 September 2020).
Ketua Dewan Pengurus Sustainable Coffee Platform of Indonesia Irvan Helmi menambahkan, pasar kopi Aceh tergantung dari ekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Diperkirakan konsumsi di kedua pasar ekspor tersebut menurun sehingga berdampak pada penyerapan di hulu.
Kementerian Perindustrian mencatat ekspor produk kopi olahan pada tahun 2019 menyumbang devisa 610,89 juta dollar AS atau meningkat 5,33 persen dibandingkan tahun 2018. Pada Januari-Juni 2020, saat masih di tengah pandemi, neraca perdagangan produk kopi olahan nasional masih surplus 211,05 juta dollar AS.
”Saat ini ekspor produk kopi olahan didominasi produk berbasis kopi instan, ekstrak, esens, dan konsentrat kopi yang tersebar di sejumlah negara tujuan utama, seperti di kawasan ASEAN, China, dan Uni Emirat Arab,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim. (CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO)