Utak-atik Dagang Melalui Klik
Bagi pelaku bisnis rintisan, hadir saja di media sosial tak cukup. Perlu banyak strategi untuk terlihat dan diingat orang.
Lebih dari 170 juta penduduk Indonesia terhubung dengan internet dan aktif di media sosial. Inilah yang membuat promosi lewat baliho di pinggir jalan kalah ampuh dibandingkan dengan satu video viral. Ikhwal pemasaran digital ini selalu moncer untuk dibahas.
Ada yang tahu odading Mang Oleh di Pasar Kosambi, Bandung? Jajanan roti goreng itu sedang kebanjiran pembeli, yang bukan cuma warga Bandung saja. Orang-orang dari luar Bandung tahu jajanan itu setelah video bikinan Mang Ade yang lagi mengunyah odading viral di media sosial.
Video bikinan Mang Ade, warga Pasar Kosambi, pendek saja dan gambarnya kusam. Mang Ade juga bicaranya cuma meracau, sambil mengunyah odading, yang katanya bisa bikin jadi Iron Man, ha-ha-ha.
Justru dari video sederhana apa adanya itulah Mang Oleh kebanjiran pembeli, suatu hal yang tak pernah dia rasakan berpuluh tahun berjualan odading dan cakue di sana. Jadi, lewat video itu, Mang Ade berhasil memengaruhi orang untuk jajan odading. Mang Ade sah jadi influencer atau pemengaruh walau tak pernah dia niatkan sebelumnya.
Fenomena kesuksesan odading Mang Oleh merupakan ilustrasi salah satu strategi pemasaran yang memanfaatkan media sosial. Strategi ini dianggap masih bertaji, terutama bagi produk yang belum terlalu dikenal masyarakat.
”Influencer adalah jembatan antara brand (merek produk) dan calon konsumennya. Brand yang belum kuat atau baru perlu (dikenalkan) lebih masif, kan. Nah, kolaborasi antara influencer dan brand sangat vital. Apa pun bentuk kolaborasinya itu masih bagus banget sampai sekarang,” kata Niko Julius, seorang pemasar digital.
Niko menyampaikan itu dalam webinar Encore: Ultimate Guide to Digital Marketing for Beginner, Sabtu (26/9/2020), yang digelar Kompas Corner dan Universitas Multimedia Nasional (UMN). Kompas Corner merupakan ruang interaksi dan belajar tentang media. Kompas Corner dibentuk pada 2 Mei 2013. Selain UMN, Kompas Corner juga ada di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, dan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Acara webinar itu merupakan bagian dari rangkaian ulang tahun ke-7 Kompas Corner UMN.
Selain Niko, pembicara lain adalah Septian Bramandita, pendiri konsultan bisnis @bisnisbarengbram. Mereka berdua bicara di sesi kedua dengan tema ”Content Marketing Strategy-Trends You Need to Know”.
Pendapat Niko sejalan dengan temuan Litbang Kompas perihal peran pemengaruh (influencer) bagi kalangan mahasiswa yang dilakukan akhir tahun lalu di 34 provinsi. Salah satu jajak pendapat itu menyebutkan bahwa sembilan dari 10 responden mengikuti aktivitas pemengaruh di media sosial.
Wadah (platform) yang paling sering digunakan untuk memantau aktivitas pemengaruh adalah Instagram. Sekitar 60 persen responden memilih media sosial itu. Sementara wadah Youtube digunakan sebanyak 27,9 persen. Adapun Twitter dan Facebook rupanya mulai ditinggalkan mahasiswa. Hanya sekitar 1 persen saja yang masih menggunakannya.
Apakah mahasiswa bisa dijangkau di Facebook? Bisa. Hanya tantangannya berbeda. (Niko Julius)
Menurut Niko, masih ada sebagian generasi muda (mahasiswa atau pelajar) yang masih menggunakan Facebook meski tujuannya sudah lebih sempit, seperti berinteraksi dengan orangtuanya atau bereuni dengan teman sekolah zaman dulu. ”Apakah mahasiswa bisa dijangkau di Facebook? Bisa. Hanya tantangannya berbeda,” lanjut Niko.
Dia melanjutkan, generasi muda masa kini lebih banyak berinteraksi di Instagram dan Tiktok. Septian Bramandita adalah salah satu yang bergerilya di Tiktok, media sosial yang selama ini dikenal sebagai ajang joget-joget belaka. Sekarang, akun Bisnis Bareng Bram meraup lebih dari 440.000 pengikut. Padahal, Bram tidak jualan barang, melainkan edukasi mengenai bisnis.
Kenali audiens
Bram berbagi pendapat mengenai bagaimana memilih wadah yang efektif. Dia melakukan riset terlebih dahulu, mempelajari kebiasaan audiens yang hendak disasar.
”Cari tahu dulu mereka kebanyakan menggunakan waktunya di platform apa. Misalnya, bikin akun di tiga platform berbeda. Lihat, mana yang lebih berhasil. Di Tiktok, audiens saya kebanyakan emak-emak pedagang online. Itu di luar ekspektasi saya,” kata Bram.
Bram menyarankan agar tidak mengandalkan satu platform saja. Menurut dia, perlu membuat beberapa saluran pemasaran meski yang penjualan bagus hanya ada di satu saluran saja. Itu diperlukan sebagai antisipasi jika suatu saat kanal tersebut macet atau malah tutup di luar prediksi.
Misalnya, jualan produk kecantikan. Sesekali kasih tips merawat wajah. Orang jadi teredukasi juga sambil kita berjualan. (Septian Bramandita)
Jika sudah memilih salurannya, konten juga perlu dipikirkan. Bram menyarankan agar tidak menjejali audiens dengan dagangan melulu. ”Misalnya, jualan produk kecantikan. Sesekali kasih tips merawat wajah. Orang jadi teredukasi juga, sambil kita berjualan,” tuturnya.
Niko sependapat. Menurut dia, orang tidak butuh dagangan kita setiap hari. Bisa saja butuhnya tiga hari kemudian, seminggu kemudian, atau kapan pun. ”Nah, pertimbangkan bagaimana caranya ketika orang butuh, ingatnya produk kita. Itu yang harus dipahami tentang jualan. Asosiasi namanya,” kata Niko.
Paparan Niko dan Bram itu merupakan wujud dari konsep pemasaran digital yang disampaikan Krishna Nugraha, Internet Marketing Lead di Tokopedia, pada sesi pertama webinar ini. Menurut Krishna, praktisi pemasaran melakukan tiga hal utama di ranah digital (mesin pencari, media sosial, dan sistem iklan).
Pertama, mereka meningkatkan kesadaran calon pelanggan terhadap produk menggunakan unggahan (konten). Kedua, berusaha menggaet pelanggan yang sedang mempertimbangkan membeli produk dengan memberi informasi lebih rinci. Ketiga, menjaring pelanggan yang sudah tertarik membeli dengan menggunakan sistem iklan.
”Sebelumnya, pastikan kekuatan di medsos sudah kuat, misalnya jumlah pengikut sudah lumayan dan konten sudah banyak. Selain itu, pastikan juga produk kita sudah siap dan tersedia,” kata Krishna.
Menurut dia, variasi kanal pemasaran perlu dipertimbangkan. Ada kanal yang gratis, seperti media sosial dan mesin pencari. Ada pula yang berbayar, seperti search engine marketing dan pay-per-click. ”Sebaiknya, optimalkan yang gratis dulu, baru beralih ke kanal berbayar agar seluruh ruang digunakan,” lanjut Krishna.
Perkaya ilmu
Topik pemasaran digital sepertinya sedang digemari. Ada lebih dari 200 orang yang mengikuti seminar virtual yang berlangsung mulai pukul 10.00 hingga pukul 14.00 itu. Putri Cahyani Maitri (18), mahasiswa UMN, salah satunya. Dia pernah mebuka bisnis kecil berjualan makanan ringan selama 2017-2018. Namun, bisnis itu tak kunjung berkembang dan akhirnya tutup.
”Saya ingin menambah ilmu dan wawasan biar nanti kalau buka bisnis lagi sudah ada bekal. Supaya bisa mendapat pelanggan yang banyak dan mempromosikan bisnis dengan cara yang pas,” tutur Putri.
Menurut Putri, pengembangan bisnis melalui pemasaran digital bukanlah proses instan. Pemilik bisnis kecil harus berusaha lebih kuat dalam mempromosikan dan membangun merek.
Diyah Adikara (31) juga merasa perlu memperbarui wawasannya di bidang pemasaran digital. Bisnis rintisannya sejak 2019, Diyah Adikara Speaking Class, wadah untuk melatih keterampilan berbicara di depan publik, sedang kehilangan murid.
”Bisnis saya terdampak pandemi karena lama-kelamaan murid saya terus berkurang. Penghasilan juga berkurang. Jadi, saya ingin belajar lagi mengembangkan bisnis karena pengetahuan saya di dunia praktisi itu masih kurang,” kata Diyah dari Yogyakarta.
Diyah merasa tidak mudah mengembangkan bisnis karena membutuhkan komitmen menjalani banyak tahapan. Oleh karena itu, ada baiknya para pelaku bisnis memperkaya ilmu dengan belajar dari mentor yang telah berhasil di bidangnya, seperti melalui kelas webinar pemasaran digital ini. Bukan hanya cerita inspiratif yang dibutuhkan, melainkan juga teori-teori yang mudah diterapkan.