Waspadai Kemunculan Regulasi Serupa RUU Cipta Kerja
›
Waspadai Kemunculan Regulasi...
Iklan
Waspadai Kemunculan Regulasi Serupa RUU Cipta Kerja
Tuntutan agar penyelenggaraan pendidikan terbebas dari urusan bisnis masih terus bergulir meski kluster pendidikan dicabut dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Profesor dan guru besar di Indonesia menolak substansi pengaturan pendidikan dimasukkan dalam bentuk regulasi yang masih merupakan derivasi dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Penyelenggaraan pendidikan harus dipisahkan dari kepentingan bisnis dan politik.
Hal itu adalah satu dari empat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Berbadan Hukum, Forum Dewan Guru Besar Indonesia, dan Asosiasi Profesor Indonesia, Selasa (29/9/2020), di Jakarta.
”Bagi kami, pencabutan kluster pendidikan dari RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR tetap harus diwaspadai. Makna ’pencabutan’ bisa berarti ’selamanya’ atau ’sementara’,” ujar Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro.
Dia mengatakan, profesor dan guru besar yang tergabung di tiga organisasi itu menilai RUU Cipta Kerja kontraproduktif dan merugikan perkembangan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, rekomendasinya adalah mencabut permanen seluruh ketentuan pasal terkait pendidikan.
Rekomendasi berikutnya adalah berbagai akademisi, organisasi profesi pendidikan, dan masyarakat ikut serta mengawal isu-isu pendidikan.
Koentjoro menyampaikan, UGM menginisiasi hal itu. Akan tetapi, persoalan masuknya kluster pendidikan hingga dicabut dari RUU Cipta Kerja adalah isu bersama. Setelah Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Berbadan Hukum, Forum Dewan Guru Besar Indonesia, dan Asosiasi Profesor Indonesia berkoordinasi, harapannya semakin banyak pihak ikut mengawal.
Rekomendasi terakhir yaitu pemerintah dan DPR menggagas pembentukan perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perubahannya dikemas dalam model omnibus law.
UU No 20/2003 dianggap kurang akseleratif untuk merespons persoalan ataupun tantangan disrupsi pendidikan. UU ini juga dinilai belum komprehensif untuk mengatur pendidikan nasional.
”Ada sejumlah UU mengenai pendidikan yang keluar setelah UU No 20/2003. Kami menyarankan perlu upaya harmonisasi dan sinkronisasi sehingga tidak terjadi tumpang tindih,” kata Ketua Asosiasi Profesor Indonesia Ari Purbayanto.
Selain itu, perubahan UU No 20/2003 bertujuan menguatkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan yang merupakan kewenangan konkuren sebagai urusan wajib menyediakan pelayanan dasar di daerah.
Penanaman modal
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam menerangkan, RUU Cipta Kerja ingin mengakomodasi segala peraturan terkait perizinan dan kemudahan penanaman modal. Untuk urusan investasi, daya tarik Indonesia tertinggal dari negara lain.
Beberapa negara Asia Tenggara, seperti Myanmar dan Vietnam, memiliki birokrasi perizinan usaha dan investasi yang sederhana, tegas, dan transparan. Akibatnya, pembukaan lapangan kerja marak tumbuh.
Terkait penyelenggaraan pendidikan, Nizam menyebut dua pendapat yang berkembang. Pertama, penyelenggaraan pendidikan sebagai kepentingan publik (public goods). Kedua, penyelenggaraan pendidikan sebagai kepentingan privat (private goods). Untuk jenjang pendidikan dasar-menengah, dia memandang pendapat pertama lebih tepat. Adapun jenjang pendidikan tinggi, semi-private goods amat dimungkinkan terjadi.
”Masyarakat selalu bertanya mengapa tidak menggratiskan biaya pendidikan tinggi? Kami (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) akan menjawab anggarannya tidak cukup membiayai,” kata Nizam saat menghadiri webinar Telaah Kritis Guru Besar Indonesia atas RUU Cipta Kerja Khususnya Bidang Sistem Pendidikan Nasional.
Dia lantas memberikan gambaran. Total anggaran di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi per tahun hanya mencapai sekitar Rp 30 triliun. Sementara total anak berusia 19-24 tahun yang kuliah diperkirakan 20 juta orang.
Nizam memandang, pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi bisa dijadikan pelajaran. Pemerintah tidak akan lepas tanggung jawab, seperti keuangan, untuk penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi, dari sisi perguruan tinggi, pengelolaan pendidikan semestinya terus mengutamakan efisiensi, efektivitas, penjaminan mutu, akuntabilitas, dan transparansi.
Menurut dia, negara memberikan aset kepada perguruan tinggi negeri mencapai Rp 440 triliun. Namun, aset tersebut kurang diberdayakan secara optimal.
”Kami merasa perlu penataan sistem dengan kondisi aktual dan tantangan masa depan,” kata Nizam.
Di luar isu itu, dia membenarkan wacana penyusunan RUU Sistem Pendidikan Nasional yang mengintegrasikan UU No 20/2003 dan UU No 12/2012 tentang Pendidikan. Pemerintah memohon masukan dari publik.