Petenis belia, Cori ”Coco” Gauff masih memerlukan banyak waktu untuk beradaptasi. Cori tersingkir dari babak kedua Grand Slam Perancis Terbuka ketika melawan petenis Italia, Martina Trevisan.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Sejak tahun lalu, setelah memberi kejutan pada debut dalam babak utama turnamen Grand Slam, Cori ”Coco” Gauff mendapat kepercayaan diri untuk bersaing di arena profesional. Namun, ketatnya persaingan di arena tenis putri dan berubahnya semua aspek kehidupan akibat pandemi Covid-19, membuat Coco masih memerlukan banyak waktu untuk beradaptasi di jajaran petenis elite dunia.
Petenis AS berusia 16 tahun itu tersingkir pada babak kedua dalam debutnya pada babak utama Perancis Terbuka. Bertanding melawan petenis kualifikasi, Martina Trevisan, di Lapangan Simonne Mathieu, Roland Garros, Paris, Rabu (30/9/2020) sore waktu setempat atau tengah malam waktu Indonesia, Coco kalah 6-4, 2-6, 5-7, setelah bertanding selama 2 jam 11 menit.
Meski bukan berstatus unggulan dan berusia sepuluh tahun lebih muda dari Trevisan (26 tahun), Coco lebih diunggulkan dalam pertandingan tersebut. Dengan peringkat ke-51 dunia, Coco berhak langsung tampil pada babak utama. Adapun Trevisan harus melalui kualifikasi dan memenangi tiga pertandingan untuk penampilan kedua dalam babak utama Grand Slam setelah Australia Terbuka, Januari.
Coco pun tampil gemilang ketika menyingkirkan unggulan kesembilan, Johanna Konta, pada babak pertama, dua hari sebelumnya. Coco menang, 6-3, 6-3.
Trevisan pun sangat mengantisipasi pertandingan tersebut. ”Ketika memasuki lapangan, saya tak memandang siapa lawan saya. Itu menjadi kunci untuk pertandingan tadi. Saya berusaha merebut setiap poin tanpa berpikir bahwa Coco punya peringkat lebih baik dan lebih banyak pengalaman dari saya,” tutur Trevisan dalam laman resmi WTA.
Dengan fokus pada kemampuan diri sendiri, petenis Italia itu mengalahkan Coco meski kehilangan set pertama terlebih dulu. Meski Coco menyamakan skor, 5-5, setelah tertinggal, 3-5, pada set ketiga, Trevisan kembali unggul pada momen penting.
Sebaliknya, Coco tak bisa menahan tekanan hingga banyak membuat kesalahan, terutama pada servis. Dia membuat lima double fault, dari total 19, pada set ketiga, dua kali di antaranya dilakukan beruntun. Tragisnya, dua kali kesalahan ganda pada servis ini membuahkan dua poin terakhir yang menentukan kemenangan Trevisan.
Kesalahan serupa menjadi kelemahan Coco ketika berhadapan dengan Konta. Saat itu, dia membuat 12 double fault. Tampil pertama kali dalam babak utama Perancis Terbuka membuat Coco gugup meski dia berpengalaman menjuarai kategori yunior pada 2018.
Hasil di Roland Garros tersebut memperlihatkan kesulitan Coco ketika bertanding kembali setelah turnamen tenis putri dihentikan pada Maret-Agustus karena pandemi Covid-19. Sebelum turnamen dihentikan, petenis yang mengidolakan Serena dan Venus Williams tersebut mencapai babak keempat Australia Terbuka, di antaranya dengan mengalahkan Venus dan juara bertahan, Naomi Osaka.
Penampilannya menjanjikan ketika persaingan dihidupkan kembali pada Agustus. Pada WTA Lexington, 10-16 Agustus, yang merupakan pemanasan AS Terbuka, Coco mencapai semifinal.
Akan tetapi, saat menginjakkan kaki pada turnamen berlevel lebih tinggi, WTA Cincinnati dan AS Terbuka, dia tak bisa melewati babak pertama. Sebelum tampil di Roland Garros, petenis yang juga aktif sebagai aktivis sosial untuk menentang kekerasan rasial itu hanya bertahan hingga babak kedua WTA Roma.
”Sejak tahun lalu, saya punya kepercayaan diri lebih besar, tetapi saya tidak membuat ekspektasi besar. Saya punya keyakinan bisa menang, tetapi tidak terlalu berharap. Apa yang terjadi, biarlah terjadi,” katanya.
Petenis yang memiliki ayah pelatih basket universitas dan ibu yang merupakan mantan atlet atletik itu juga mengakui kesulitannya tampil dalam turnamen besar tanpa banyak pertandingan sebelumnya. Setelah dikalahkan sesama petenis AS, Jennifer Brady, pada semifinal di Lexington, misalnya, Coco hanya bisa mengevaluasi penampilannya melalui tayangan video.
”Saya tidak punya banyak pertandingan yang sesuai standar saya. Saya masih harus beradaptasi untuk bersaing di level elite arena profesional ini,” katanya.
Batasan usia
Tak salah jika Coco kesulitan tampil konsisten dalam persaingan dengan para senior di level profesional. Situasi akibat pandemi Covid-19 tak memungkinkannya untuk tampil dalam lebih banyak turnamen WTA setelah dia berusia 16 tahun pada 13 Maret.
Situasi yang sama memang dialami semua petenis, tetapi petenis muda merasakan dampak lebih besar karena masih minimnya pengalaman mereka di arena profesional. Sebelumnya, meski Coco telah menembus babak keempat Wimbledon dan babak ketiga AS Terbuka 2019, dia tak diperkenankan tampil dalam banyak turnamen.
WTA memiliki peraturan terkait jumlah turnamen WTA Tour bagi petenis-petenis muda. Sebelum berusia 16 tahun, Coco hanya boleh bertanding pada, maksimal, 14 turnamen WTA.
Peraturan yang diperkenalkan sejak 1994 tersebut dibuat untuk melindungi pemain-pemain muda agar tak dipaksakan untuk ”matang” sebelum waktunya. Dengan demikian, mereka bisa memiliki perjalanan karier yang lebih panjang.
Salah satu contoh kasus yang dijadikan rujukan oleh WTA adalah ketika lahirnya bintang AS, Jennifer Capriati. Dia baru berusia 13 tahun ketika muncul dalam sampul majalah Sport Illustrated pada 1989.
Setahun kemudian, Capriati mencapai semifinal Perancis Terbuka dalam debutnya di arena Grand Slam, lalu meraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992 dalam usia 16 tahun. Namun, gelar Grand Slam pertamanya baru diraih pada 2001 dari Australia Terbuka, lalu Perancis Terbuka.
Capriati kesulitan menyeimbangkan kehidupan pribadi dengan tuntutan sebagai petenis profesional, hingga dia pun pensiun dalam usia 28 tahun. (AP)