Waspadai Pengawetan Narasi Kekerasan di bangku Sekolah
›
Waspadai Pengawetan Narasi...
Iklan
Waspadai Pengawetan Narasi Kekerasan di bangku Sekolah
Narasi kekerasan peristiwa 1965 masih menjadi kontroversi. Untuk menghadirkan narasi itu ke ruang belajar-mengajar, guru perlu menggali aneka macam referensi penelitian dan sumber-sumber buku bacaan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Narasi Gerakan 30 September 1965 atau peristiwa 1965 telah masuk ke ranah-ranah formal, seperti pendidikan, hari peringatan, dan kegiatan di museum. Maka, upaya untuk mencoba memberikan antitesis (counter) narasi peristiwa 1965 tidak mudah dilakukan. Membicarakan antitesis di ruang publik pun masih rentan terkena persekusi.
"Narasi kekerasan yang ada dalam peristiwa itu tetap bisa terus dibicarakan melalui cara informal, seperti melalui keluarga. Hal yang harus diingat adalah seberapa besar resiliensi individu dan peta konflik di sekelilingnya," kata peneliti sejarah 1965 sekaligus doktor alumnus Universitas Leiden Grace Leksana saat menghadiri dialog sejarah daring bertajuk "1965: Sejarah yang Dikubur", Selasa (29/9/2020).
Menurut Grace, hingga sekarang, masih ada upaya mengawetkan memori normalisasi kekerasan ketika membicarakan peristiwa 1965. Hal ini salah satunya muncul dalam riset doktoral dia di dua desa di Malang bagian selatan.
Dia sempat mewawancarai seorang penduduk desa di wilayah itu yang pada peristiwa itu berprofesi sebagai petugas Hansip (Pertahanan Sipil) dan membantu menggeruduk warga yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Petugas Hansip itu mengaku kehilangan banyak saudara, tetapi di sisi lain dia bersikeras menyatakan bahwa penggerudukkan itu harus dilakukan agar desa maju dan modern.
"Ada tumpang tindih narasi dalam diri (petugas) Hansip itu. Beberapa warga yang dulu membantu tentara dan kini jadi aparat desa memiliki kondisi sama. Mereka umumnya mempertahankan narasi kekerasan yang saya duga itu berhubungan dengan kekuasaan," ujar Grace.
Sejarawan dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada, John Roosa, memandang pentingnya mendudukkan peristiwa 1965 sebagai satu peristiwa kekerasan. Setelah kejadian itu terjadi rangkaian peristiwa-peristiwa kekerasan yang berbeda. Salah satunya adalah penghilangan paksa dan pembunuhan massal di berbagai daerah.
Pola pembunuhan massal di satu desa kemungkinan berbeda dengan desa lainnya. Meski demikian, rangkaian peristiwa tersebut bisa ditarik akarnya.
Peristiwa dibuat, tetapi tidak banyak saksi. Pelaku tidak bicara terus terang. Tidak ada ingatan yang benar-benar jelas.(John Roosa)
"Peristiwa dibuat, tetapi tidak banyak saksi. Pelaku tidak bicara terus terang. Tidak ada ingatan yang benar-benar jelas," kata John.
Guru mesti mencari referensi
Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, saat dihubungi Rabu (30/9/2020), di Jakarta, berpendapat, guru harus piawai ketika menghadirkan sejarah yang masih kontroversi, seperti peristiwa 1965. Kepiawaian itu bisa diperoleh dengan cara aktif menggali aneka macam referensi penelitian dan sumber-sumber buku bacaan.
Guru juga perlu memperhatikan kesiapan anak untuk mendapatkan pembelajaran tersebut. Jika tidak, guru akan kesulitan.
"Guru semestinya tidak terjebak melakukan penghakiman. Siswa diberikan keleluasaan menyampaikan pandangannya. Dengan kata lain, guru menciptakan ruang dialog kritis," ujar dia.
Anggi memandang, materi sejarah yang masih kontroversi semestinya disampaikan di jenjang sekolah menengah atas (SMA) ke atas. Dia menganggap, peserta didik jenjang sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) belum mempunyai tahapan psikologi sampai level abstrak.
Menurut dia, posisi guru sebenarnya tidak mudah ketika berupaya menghadirkan narasi sejarah yang masih kontroversi dan berbeda dengan narasi pengetahuan "resmi" dari pemerintah. Apabila salah strategi, maka guru yang bersangkutan bisa mendapatkan stigma negatif.
Kemarin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim, dalam pidato menyambut peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang diputar di TVRI ataupun kanal YouTube Kemendikbud menekankan pentingnya memaknai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa pandemi Covid-19, nilai-nilai Pancasila muncul dalam berbagai situasi.
Dia mencontohkan di bidang kesehatan misalnya, tenaga medis setiap hari mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan pasien. Ribuan mahasiswa juga banyak yang mencalonkan diri sebagai sukarelawan dalam penanganan Covid-19.
Kemudian, di bidang pendidikan dan kebudayaan, menurut Nadiem, lilin-lilin Pancasila telah dinyalakan oleh guru-guru di daerah terpencil dengan langkah mereka mendatangi rumah-rumah murid untuk memastikan murid-murid mereka tetap bisa belajar. Demikian pula, seniman-seniman di seluruh Nusantara masih mau menyelenggarakan pertunjukan-pertunjukan seni secara daring untuk mengingatkan rakyat betapa indahnya Kebhinekaan Indonesia.
"Kita melihat lilin Pancasila menyala di antara pemimpin umat di tempat-tempat ibadah. Mereka menggalang dana kemanusiaan tanpa memandang perbedaan agama, "ujar Nadiem.