Sindiran keluarga hingga persekusi tidak menyurutkan semangat sebagian perempuan Indonesia memperjuangkan keragaman jender. Bagi mereka, semua manusia punya hak yang sama meskipun berbeda jender dan orientasi seksual.
Oleh
abdullah fikri ashri
·4 menit baca
Sindiran keluarga hingga persekusi tidak menyurutkan semangat sebagian perempuan Indonesia memperjuangkan narasi keragaman jender. Bagi mereka, semua manusia mempunyai hak yang sama meskipun berbeda jender dan orientasi seksual.
Richa (24), pendiri Narasi Toleransi, komunitas yang fokus pada keragaman identitas, kenyang dengan pengalaman pedih menyuarakan keragaman jender dan seksualitas. ”Ini semua proses yang harus dilalui,” ucapnya, saat dihubungi dari Cirebon, Rabu (30/9/2020).
Jalan yang ia pilih memang sunyi, bahkan mungkin asing bagi banyak orang, termasuk keluarganya. Richa tumbuh di lingkungan salah satu pondok pesantren di Pati, Jawa Tengah. Berbagai tafsir tentang derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan menjejali kepalanya.
”Pernah kami bikin monolog tentang tenaga kerja Indonesia perempuan yang dipandang rendah. Eh, kami dipanggil BP (bimbingan penyuluhan),” katanya diikuti tawa. Jangankan itu, temannya yang ketahuan punya pacar di status Facebook-nya saja kena peringatan sekolah.
Richa lalu bertanya-tanya, mengapa isu perempuan sulit keluar dari sumur, dapur, dan kasur. Keingintahuannya mengantarnya ke beberapa kelompok yang memperjuangkan keragaman jender pada 2013. Ruang belajar kian luas saat ia melanjutkan kuliah di Yogyakarta.
Anak wiraswasta ini mulai paham bahwa makna perempuan terlalu sempit jika hanya dibatasi urusan domestik. ”Waktu saya pakai celana dan bukan rok, keluarga menyindir. Memang, tubuh perempuan milik masyarakat, bukan miliknya sendiri,” katanya.
Beruntung, orangtuanya mendukung. Toh, busana tidak menunjukkan baik atau buruknya seseorang. ”Kita enggak bisa jadi hakim. Cukup Tuhan yang menghakimi,” ucap Richa, menirukan ucapan orangtuanya kepada keluarga yang menyudutkannya.
Dukungan itu menjadi energi bagi Richa untuk terus bergelut di isu keragaman jender hingga mendirikan organisasi Narasi Toleransi, tahun lalu. Ia dan sejumlah anak muda mendampingi komunitas lesbian, gay, biseksual, transjender, queer, dan interseks (LGBTQI), menjalani hidup.
Berbagai tantangan pun datang silih berganti. ”Saat kami bikin diskusi di Yogyakarta tentang LGBT, ada kelompok ormas yang mengatasnamakan agama membentak dan menghentikan kegiatan kami,” ungkap alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Di media sosial, kiprah Richa juga dihakimi manusia. Pengalaman terpahitnya saat fotonya diumbar di media sosial dengan tudingan perempuan nakal. Pengikutnya di Instagram melonjak dari 4.000 sampai 10.000-an akun. Namun, sebagian besar akun itu mengirimkan pesan ungkapan kasar, mulai dari ”isi kebun binatang hingga perempuan tunasusila.
”Saya sempat down, sekitar sebulan dengan menutup akun. Mereka tidak berdebat dengan opini, tetapi menyerang personal,” ungkapnya.
Dalam keterpurukan, Richa meluapkan kekesalannya kepada dirinya sendiri. Ia membuat grup Whatsapp yang isinya dua nomornya sendiri. Baginya, lebih baik menyelesaikan masalahnya sendiri. Dalam grup itu, ia berdialog dengan dirinya sendiri. ”Ngapain juga saya nanggepin kayak ginian (persekusi di media sosial). Saya bangkit dan aktif lagi di medsos,” katanya.
Richa mengatakan, kadang capek dengan pilihannya memperjuangkan komunitas LGBTIQ. Namun, ia selalu merasa, semua orang bisa mengalami kondisi LGBTIQ yang haknya kerap dirampas oleh siapa saja dan distigma negatif. Itu sebabnya, baginya, tidak perlu jadi LGBTIQ untuk memperjuangkan komunitas tersebut.
Melalui Narasi Toleransi, ia mengajak semua pihak, termasuk tokoh agama untuk turut menghapus diskriminasi terhadap komunitas LGBTIQ. Perjuangannya tidak sia-sia. Kini, dari awalnya berada di Jakarta dan Yogyakarta, komunitas ini menyebar ke 16 daerah, dari Semarang, Jawa Tengah, hingga Kendari, Sulawesi Tenggara. ”Gerakan ini tidak ada pensiunnya,” ucapnya.
Saya sempat down, sekitar sebulan dengan menutup akun. Mereka tidak berdebat dengan opini, tetapi menyerang personal.
Pilihan Jihan Fairuz (26), Koordinator Nasional Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS), memperjuangkan hak LGBTIQ juga sempat ditentang orangtuanya. ”Saya dicap liberal dan pendosa. Mungkin karena basis keluarga dari pesantren,” kata perempuan berjilbab ini.
Secara perlahan, ia menjelaskan dalam komunitas LGBTIQ juga ada manusia dengan hak-hak di dalamnya. Namun, masyarakat masih sulit menerima karena jender kerap hanya dipandang laki-laki dan perempuan.
”Akhirnya, mereka pun kesulitan menerima dirinya sendiri,” ucap orangtua tunggal dengan anak satu ini.
Belakangan, orangtuanya mulai memahami apa yang ia perjuangkan. Alumnus IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini pun terus menyebarkan narasi antidiskriminasi terhadap keragaman jender. Kini, dari hanya berupa forum dengan 13 orang pada 2010, organisasi ini punya lebih kurang 250 penggerak dari Sabang sampai Merauke. ”Sebagian besar anak muda,” kata Jihan.
Pada Minggu-Selasa (20-22/9/2020), misalnya, YIFoS menggelar Workshop Jurnalis Progresif yang mempertemukan komunitas LGBTIQ dengan jurnalis. Harapannya, stigma negatif terhadap LGBTIQ yang menyamakan mereka dengan kriminal dan pendosa tidak lagi marak di media.
Vica Larasati, Direktur Eksekutif Qbukatabu, portal informasi dan layanan tentang seksualitas dengan perspektif queer dan feminis, menilai, diskriminasi terhadap komunitas LGBTIQ juga lahir dari berbagai mitos di masyarakat. Misalnya, laki-laki itu berjiwa merah, bukan pink.
”Sejak kapan warna punya jenis kelamin? Ada juga mitos hanya perempuan yang peduli merawat tubuh. Padahal, faktanya, semua orang suka dan peduli terhadap penampilannya,” ungkapnya. Begitu pun dengan boneka yang diidentikkan untuk anak perempuan.
Di antara mitos dan pandangan sinis masyarakat terhadap keragaman jender dan seksualitas, orang-orang seperti Richa dan Jihan mencoba menyebarkan narasi tandingan. Bukan untuk menang atau kalah, tetapi membuka sedikit mata, telinga, dan hati siapa pun lalu berdialog dengan sesama manusia yang berbeda jender dan orientasi seksual.