Kasus Surat Jalan Joko Tjandra, Ujian Keseriusan Polri dan Jaksa
›
Kasus Surat Jalan Joko...
Iklan
Kasus Surat Jalan Joko Tjandra, Ujian Keseriusan Polri dan Jaksa
Surat dakwaan dalam perkara surat jalan palsu Joko Tjandra pasca-pelimpahan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur masih disusun. Sidang kasus tersebut jadi ujian keseriusan aparat hukum, di antaranya polisi dan jaksa.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Negeri Jakarta Timur masih menyusun surat dakwaan dalam perkara surat jalan palsu Joko S Tjandra. Setelah surat dakwaan selesai, perkara segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Persidangan kasus tersebut dinilai juga akan menjadi ujian bagi wibawa Polri mengusut kasus tersebut secara terang benderang.
Kepala Seksi Intel Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Ady Wira Bhakti saat dihubungi, Rabu (30/9/2020), mengatakan, kasus baru dilimpahkan pada tahap dari Bareskrim Polri ke Kejari Jaktim pada Senin (28/7/2020). Dalam pelimpahan tahap kedua itu, Kejari Jaktim menerima tiga tersangka dan sejumlah barang bukti.
Ketiga tersangka, yaitu Joko Tjandra, Anita Kolopaking, dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, tidak dipindahkan dan tetap ditahan di tempat yang sama. Joko Tjandra dan Prasetijo Utomo ditahan di rumah tahanan negara Cipinang Cabang Mabes Polri. Adapun Anita Kolopaking ditahan di rutan Salemba. Jaksa penuntut umum (JPU) memiliki waktu 20 hari sesuai masa penahanan untuk membuat surat dakwaan. JPU juga dapat meminta perpanjangan waktu penahanan dengan izin dari Ketua PN Jaktim.
”Saat ini, jaksa penuntut umum sedang menyempurnakan surat dakwaan. Apabila sudah selesai, secepatnya akan dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk disidangkan,” kata Ady.
Saat ini, jaksa penuntut umum sedang menyempurnakan surat dakwaan. Apabila sudah selesai, secepatnya akan dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk disidangkan.
Kuasa hukum Joko Tjandra, Krisnamurti, mengatakan, sebelum persidangan dimulai, pihaknya intens berkomunikasi dengan kliennya. Salah satunya untuk menghadapi persidangan dan materi-materi hukumnya. Pihaknya berpendapat bahwa pasal yang disangkakan yaitu Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penggunaan surat palsu tidak tepat. Joko menampik telah menggunakan surat jalan itu.
”Fakta-fakta mengenai surat itu semua nanti akan kami sampaikan saat persidangan. Klien kami mengaku tidak pernah menggunakan surat itu. Bahkan, melihat suratnya pun tidak pernah,” kata Krisna.
Ujian kewibawaan
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) Yenti Garnasih mengatakan, sejak awal, publik sebenarnya sudah skeptis dengan penanganan perkara yang melibatkan aparat penegak hukum ini. Untuk menepis keraguan itu, publik sebenarnya berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengambil alih kasus tersebut. Sebab, penanganan perkara yang melibatkan internal penegak hukum rentan konflik kepentingan.
Namun, ternyata dalam perkembangannya, setiap pihak memiliki alasan sendiri-sendiri. Kasus pun bergulir dan tetap ditangani oleh kepolisian. Setiap institusi penegak hukum pun memiliki dalih yang sesuai dengan hukum. Kini, setelah kasus tersebut akan masuk ke persidangan, publik menunggu apakah perkara itu akan terbuka secara terang benderang atau tidak.
”Ini akan menjadi pertaruhan wibawa penegak hukum, khususnya kepolisian. Apakah betul perkara akan dibuka secara terang benderang, tidak ada yang ditutup-tutupi?” kata Yenti.
Yenti juga mengatakan bahwa sejak awal, kasus surat jalan itu sudah aneh. Para akademisi hukum pun dibuat bingung oleh perkara tersebut. Menurut dia, seharusnya dalam kasus ini tidak bisa dilihat hanya dari pasal penyalahgunaan surat palsu. Justru yang harus ditelusuri lebih dalam adalah unsur suap atau gratifikasinya. Tidak mungkin seorang pengacara meminta surat jalan kepada kepolisian tanpa ada imbalan apa pun.
”Kami yang bergelut di bidang akademisi hukum pun dibuat bingung dengan perkara ini. Kok hanya soal penyalahgunaan surat palsu? Ini penyidik kepolisian sebenarnya sudah selesai mendalami perkara atau belum?” kata Yenti.
Pertanyaan tentang unsur suap dan gratifikasi itu pula yang terus membuat publik curiga tentang penyelesaian perkara tersebut. Publik tidak yakin bahwa dalam perkara penerbitan surat palsu itu tidak ada dana yang mengalir. Selain itu, kasus pelarian Joko Tjandra ini juga seolah juga dilokalisasi dengan memisah-misah perkara.
Padahal, menurut Yenti, sebenarnya perkara bisa diselesaikan bersama sehingga tercipta gambaran utuh tentang praktik korupsi dan mafia hukum di dalamnya. Kini, setelah kasus ditangani kepolisian dan kejaksaan secara terpisah, kasus menjadi kian rumit dan ruwet.
Mudah-mudahan saja fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti betul-betul dapat mematahkan pesimisme publik.
”Mudah-mudahan saja fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti betul-betul dapat mematahkan pesimisme publik,” kata Yenti.
Sebelumnya, berkas perkara untuk tiga tersangka kasus penggunaan surat jalan palsu dalam pelarian buron cessie Bank Bali telah selesai dan diserahkan ke JPU. Pemberkasan tersebut diselesaikan oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Polri.
Pemberkasan perkara tersebut menyangkut dua surat jalan yang diterbitkan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo untuk buron Joko Soegiharto Tjandra. Surat jalan tersebut diperintahkan untuk dibakar oleh Prasetijo diduga untuk menyulitkan kerja polisi dalam mengungkap pemberian surat jalan bagi Joko, (Kompas.id, 4 September 2020).
Surat kemudian diserahkan dalam tahap kedua ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur karena locus delictie dan tempus delictie berada di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Ketiga tersangka tersebut dijerat Pasal 263 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP dan atau Pasal 263 Ayat (2) KUHP.