Komitmen DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ditunggu Bulan Ini
›
Komitmen DPR untuk RUU...
Iklan
Komitmen DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ditunggu Bulan Ini
Hingga saat ini, korban kekerasan seksual masih menghadapi jalan buntu untuk mendapat keadilan karena berbagai kendala, terutama dalam sistem hukum. UU Penghapusan Kekerasan Seksual dinantikan untuk melindungi korban.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan masyarakat sipil mendesak pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terus menguat menjelang rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada Oktober 2020 ini. Dewan Perwakilan Rakyat diminta membuktikan komitmennya dengan memasukkan rancangan undang-undang tersebut dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021, membahas, dan mengesahkannya menjadi undang-undang.
Harapan tersebut disampaikan Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, dalam konferensi pers, Kamis (1/10/2020) secara daring, yang dipandu Khotimun Sutanti dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) dan Asosiasi LBH APIK Indonesia.
Kita tahu pasca-Juli 2020, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020 dan hari ini kita berjuang kembali. (Khotimum Sutanti)
”Kita tahu pasca-Juli 2020, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020 dan hari ini kita berjuang kembali. Jadi tiap tahun kita harus berjuang agar RUU tersebut masuk dalam prolegnas, dan tahun ini menjadi momentum penting untuk memastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas di 2021,” ujar Veni Siregar yang mewakili Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Harapan sangat besar kepada DPR untuk menunjukkan komitmen pada rapat paripurna DPR yang akan digelar Oktober 2020 ini akan memberikan kepastian bagaimana perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Jaringan Masyarakat Sipil terdiri dari 100 lembaga dan individu, perwakilan perempuan berbagai sektor, yakni perempuan masyarakat adat, perempuan urban, buruh, buruh migran, anak muda, disabilitas, pekerja rumah tangga, serta organisasi layanan pendamping korban kekerasan seksual dan berbagai keragaman di seluruh Indonesia.
Selain Veni Siregar, hadir pula Fathurozi dari Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan, Revita Alvi dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Haryanto (Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia/SBMI), Nur Khasanah (Perwakilan JALA Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga/Jala PRT), dan Mike Verawati (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia).
Tampak pula dalam konferensi pers virtual, Mery Christin (Persekutuan Perempuan Adat/Perempuan AMAN dari Kulawi, Sulawesi Tengah), Fanda Puspitasari, wakil organisasi anak muda (DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), Valentina Sagala (Tim Substansi Jaringan Masyarakat Sipil untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan pendiri Institut Perempuan), dan Wahidah Suaib (PP Fatayat NU dan Tim Lobby RUU Penghapusan Kekerasan Seksual).
Pada konferensi pers tersebut, semua menyatakan prihatin menyaksikan situasi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak (laki-laki dan perempuan) yang kian buruk dalam situasi pandemi. ”Pelayanan terbatas, pendamping harus keluarkan biaya, dan tidak ada perubahan untuk proses layanan yang baik penanganan perempuan korban kasus kekerasan seksual sehingga kami berharap perjuangan dari 10 tahun yang lalu sampai hari ini bisa terwujud,” kata Veni.
Pada masa pandemi ini, Fanda yang mewakili anak muda mengungkapkan bagaimana peningkatan kasus kekerasan seksual, terutama kekerasan seksual berbasis jender online atau kekerasan di ranah daring. Sementara kekerasan di kampus juga masih sulit terungkap.
Fathurozi menegaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting karena sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur dalam RUU tersebut bukanlah mitos tapi benar-benar terjadi saat ini. Dari JALA PRT, SBMI, Perempuan Aman, KPI pun menegaskan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat seharusnya mendorong DPR semakin serius mewujudkan UU yang melindungi korban kekerasan seksual.
Valentina menegaskan terwujudnya RUU tersebut untuk membuktikan negara hadir bagi korban kekerasan seksual. Bahkan, Wahidah berharap Presiden Jokowi mendorong DPR segera mengesahkan RUU tersebut agar menjadi warisan di masa kepemimpinannya.
Tuntutan
Pada akhir konferensi pers tersebut, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual membacakan tuntutan yang meminta agar DPR melalui pimpinan Badan Legislasi benar-benar menunjukkan keseriusan dan komitmen untuk mewujudkan keadilan bagi korban kekerasan seksual, dengan memasukkan kembali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas Prioritas 2021.
”Untuk memastikan optimalisasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan, masyarakat sipil mendorong ketua dan pimpinan DPR memutuskan dan memastikan pembahasan RUU tersebut dilakukan di Baleg DPR,” ujar Khotimun membacakan tuntutan.
Selain itu, DPR juga diminta memastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengakomodasi enam elemen kunci dalam substansi RUU tersebut. Pertama, melindungi hak-hak korban untuk mengakses keadilan sehingga mendapatkan proses peradilan yang berkeadilan. Kedua, mencakup pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban serta pemidanaan pelaku.
Ketiga, memberikan kepastian hukum terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; pemerkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual.
Keempat, mencakup juga pemidanaan khusus bagi pelaku korporasi, pelaku yang menghambat, bertindak lalai menjalankan kewajiban untuk penanganan kasus kekerasan seksual, serta sanksi administratifnya. Kelima, memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan tindak kekerasan seksual. Keenam, menegaskan pengaturan layanan pemerintah maupun layanan negara yang sinergi dengan masyarakat dan LSM sebagai upaya pemulihan korban.