Mencari Figur Nakhoda ”Bumi Segantang Lada” Kepulauan Riau
Di Kepulauan Riau, pembangunan berbasis maritim bukan lagi kebutuhan, melainkan keharusan. Pilgub 9 Desember merupakan kesempatan warga mencari nakhoda baru yang mampu membawa bahtera Kepri berlayar lebih jauh.
Sekitar 96 persen wilayah Kepulauan Riau berupa lautan. Sisanya bak segantang lada, hanya secuil daratan di 2.408 pulau. Dengan kondisi geografis seperti itu, pembangunan berbasis maritim menjadi keharusan.
Pada awal 2020, tingkah China di Laut Natuna Utara membuat pemerintah pusat menyadari, wilayah Kepri bak permata lautan yang diincar banyak negara. Di sana, terdapat lapangan gas D-Alpha yang apabila dieksplorasi berpotensi menambah sekitar 20 persen cadangan gas nasional. Sementara potensi perikanan tangkap di Kepri diperkirakan 1,1 juta ton per tahun.
Ironisnya, sektor kelautan belum berkontribusi banyak terhadap perekonomian daerah. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada 2019, sektor perikanan hanya berkontribusi 1,84 persen terhadap produk domestik regional bruto. Sektor industri alat angkut, termasuk galangan kapal, hanya berkontribusi 3,03 persen. Kinerja lumayan baru ditunjukkan oleh sektor pertambangan minyak dan gas lepas pantai yang berkontribusi 11,66.
Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Agung Dhamar Syakti mengatakan, potensi perikanan tangkap di Kepri yang saat ini sudah dimanfaatkan baru sekitar 100.000 ton per tahun. Sebagian besar nelayan masih terkendala peralatan yang tidak bisa digunakan untuk menangkap ikan di laut lepas.
Tidak dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan Kepri, potensi perikanan yang besar itu akhirnya dilirik oleh nelayan dari provinsi lain dan negara lain. Sudah sangat sering terjadi, kehadiran nelayan dari luar Kepri yang mengandalkan alat tangkap modern memantik bara konflik dengan nelayan lokal yang hanya mengandalkan alat tangkap pancing ulur.
Salah satu nelayan di Natuna, Dedi, berharap pemimpin Kepri yang selanjutnya bisa menjadi pelindung nelayan lokal. Sejak akhir 2019, ia merasakan dan melihat sendiri kekecewaan serta kesedihan nelayan lokal yang semakin terpinggir di laut sendiri.
”Sampai saat ini, setiap kali melaut, kami masih melihat puluhan kapal asing dan puluhan kapal cantrang mengeruk ikan di laut Kepri. Yang paling kami harapkan dari pemerintah Kepri adalah perlindungan dan rasa aman bagi nelayan kecil,” katanya.
Salah satu nelayan di Natuna, Dedi, berharap pemimpin Kepri yang selanjutnya bisa menjadi pelindung nelayan lokal. Sejak akhir 2019, ia merasakan dan melihat sendiri kekecewaan serta kesedihan nelayan lokal yang semakin terpinggir di laut sendiri.
Menurut Agung, pemerintah harus mendorong perguruan tinggi supaya bisa menyediakan teknologi-teknologi yang mudah diserap nelayan tradisional. Yang tak kalah penting, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan kepada nelayan tradisional. Pemerintah harus membantu nelayan agar mampu memberi nilai tambah terhadap produk perikanan tangkap.
”Kalau pemerintah terus membiarkan nelayan hanya menjual raw material, itu sama dengan melanggengkan kemiskinan,” kata Agung.
Persoalan yang sama terjadi di sektor angkutan laut. Letak strategis Pulau Batam yang berada di Selat Malaka belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Setiap tahun lebih dari 100.000 kapal kargo melintas di perariran itu. Sayangnya, dari jumlah itu hanya sekitar 4.300 kapal yang mau labuh jangkar di perairan Batam. Sisanya lebih memilih merapat di Pelabuhan Jurong, Singapura, maupun Pelabuhan Klang, Malaysia.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (Insa) Batam Osman Hasyim menuturkan, kunjungan kapal niaga pernah mencapai puncaknya pada 2016, yakni 51.576 kunjungan. Namun, sejak 2017, jumlah kunjungan kapal merosot drastis menjadi hanya rata-rata 4.000 kunjungan per tahun.
Jumlah pekerja galangan kapal di Batam juga terus merosot. Dari 350.000 pekerja pada 2012, kini tersisa sekitar 15.000 orang. Dari 115 perusahaan galangan kapal, diperkirakan kini hanya sekitar 30 persen yang masih bertahan.
Menurut Osman, biaya perbaikan kapal di Batam maupun Kepri pada umumnya terlampau mahal, efek dari banyaknya jenis pajak yang harus dibayarkan perusahaan galangan kepada pemerintah. Belum lagi juga ada terlalu banyak otoritas di laut yang merasa berwenang memeriksa setiap kapal yang datang. Inilah yang membuat kapal-kapal di Selat Malaka enggan mendekat ke perairan Kepri.
”Padahal, satu kapal saja bisa mengeluarkan ratusan juta untuk membeli bahan bakar, logistik makanan, dan perawatan. Alangkah sayangnya semua itu menguap karena pemerintah kurang bijak,” ucapnya.
Osman menilai, apabila pemprov mau menghidupkan kembali industri galangan, inilah saat yang tepat. Pandemi Covid-19 membuat perekonomian semua negara melemah dan perdagangan dunia menjadi lesu. Akibatnya, banyak perusahaan niaga yang memarkir kapal mereka di galangan untuk perbaikan daripada membiarkan terkatung-katung menganggur di lautan.
Baca juga : Batam Produksi Kapal Berbahan Bakar Ganda Pertama di Indonesia
”Sekarang pemda sibuk menarik investasi manufaktur dari luar, padahal industri yang sudah ada saja tidak dijaga. Ruang laut Kepri itu luas dan strategis posisinya. Hanya perlu memberi rasa aman dan nyaman, kapal-kapal pasti mau datang,” katanya.
Sementara di sektor industri migas, pemimpin Kepri yang selanjutnya diharapkan lebih banyak menginvestasikan dana bagi hasil untuk meningkatkan kualitas SDM. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, daerah penghasil migas harus menyiapkan rencana tumpuan perekonomian masa depan karena suatu saat kelak sumber daya migas pasti akan tandas.
Ia juga mendorong Pemprov Kepri agar ke depan lebih aktif mengupayakan percepatan eksplorasi lapangan gas D-Alpha untuk disalurkan ke daerah industri Batam, Bintan, dan Karimun. Blok D-Alpha sudah ditemukan sejak 1973, tetapi belum dapat dieksplorasi karena membutuhkan biaya yang tinggi disebabkan kandungan gas CO2-nya yang mencapai 72 persen.
Pelaku usaha sejak lama menjerit karena tarif listrik di Kepri mahal. Ini terjadi karena pembangkit listrik di sana tidak kebagian gas dari Laut Natuna yang sebagian besar disalurkan ke Singapura dan Malaysia.
”Terlepas dari masalah teknis itu, semestinya selalu ada jalan keluar apabila daerah memang memerlukan. Semua dilakukan tujuannya untuk mengembangkan ekonomi secara keseluruhan, termasuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi daerah. Semestinya hal ini bisa dikomunikasikan ke pemerintah pusat,” ujar Komaidi.
Kelestarian laut
Sebagaimana berulang kali disampaikan oleh pejabat di mimbar-mimbar resmi, laut adalah masa lalu sekaligus masa depan Kepri. Gubernur Kepri yang terpilih nanti tidak boleh lupa, ekosistem laut itu rapuh. Pembangunan berbasis maritim harus dipagari dengan koridor pengembangan berkelanjutan yang memperhitungkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Agung menyebutkan, salah satu proyek yang patut diwaspadai adalah tambang pasir laut. Meskipun sering kali dinarasikan tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, kenyataannya secara jangka panjang tambang pasir laut akan mengganggu pertumbuhan terumbu karang dan mengurangi kualitas pesisir secara keseluruhan.
”Secara resmi (tambang pasir laut) sudah tidak ada lagi, tetapi yang ilegal masih ada beberapa. Ke depan harus dipilih aktivitas yang tidak merusak lingkungan. Perikanan dan pariwisata bahari tentu adalah kegiatan yang menarik dikembangkan karena dampaknya bisa dikelola dan dimitigasi,” katanya.
Agung juga memberikan catatan, sektor perikanan tangkap sebaiknya dioptimalkan tanpa perlu menggunakan alat tangkap yang merusak seperti cantrang. Sementara optimalisasi sektor perikanan budidaya sebaiknya tidak dilakukan dengan membuat tambak di pesisir, tetapi dengan membangun keramba apung di laut.
”Tambak di pesisir kurang cocok dengan pulau-pulau di Kepri yang ukurannya kecil, ketebalan hutan bakau hanya 10-30 meter. Lebih baik kawasan pesisir dioptimalkan untuk pariwisata bahari,” ujarnya.
Baca juga : Nelayan Protes Tambang Pasir Laut
Selera pemilih
Tanggal 9 Desember 2020 menjadi momentum untuk memilih gubernur dan wakil gubernur yang akan menakhodai bahtera Kepri dalam lima tahun ke depan. Pengajar Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Umrah, Yudhanto Satyagraha, mengatakan, pemilih di Kepri cenderung menyukai figur pemimpin yang religius dan memiliki kedekatan dengan budaya Melayu. Mayoritas warga berharap gubernur terpilih dapat mengangkat kesejahteraan etnis Melayu yang selama ini terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan.
Dalam Pemilihan Gubernur Kepri 2020, ada tiga pasang calon yang akan bersaing. Mereka ialah Soerya Respationo-Iman Sutiawan, Isdianto-Suryani, dan Ansar Ahmad-Marlin Agustina. Setiap paslon memiliki figur wajah lama politikus Kepri. Kontestasi politik diprediksi bakal ketat karena setiap calon punya basis massa yang mapan.
Soerya-Iman mempunyai basis massa di Batam. Soerya pernah menjabat Wakil Gubernur Kepri 2010-2015. Sementara, Iman berasal dari Kecamatan Belakang Padang, Batam. Hal itu membuat Iman memosisikan diri sebagai perwakilan masyarakat Melayu.
Isdianto-Suryani mempunyai basis massa di Karimun. Isdianto, petahana gubernur, berasal dari Karimun dan adik dari almarhum Muhammad Sani Gubernur Kepri 2010-2016. Sementara, Suryani sebelumnya duduk sebagai anggota Komisi III DPRD Kepri 2019-2024.
Selanjutnya, Ansar-Marlin mempunyai basis massa di Bintan. Ansar pernah menjadi Wakil Bupati Kepri 2001-2003 ketika Kepri masih menjadi bagian dari Riau. Ia juga pernah menjabat bupati Bintan selama dua periode 2005-2015. Sementara Marlin merupakan istri petahana Wali Kota Batam Muhammad Rudi.
Baca juga : Malaysia Bertingkah Agresif di Natuna, Nelayan Lokal Jadi Bulan-bulanan
Yudhanto mencatat, dari pikada ke pilkada setiap paslon selalu berlomba menunjukkan sisi religius dan kedekatan dengan budaya Melayu. Partai politik paham benar kunci untuk mendulang suara pemilih adalah mengajukan calon yang merepresentasikan mayoritas.
”Sayangnya, sektor maritim yang menjadi penentu hidup mayoritas warga justru tidak ditempatkan menjadi poin utama dalam visi misi paslon di pilkada-pilkada sebelumnya,” kata Yudhanto.
Sudah terlalu lama Kepri hanya menjadi penonton kemakmuran negeri tetangga. Apabila diteropong dari negeri-negeri lain di Semenanjung Malaka, Kepri terlihat seperti bahtera raksasa yang kandas tak sanggup mengarungi derasnya arus kemajuan.
Agar layar bahtera di ”bumi segantang lada” bisa kembali terkembang, diperlukan sosok nakhoda yang mampu merajut tali sambung untuk mempertemukan pemikiran dan praktek pembangunan berbasis kekuatan maritim.
Baca juga : Konflik Zona Tangkap Nelayan Semakin Marak di Kepulauan Riau