Dibandingkan pasar ekspor, pelaku usaha penyangrai kopi atau ”cofee roaster” yang berskala usaha mikro, kecil, dan menengah lebih berani memberikan harga tinggi kepada petani. Marginnya berkisar 30-70 persen.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Menggairahkan minat masyarakat untuk membeli kopi dalam negeri menjadi kunci menjaga kesejahteraan petani selama pandemi Covid-19. Berbagai gerakan yang dilakukan produsen kopi hingga lembaga-lembaga nonpemerintah pemerhati kopi terus bergulir.
”Semoga coffee roaster di Indonesia semakin banyak, semoga kafe semakin banyak, semoga yang berjualan kopi semakin banyak. Dengan demikian, petani kian sejahtera,” begitu doa yang diucapkan Ayi Suteja saat wawancara eksklusif dengan Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI), Rabu (30/9/2020), dalam rangka Hari Kopi Internasional yang diperingati setiap 1 Oktober.
Ayi Suteja adalah petani kopi sekaligus Pengurus Koperasi Murbeng Puntang, Jawa Barat. Khusus untuk konsumen, dia ingin mengajak mereka minum kopi dari petani Tanah Air karena petani adalah teman dan tetangga bagi para penikmat si hitam pekat.
Ayi juga menyampaikan, petani kopi di Jawa Barat merasa terbantu dengan promosi Jabaruno yang digencarkan pemerintah setempat ke mancanegara. Sebelum pandemi Covid-19, komunitas petani Puntang juga telah membentuk jaringan pasar secara daring melalui aplikasi Whatsapp dan media sosial. Jaringan ini turut membantu petani kala pandemi.
”Sekarang, kalau ada kebutuhan di pasar, kami langsung memberikan informasinya di grup (Whatsapp), nanti langsung ditanggapi,” katanya.
Sebelum pandemi Covid-19, komunitas petani Puntang juga telah membentuk jaringan pasar secara daring melalui aplikasi Whatsapp dan media sosial. Jaringan ini turut membantu petani kala pandemi.
Menurut Ketua Dewan Pengurus SCOPI Irvan Helmi, gerakan-gerakan itu patut dicontoh oleh petani dan pemerintah daeran lain karena kopi di setiap daerah memiliki karakteristik dan keunggulan tersendiri. Selain itu, untuk menggeliatkan permintaan domestik di hilir, rantai pasok kopi membutuhkan stimulus khusus untuk belanja produk pertanian.
”Misalnya berupa subsidi harga atau pembebasan ongkos kirim. Dengan demikian, konsumen tertarik untuk membeli kopi dalam negeri,” katanya.
Dibandingkan pasar ekspor, pelaku usaha penyangrai kopi (cofee roaster) yang berskala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lebih berani memberikan harga tinggi kepada petani. Marginnya berkisar 30-70 persen.
”Coffee roaster di Indonesia bisa memberikan harga yang lebih tinggi karena menghasilkan produk minuman bagi konsumen, sedangkan trader biasanya tidak memberikan nilai tambah pada hasil panen petani,” ujarnya.
Dibandingkan pasar ekspor, pelaku usaha penyangrai kopi yang berskala usaha mikro, kecil, dan menengah lebih berani memberikan harga tinggi kepada petani. Marginnya berkisar 30-70 persen.
Dalam kesempatan itu, Irvan juga mengapresiasi gerakan #SatuDalamKopi yang pernah diluncurkan oleh pemerintah pusat karena dapat menggerakkan pengolah biji kopi domestik yang mayoritas merupakan UMKM.
Terkait gerakan #SatuDalamKopi yang digelar 20-26 April 2020, External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menyatakan, hampir 1.000 pengusaha kopi baru dari berbagai wilayah di Indonesia memanfaatkan kanal digital Tokopedia demi mempertahankan kelangsungan bisnis di tengah pandemi.
”Jumlah transaksi produk kopi mencapai lebih dari 2,5 kali lipat sejak kampanye diluncurkan pada April 2020 jika dibandingkan dengan periode sebelumnya,” katanya.
Direktur Eksekutif Chairman of Executive Board SCOPI Paramita Mentari Kesuma menyatakan, SCOPI tengah memantau perkembangan kebijakan Uni Eropa (UE) mengenai komoditas berbasis hutan. Kebijakan ini dapat berdampak pada ekspor kopi Indonesia.
Berdasarkan pantauan di laman UE, dokumen Komisi UE, ”Stepping up EU Action to Protect and Restore the World’s Forests”, yang dipublikasikan pada 2019, menyebutkan, kopi termasuk komoditas yang rantai pasoknya berkaitan dengan hutan. Hal ini menjadi prioritas kemitraan UE dengan negara-negara produsen agar mengurangi tekanan pada hutan.
Irvan menambahkan, kecepatan pertumbuhan konsumsi kopi Indonesia berpotensi lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan produksinya. Pertumbuhan konsumsi ini pun mesti dipenuhi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
”Ini juga demi kesejahteraan petani beserta generasi penerusnya, kelestarian lingkungan, dan dampak sosial yang ditimbulkan," ujarnya.