Partisipasi Perempuan dalam Diplomasi Perdamaian
Indonesia secara konsisten mengadvokasi peran strategis perempuan sebagai penjaga perdamaian dan mediator perdamaian, sedangkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjadi pendukung agenda Women, Peace, and Security.
Meskipun tengah dilanda pandemik, pertemuan antarbangsa anggota PBB tetap digelar secara online.
Salah satu agenda penting Indonesia pada SMU-75 adalah The High-Level Meeting of the General Assembly on the Twenty-fifth Anniversary of the Fourth World Conference on Women pada 1 Oktober 2020. Diplomasi Indonesia hadir dalam pertemuan tingkat tinggi ini untuk menegaskan pentingnya partisipasi penuh perempuan dalam pembuatan keputusan di saat pandemik.
Partisipasi penuh perempuan dalam pembuatan kebijakan adalah topik yang mencerminkan wujud komitmen Indonesia pada aspek kesetaraan jender dan kepemimpinannya dalam aksi Women, Peace, and Security sebagai agenda global dan nasional.
Di ranah nasional, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan terkait pendataan individu (perempuan) yang terdampak pandemik. Selain itu, melakukan pemantauan khusus terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kerap muncul.
Beberapa studi menemukan pandemi Covid-19 telah meningkatkan risiko kekerasan, pelecehan emosional, fisik dan seksual, serta tekanan pada kesehatan mental anak, termasuk yang tinggal di negara-negara berkembang. Penetapan aturan menjaga jarak fisik atau physical distancing dalam bentuk ”bekerja dari rumah” dan ”belajar dari rumah” berpotensi meningkatkan tingkat stres di lingkungan keluarga, yang dapat memicu kekerasan.
Bagi orangtua berpenghasilan menengah ke bawah yang perekonomiannya didasarkan pada upah harian, atau rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada single income, yaitu ibu, kebijakan WFH dan physical distancing dapat menurunkan pendapatan dan menjadi stressor baru.
Melihat kondisi sedemikian Pemerintah Indonesia secara aktif memantau dampak kebijakan physical distancing terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Wujud implementasi kebijakan yang adaptif dengan pandemik antara lain berbentuk penyediaan fasilitas sistem pengaduan online SEJIWA untuk kasus-kasus KDRT.
Sementara itu untuk mengatasi dampak ekonomi, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan dan program-program untuk meringankan kesulitan warga negara, termasuk memastikan partisipasi perempuan dalam aktivitas ekonomi skala kecil. Ditambah lagi, pemerintah pusat dan daerah memberikan fasilitas bantuan kepada rumah tangga miskin, serta membuka pelatihan keterampilan online yang bekerja sama dengan sektor-sektor swasta.
Indonesia juga telah mengadopsi agenda global Women, Peace and Security melalui Perpres Nomor 18/2014 tentang ”Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Konflik Sosial” (RAN P3AKS) yang diwujudkan lewat rencana aksi lima tahun pertama (2014-2019). Kelompok Kerja RAN yang didukung organisasi masyarakat sipil telah melakukan uji coba rencana aksi lokal di beberapa provinsi.
Selama Covid-19 telah dilakukan konsultasi digital agenda RAN P3AKS yang melibatkan pemerintah dan berbagai organisasi akar rumput. Aspek-aspek yang dibahas termasuk partisipasi perempuan dalam pencegahan ekstremisme kekerasan mengarah pada terorisme, yang mencerminkan pergeseran norma jender dalam terorisme dan kontra-terorisme.
Selama Covid-19 telah dilakukan konsultasi digital agenda RAN P3AKS yang melibatkan pemerintah dan berbagai organisasi akar rumput.
Konsultasi digital tersebut selain mengulas implementasi empat pilar rencana aksi juga menghasilkan rekomendasi perbaikan untuk pelaksanaan agenda aksi generasi kedua ke depan.
Adapun di ranah global pun isu partisipasi perempuan telah menjadi titik tolak pembahasan aktor-aktor negara dan non negara lewat kelahiran Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (United Nations Security Council Resolution on Women, Peace and Security/ WPS) pada bulan Oktober 2000
Dalam konteks itu, Indonesia secara konsisten mengadvokasi peran strategis perempuan sebagai penjaga perdamaian dan mediator perdamaian, sedangkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjadi pendukung agenda Women, Peace, and Security (WPS).
Terdapat empat bidang prioritas utama Indonesia dalam implementasi agenda WPS, yaitu kontribusi sebagai penjaga perdamaian, pencegahan konflik, pembangunan berkelanjutan, dan kontraterorisme. Keempat isu tersebut juga merefleksikan perkembangan di ranah domestik.
Di ranah peacekeeping, kontribusi Indonesia ditujukan untuk menciptakan ekosistem perdamaian dan keamanan global dan memajukan partisipasi perempuan dalam kegiatan peacebuilding.
Sebagai negara middle power, Indonesia berkontribusi melalui perannya sebagai bridge-builder di Dewan Keamanan PBB. Pada masa kepresidenannya Indonesia berinisiatif mengegolkan Resolusi DK PBB 2538 pada 29 Agustus yang mengadopsi agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS) dengan memperhatikan dimensi jender dalam kondisi konflik dan mengakui kebutuhan untuk memperluas partisipasi perempuan sebagai agen perdamaian dunia.
Resolusi 2538 yang disponsori Indonesia itu mendesak 193 negara anggota PBB ”untuk mengembangkan strategi dan langkah-langkah untuk meningkatkan pengerahan perempuan berseragam untuk operasi penjaga perdamaian”, termasuk dengan menyediakan akses terhadap informasi dan pelatihan serta ”mengidentifikasi dan mengatasi hambatan perekrutan, penempatan, dan promosi penjaga perdamaian berseragam”.
Resolusi tersebut ”mengungkapkan keprihatinan terkait tuduhan pelecehan seksual dalam operasi pemeliharaan perdamaian” dan mendukung kebijakan tanpa toleransi untuk semua bentuk pelecehan seksual. Saat itu, Duta Besar Tetap Indonesia untuk PBB, Djani, juga meminta Sekjen PBB António Guterres ”untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanganan pelecehan seksual dalam operasi penjaga perdamaian, kerja sama erat dan konsultasi dengan negara anggota”.
Sebagai negara middle power, Indonesia berkontribusi melalui perannya sebagai bridge-builder di Dewan Keamanan PBB.
Bukan cerita baru bahwa pelecehan seksual kerap terjadi di negara-negara yang mengalami konflik bersenjata di mana ada kehadiran pasukan penjaga perdamaian PBB.
Indonesia mendorong peningkatan partisipasi perempuan penjaga perdamaian yang telah diakui mampu berkomunikasi dan menempatkan diri di tengah masyarakat lokal di wilayah konflik. Kehadiran mereka sangat penting untuk melindungi wanita dan anak-anak. Saat ini, jumlah personel peacekeepers perempuan PBB telah mencapai 5.327 atau 6,4% dari total 82.245 personel.
Paradigma multilateral tersirat dari resolusi 2538, yang, jika diterapkan oleh negara-negara anggota PBB bisa mencegah kekerasan seksual di ranah pasukan penjaga perdamaian. Hal ini searah dengan upaya di ranah domestik yang terus menerus dikerjakan masyarakat sipil, perempuan anggota parlemen dan pemerintah Indonesia untuk mendorong terbitnya pembuatan undang-undang penghapusan kekerasan seksual.
Jika regulasi tersebut berhasil disetujui maka akan menambah bobot substantif dari dukungan terhadap perlindungan hak asasi perempuan dan pencegahan kekerasan sesuai dengan prestasi kepresidenan Indonesia di DK PBB.
Terlebih lagi, sangat tepat bahwa Indonesia memaksimalkan kapasitas soft power dengan menjadi salah satu kontributor terbesar bagi personel penjaga perdamaian perempuan, melalui 158 personel yang bertugas di tujuh misi PBB, yaitu di Lebanon, Republik Demokratik Kongo, Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Darfur, Mali, dan Sahara Barat. Sejak 1999, Indonesia telah mengirimkan lebih dari 570 personel perempuan ke berbagai misi penjaga perdamaian PBB.
Partisipasi perempuan penjaga perdamaian yang didorong melalui Resolusi 2538 oleh inisiatif Indonesia telah meningkatkan penerimaan publik dan mengoptimalkan kemampuan penjaga perdamaian dalam menjalankan perannya untuk melindungi masyarakat demokratis.
Rekam jejak kebijakan dan program Indonesia dalam konteks pandemik di ranah nasional dan global sangat penting digarisbawahi pada Pertemuan Tingkat Tinggi yang membahas agenda partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan pada saat pandemik pada Oktober 2020 ini.
Mendiskusikan partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan di masa pandemik Covid-19 di sesi SMU PBB ke-75 menandakan konsistensi dukungan dan aksi nyata Indonesia jangka panjang terhadap terwujudnya inklusivitas perdamaian dan keamanan di ranah global ataupun nasional.
(Irine Hiraswari Gayatri, Peneliti LIPI, Kandidat Doktor pada The Gender, Peace and Security (GPS) Centre, School of Sciences, Faculty of Arts, Monash University)