Pemberantasan Korupsi Semakin Suram
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dapat potongan hukuman dari 14 tahun menjadi 8 tahun. KPK mencatat 23 perkara yang mendapat potongan hukuman. Potongan hukuman jadi lonceng kematian berantas korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Semangat pemberantasan korupsi telah mengalami perubahan. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan, kini marak terjadi pengurangan hukuman terhadap koruptor yang dilakukan Mahkamah Agung melalui peninjaun kembali. Pada Rabu (30/9/2020), permohonan yang PK yang diajukan oleh mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dikabulkan oleh MA.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, permohonan PK yang diajukan Anas diputus oleh majelis hakim agung PK yang terdiri dari Sunarto sebagai ketua majelis yang didampingi hakim anggota Andi Samsan Nganro dan Mohammad Askin. ”Menurut majelis hakim agung PK, alasan permohonan PK pemohon/terpidana yang didasarkan pada adanya “kekhilafan hakim” dapat dibenarkan,” kata Andi.
Adapun pertimbangan dari majelis PK, yakni judex juris telah salah dalam menyimpulkan alat-alat bukti yang kemudian dijadikan sebagai fakta hukum. Atas dasar fakta hukum tersebutm judex juris mengubah pasal dakwaan yang terbukti di tingkat judex facti dari Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjadi Pasal 12 huruf a UU Tipikor.
Baca juga: Pengajuan PK oleh Terpidana Korupsi Harus Disikapi Bijak
Setelah majelis PK mencermati alat-alat bukti dari keterangan saksi ataupun alat bukti lainnya, ternyata uang maupun fasilitas yang diterima Anas melalui PT Adhi Karya maupun dari Permai Group dihimpun dari dana hasil perolehan keuntungan dalam proyek pengadaan barang dan jasa.
Menurut majelis hakim agung PK, alasan permohonan PK pemohon/terpidana yang didasarkan pada adanya ”kekhilafan hakim” dapat dibenarkan.
Selain itu, juga berasal dari fee dari perusahaan lain karena perusahaan tersebut telah memenangkan berbagai proyek pengadaan barang dan jasa yang kemudian disub kontrakkan kepada perusahaan lain yang mengerjakan proyek tersebut.
Sebagian dari dana tersebut dijadikan sebagai marketing fee untuk melakukan lobi-lobi usaha agar mendapatkan proyek yang didanai APBN. Saksi-saksi dari pihak PT Adhi Karya ataupun Permai Group tidak ada yang menerangkan bahwa Anas melakukan lobi-lobi kepada pemerintah.
Hanya satu saksi dari Permai Group yang menerangkan, yakni Nazaruddin. Sebagaimana hukum, saksi tanpa tanpa didukung alat bukti lain tidak mempunyai nilai pembuktian.
Dalam proses pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat, saksi mengatakan Anas tidak pernah berbicara teknis bagaimana uang didapat dalam rangka pendanaan pencalonan Anas menjadi Ketua Umum. Anas hanya berbicara perihal visi dan misi untuk ditawarkan dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung.
Pendanaan pencalonan Anas sebagai Ketua Umum didapatkan dari penggalangan dana dari simpatisan atas dasar kedekatan dalam organisasi. Pemberian dana maupun fasilitas yang diberikan kepada Anas melalui tim suksesnya dilakukan karena dengan membantu Anas, maka akan mempermudah perusahaan-perusahaan tersebut untuk mendapatkan proyek yang didanai pemerintah.
Majelis PK menyatakan, Anas tidak terbukti secara sah melakukan korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primair dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, Anas terbukti melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan secara berulang kali sebagaimana dakwaan kedua.
Anas dijatuhi hukuman pidana penjara selama 8 tahun ditambah dengan pidana denda sebanyak Rp 300 juta subsider 3 bulan. Selain itu, Anas mendapatkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak ia selesai menjalani pidana pokok.
Anas juga harus membayar uang pengganti kerugian kepada negara sebesar Rp 57,59 miliar dan 5.261.070 dollar Amerika Serikat. Jika Anas tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita dan dilelang. Jika hartanya tidak mencukupi, maka Anas dipidana penjara 2 tahun.
Sebelumnya pada 2015, Anas dihukum 14 tahun penjara setelah MA menolak kasasi yang diajukannya. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan kepada Anas. MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti senilai Rp 57,59 miliar dan 5.251.070 dollar AS, subsider 4 tahun penjara. MA juga mencabut hak politik Anas untuk menduduki jabatan publik.
Majelis hakim yang memutus kasus tersebut terdiri dari Artidjo Alkostar (Ketua Kamar Pidana MA saat itu), MS Lumme, dan Krisna Harahap. (Kompas, 9/6/2015).
23 perkara pengurangan hukuman
Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, hingga saat ini ada 23 perkara yang mendapatkan pengurangan hukuman melalui peninjauan kembali (PK). Namun, KPK belum menerima salinan putusan lengkap secara resmi dari Mahkamah Agung (MA) terkait perkara tersebut.
”Kami berharap MA dapat segera mengirimkan salinan putusan lengkap tersebut agar kami dapat pelajari lebih lanjut apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim,” kata Ali.
Kami berharap MA dapat segera mengirimkan salinan putusan lengkap tersebut agar kami dapat pelajari lebih lanjut apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim.
Ia berharap, jangan sampai PK dijadikan modus baru para napi koruptor dalam upaya mengurangi hukumannya setelah selesai eksekusi pada putusan tingkat pertama. Fenomena banyaknya permohonan PK ini perlu mendapatkan perhatian, meskipun PK adalah hak terpidana. Saat ini, masih ada 37 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para napi korupsi.
Ali menegaskan, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang berdampak dahsyat pada kehidupan manusia. Karena itu, salah satu upaya pemberantasannya adalah dengan adanya efek jera terhadap hukuman para koruptor. Hal tersebut dibutuhkan agar calon pelaku lain tidak akan melakukan hal yang sama.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango juga menanggapi terkait banyaknya PK yang dikabulkan oleh MA. Menurut Nawawi, dengan tetap menghargai independensi kekuasaan kehakiman, seharusnya MA dapat memberi argumen sekaligus jawaban di dalam putusan-putusannya, khususnya putusan PK.
Ia menuturkan, sebuah putusan hakim tidak memerlukan penjelasan asalkan di dalamnya memuat legal reasoning atau penalaran hukum dari pengambilan putusan tersebut. Hal itu harus ditonjolkan dalam putusan yang memuat pengurangan hukuman tersebut.
Penalaran hukum dalam pengurangan hukuman dalam perkara tersebut dibutuhkan agar tidak menimbulkan kecurigaan publik yang bisa mengakibatkan tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, putusan-putusan PK yang mengurangi hukuman tersebut marak terjadi setelah gedung MA ditinggal sosok Hakim Agung Artidjo Alkostar.
”Jangan sampai memunculkan anekdot hukum: bukan soal hukumnya, tapi siapa hakimnya,” ujar Nawawi.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto mengungkapkan, saat ini telah terjadi perubahan semangat melawan korupsi di KPK maupun aparat penegak hukum lain. Publik tidak dapat disalahkan, jika menarik kesimpulan seperti itu.
Kasus Anas hanya salah satu bukti lemahnya semangat melawan korupsi. Ada kasus-kasus lain seperti terkait kasus jaksa Pinangki dan pelanggaran etik oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Menurut Sigit, KPK tampak menyalahkan MA, tetapi KPK juga tidak menunjukkan kinerja yang membuat masyarakat lebih percaya padanya. Justru kini kepercayaan masyarakat terhadap KPK semakin tergerus. Apalagi, orang-orang yang dikenal integritasnya dari KPK seperti mantan juru bicara KPK Febri Diansyah keluar dari KPK.
”KPK tidak lagi menjadi tumpuan harapan publik. Masyarakat sipil harus membuat gerakan dengan pola baru, tidak lagi mengandalkan pada lembaga seperti KPK,” kata Sigit.
Ia menegaskan, edukasi publik harus diperkuat. Jaringan antikorupsi harus merancang strategi baru termasuk bagaimana advokasi antikorupsi dilakukan di tingkat akar rumput, sehingga publik lebih percaya diri berhadapan dengan tindakan koruptif yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Desakan untuk memperbaiki legislasi juga harus semakin kencang disuarakan.
”Ini upaya jangka panjang. Tidak bisa dilihat cepat hasilnya karena konstelasi politik nasional tidak menguntungkan saat ini,” tuturnya.
Memprihatinkan
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengungkapkan, maraknya pemotongan hukuman terhadap koruptor sangat memprihatinkan. Hal tersebut menunjukkan langkah mundur dalam pemberantasan korupsi.
”Sempurna. Eksekutif dan legislatif melemahkan pemberantasan korupsi dengan melemahkan KPK lewat revisi Undang-Undang KPK. Yudikatif dengan potongan hukuman,” kata Azyumardi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, nasib pemberantasan korupsi di masa mendatang akan semakin suram, jika MA tetap mempertahankan tren vonis ringan kepada terdakwa kasus korupsi.
Dalam kondisi peradilan yang semakin tak berpihak pada pemberantasan korupsi, memang harus diakui, bahwa masyarakat merindukan adanya sosok seperti Artidjo Alkostar lagi di Mahkamah Agung.
Berdasarkan data ICW, rata-rata hukuman pelaku korupsi sepanjang 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Pemulihan kerugian negara juga sangat kecil. Negara telah rugi akibat praktik korupsi hingga Rp 12 triliun sepanjang 2019. Namun, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp 750 miliar.
Baca juga: Novanto dan Anas Pemegang Kendali Proyek KTP-el
Dari total 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019, sekitar 842 orang divonis ringan (0-4 tahun), sedangkan vonis berat (di atas 10 tahun) hanya 9 orang. Adapun vonis bebas atau lepas berjumlah 54 orang.
Menurut Kurnia, putusan ringan dari hakim kepada terdakwa korupsi memiliki implikasi serius. Pertama, menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak terdampak korupsi. Kedua, melululantahkan kerja keras penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi. Ketiga, menjauhkan pemberian efek jera bagi terdakwa maupun masyarakat.
”Dalam kondisi peradilan yang semakin tak berpihak pada pemberantasan korupsi, memang harus diakui, bahwa masyarakat merindukan adanya sosok seperti Artidjo Alkostar lagi di Mahkamah Agung,” kata Kurnia.