Perdagangan Ilegal Gading Gajah, Kulit Harimau, hingga Cula Badak
Tim gabungan dari Kepolisian Daerah Lampung dan Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan membongkar sindikat penjualan gading gajah ilegal. Tiga pelaku diringkus dan dua gading berbagai ukuran disita.
Tergiur harga hingga puluhan juta rupiah, sejumlah pelaku memperdagangkan bagian tubuh dari satwa dilindungi, seperti gading gajah, kulit harimau, hingga cula badak. Jika dibiarkan, praktik itu akan terus memicu perburuan satwa liar hingga di ambang kepunahan. Genderang perang terus ditabuh untuk memberantas praktik perdagangan ilegal tersebut.
Azwar (50) gelisah menanti seorang calon pembeli di depan hotel berbintang di Kabupaten Pringsewu, Lampung. Dari dalam mobil Fortuner yang dikemudikan Bintoro (40), Azwar memantau pergerakan orang yang keluar dari dalam hotel.
Satu orang beranjak mendekati mobil yang mereka tumpangi. Azwar lalu mengambil dan memperlihatkan karung berisi sepasang gading gajah. Setelah dicek, calon pembeli yang sejatinya petugas intelijen yang tengah menyamar itu meminta agar gading gajah ditimbang dan diukur.
Beralasan hendak mengambil timbangan, calon pembeli masuk ke dalam hotel. Saat itulah ia memberi kode kepada anggota tim lain agar bersiap melakukan penyergapan.
Belum selesai menimbang gading gajah, sekelompok orang menghadang tiba-tiba. Mereka adalah tim gabungan dari Polda Lampung dan Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Mendadak disergap aparat, pelaku panik dan berusaha lari, tetapi gagal.
Baca juga : Gajah Pun Menderita akibat Pandemi Covid 19
Jaringan perdagangan satwa dilindungi itu tampak profesional. Saat menemui pembeli, misalnya, para pelaku hanya mau melakukan transaksi di dalam mobil. Mereka juga tidak mematikan mesin mobil selama transaksi. Cara itu diduga agar mereka mudah melarikan diri.
Namun, tim gabungan lebih sigap mengendalikan situasi. Seorang petugas langsung mengambil kunci mobil agar para pelaku tidak bisa kabur.
Petugas lalu menggeledah mobil Bintoro. Dari dalam mobil, petugas menemukan dua gading gajah yang disembunyikan di dalam karung. Para pelaku mencoba membela diri, tetapi petugas tegas membawa mereka ke Markas Besar Polda Lampung.
Azwar diduga bagian dari jaringan bisnis perdagangan organ satwa dilindungi. Dalam sindikat itu, ia berperan sebagai makelar penjualan gading gajah. Sementara rekannya, Bintoro, merupakan pemilik gading gajah yang diduga aktif melakukan perburuan liar. Bersama mereka, ada seorang pria ikut di mobil itu, yang membantu menunjukkan arah jalan ke hotel.
Dijebak
Rencana para pelaku menjual gading gajah tercium oleh petugas intelijen dari Tim Reaksi Cepat (TRC) TNBBS, dua pekan sebelumnya. Awalnya, petugas intelijen memancing pelaku dengan berpura-pura ingin membeli gading gajah. Azwar pun menawarkan sepasang gading gajah dengan membandrol harga Rp 90 juta.
Informasi itu langsung mengundang kecurigaan petugas atas penemuan bangkai gajah jantan di dalam kawasan TNBBBS, Kabupaten Pesisir Barat, pada 2017. Gajah liar itu tewas dalam kondisi tertembak di bagian kepala dan gadingnya hilang. Petugas juga menemukan proyektil yang digunakan untuk menembak satwa liar itu. Kematian gajah liar itu diduga kuat terkait dengan perburuan liar.
Kendati menaruh curiga, Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar TNBBS Ismanto menyatakan, keterkaitan sindikat ini dengan perburuan gajah di TNBBS pada 2017 harus melalui penyidikan lebih lanjut. Untuk memastikanya, diperlukan penelitian sampel DNA gading gajah dan tulang belulang gajah yang ditemukan di TNBBS pada 2017. Pihaknya menyerahkan penyidikan lebih lanjut kasus ini kepada aparat Polda Lampung.
”Ini perlu didalami penyidik dengan menggali dari para tersangka apakah memang benar gading gajah itu ada kaitannya dengan temuan kasus pada 2017,” kata Ismanto saat dihubungi dari Bandar Lampung, Kamis (24/9/2020).
Sejak 2016, pengelola Balai Besar TNNBBS membentuk TRC TNBBS untuk menekan perburuan liar satwa dilindungi. Selain operasi jerat dan penguatan kelembagaan masyarakat, tim juga aktif memantau pergerakan sindikat perdagangan satwa liar.
Ini perlu didalami penyidik dengan menggali dari para tersangka apakah memang benar gading gajah itu ada kaitannya dengan temuan kasus pada 2017. (Ismanto)
Berdasarkan data yang dihimpun dari TRC TNBBS, tercatat ada 19 kasus perburuan dan perdagangan satwa ilegal di kawasan TNBBS yang berhasil dibongkar, selain gading gajah, kulit harimau, tanduk kijang, dan cula badak menjadi organ satwa yang banyak diperjualbelikan.
Luar negeri
Perdagangan organ satwa liar kian masif karena tingginya permintaan dan harga jual. Harga gading gajah, misalnya, terdongkrak mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Harga jual kulit harimau, tanduk kijang, hingga cula badak juga bervariasi, mulai dari Rp 10 juta hingga ratusan juta, tergantung dari besarnya ukuran organ satwa.
Organ satwa ini diduga tidak hanya diperdagangkan di dalam negeri, tetapi juga diselundupkan hingga ke luar negeri. Selain dijual kepada para kolektor, organ satwa liar juga banyak diburu karena ada anggapan organ satwa ampuh sebagai obat tradisional.
Kepala Divisi Penindakan TRC TNBBS Agus Hartono menuturkan, pelaku perdagangan satwa liar biasanya tidak langsung menjual organ satwa setelah perburuan. Apalagi jika kasus perburuan satwa itu menjadi perhatian masyarakat luas. Para pelaku biasanya menyimpan hasil buruan selama beberapa tahun dan menunggu situasi ”aman” untuk bertransaksi.
Organ satwa ini diduga tidak hanya diperdagangkan di dalam negeri, tetapi juga diselundupkan hingga ke luar negeri. Selain dijual kepada para kolektor, organ satwa liar juga banyak diburu karena ada anggapan organ satwa ampuh sebagai obat tradisional.
Kendati petugas telah berupaya menindak para pelaku, sindikat perburuan dan perdagangan satwa liar tak kunjung jera. Menurut Kepala Seksi Wilayah III Palembang Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Kehutanan dan Lingkungan Wilayah Sumatera M Hariyanto, permintaan dan harga jual yang cukup tinggi memicu masih maraknya aktivitas perburuan dan perdagangan satwa dilindungi.
Vonis yang cenderung ringan bagi pelaku perdagangan satwa liar juga belum mampu memberi efek jera. Selama ini, sebagian besar pelaku perburuan dan perdagangan satwa mendapat hukuman kurang dari 2 tahun. Sebagian besar pelaku yang tertangkap juga umumnya para pedagang dan eksekutor lapangan. Sementara otak dan pemodal besar perdagangan satwa liar sulit diungkap.
Baca juga : Penjualan Satwa Dilindungi di Kaltim Meningkat
Untuk memperberat hukuman bagi pelaku, sejumlah pihak sebenarnya telah mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Revisi menyoroti perlunya pemberian hukuman minimal bagi pelaku perburuan dan perdagangan satwa dilindung. Selama ini, dalam Pasal 21 Ayat (2) dinyatakan, ancaman hukuman bagi pelaku maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu Donal Hutasoit mengatakan, kematian seekor gajah jantan bisa mengganggu kelangsungan hidup dan reproduksi gajah. Gajah cenderung hidup berkelompok dan melakukan perkawinan dalam kelompoknya.
”Kalau gajah jantan terus diburu, jumlahnya akan makin sedikit. Padahal, peran gajah jantan penting untuk breeding (pembiakan) alami di alam. Kalau gajah jantan punah, kondisi ini tentu akan mengganggu reproduksi,” paparnya.
Donal menilai, hukuman bagi para pelaku perburuan dan perdagangan satwa dilindungi tidak sebanding dengan upaya konservasi yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Kerugian akibat perburuan sungguh tidak terhingga nilainya.
Kehancuran hutan di Sumatera akibat pembalakan, perambahan, dan perburuan membuat Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan hutan tropis Sumatera berstatus terancam.
Baca juga : Harimau Terjerat di TN Bukit Barisan Selatan Bertahan Hidup
Padahal, TNBBS sebagai salah satu hutan di Sumatera telah ditetapkan sebagai warisan dunia sejak 2004. Penetapan tersebut menjadi wujud pengakuan dunia atas kekayaan hutan tropis Sumatera.
Warisan ini penting karena di dalam hutan tersimpan sekitar 10.000 spesies tanaman, lebih dari 200 spesies mamalia (termasuk yang endemik, seperti harimau, orangutan, badak sumatera, dan gajah sumatera), serta 580 jenis burung.
Lantas, sampai kapan satwa liar di dalam hutan itu akan terus diburu?