Setiap pilkada, dana yang dikeluarkan calon selalu lebih besar dari yang dilaporkan. Pengawasan lebih ketat dibutuhkan untuk mencegah korupsi.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS - Studi Komisi Pemberantasan Korupsi atas laporan dana kampanye calon pada Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Tahun 2015, 2017, dan 2018 menemukan ada ketidaksesuaian antara dana yang dilaporkan dan yang dikeluarkan selama kampanye. Ini mengindikasikan ada dana kampanye yang tidak dilaporkan. Hal serupa diharapkan tak terulang pada Pilkada 2020.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ipi Maryati Kuding mengatakan, Rabu (30/9/2020), dari penelitian KPK, terlihat biaya yang dikeluarkan calon selama masa kampanye selalu lebih besar dari yang dilaporkan calon.
Bahkan, dari hasil penelitian terlihat, tak sedikit calon yang mengeluarkan biaya kampanye melebihi nilai seluruh harta kekayaannya.
Berangkat dari hasil penelitian itu, KPK menengarai sejumlah calon tidak jujur melaporkan biaya kampanyenya. Salah satunya, bisa jadi calon tidak melaporkan semua sumbangan dari donatur.
Oleh karena itu, KPK berharap hal serupa tak terulang pada Pilkada 2020 yang digelar serentak di 270 daerah. Untuk itu, sistem pengawasan perlu diperkuat. Audit dana kampanye terutama semestinya bisa menelusuri kesesuaian antara biaya kampanye yang dilaporkan dan yang sesungguhnya dikeluarkan.
Ini penting karena dari kasus-kasus korupsi politik yang ditangani KPK selama ini kerap berawal dari pendanaan bagi calon saat kampanye. Calon, misalnya, menerima suap dari pengusaha, yang kemudian digunakan untuk kampanye dengan imbalan kemudahan perizinan, mengikuti proyek barang dan jasa pemerintah, serta keamanan dalam menjalankan bisnis saat calon terpilih dan menjabat.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, ada 253 pemimpin daerah yang menjadi tersangka dalam rentang Januari 2010-Juni 2018.
Menurut Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono, calon dalam pilkada tergiur untuk korupsi guna membiayai pemenangan pilkada karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Mengutip kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri, biaya yang dikeluarkan untuk menjadi bupati/wali kota sebesar Rp 20-30 miliar. Adapun untuk menjadi gubernur dibutuhkan biaya Rp 20-100 miliar.
Kewenangan terbatas
Namun, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Afifuddin, mengatakan, kewenangan Bawaslu terbatas dalam mengecek laporan dana kampanye. Bawaslu sebatas menerima laporan audit dari Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk KPU. Audit oleh KAP itu pun sebatas audit kepatuhan atau administratif, bukan audit investigasi.
”Kalau mau pengaturan yang lebih progresif, UU (Undang-Undang) Pilkada harus direvisi,” ujarnya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, membenarkan hal ini.
”Pelaporan dana kampanye hanya formalitas dalam desain pemilihan kita hari ini. Sekadar menyasar kepatuhan pada pelaporan yang dibuat. Soal kebenaran pelaporan sama sekali tidak tersentuh,” ujarnya.
Meski terbentur regulasi, menurut Titi, bukan berarti ketidakjujuran calon dalam melaporkan dana kampanye tidak bisa dicegah.
Peraturan KPU memungkinkan temuan masyarakat atau Bawaslu jadi bahan audit yang dilakukan oleh KAP. Maka, dalam kapasitas sebagai pengawas dan bagian dari institusi penegakan hukum pemilu, Bawaslu seharusnya bisa menelusuri tidak sebatas kepatuhan laporan dana kampanye, tetapi juga kebenaran laporannya.
”Hanya saja, praktik selama ini karena fokus pengawasan Bawaslu terlalu banyak dan mereka disibukkan oleh beragam persoalan, bisa dibilang pengawasan dana kampanye ini terpinggirkan,” ujarnya.
LADK minim
Terkait laporan awal dana kampanye (LADK) calon pada Pilkada 2020 yang minim nilainya, calon wakil gubernur Sulawesi Utara, Steven Kandouw, mengatakan, dana yang dilaporkan masih minim karena sebatas untuk memenuhi ketentuan.
Aturan menyebutkan, LADK harus dibuat di awal masa kampanye. Steven dan pasangannya, calon gubernur Olly Dondokambey, hanya melaporkan dana kampanye Rp 1 juta dalam LADK.
Ketua Tim Pemenangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Kepulauan Riau Isdianto-Suryani, Bakti Lubis, pun menyatakan baru melaporkan Rp 5 juta semata untuk memenuhi aturan. ”Karena kesibukan, baru disetorkan setoran awal saja sebagai syarat membuat LADK,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Kompas (30/9), banyak calon menyampaikan LADK hanya Rp 50.000, bahkan nol rupiah. Ini dipandang sebagai ketidakseriusan dan ketidakjujuran calon karena untuk kampanye dibutuhkan biaya besar. (PDS/BOW/OKA)