Mengapa Perkantoran Menjadi Lahan Subur Penyebaran Covid-19?
›
Mengapa Perkantoran Menjadi...
Iklan
Mengapa Perkantoran Menjadi Lahan Subur Penyebaran Covid-19?
Ruangan dengan jendela yang tertutup dan sistem pendingin udara sebagai ventilasi meningkatkan risiko penyebaran Covid-19 lewat udara atau airborne. Penanganan Covid-19 harus mempertimbangkan risiko penularan airborne.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berada di dalam ruangan yang tertutup dalam durasi yang panjang dinilai menjadi alasan utama penyebab perkantoran menjadi kluster yang berperan besar dalam penyebaran Covid-19 di kota-kota besar. Akses ventilasi terbuka, seperti jendela, dan penggunaan masker tidak bisa ditawar untuk memulai kembali aktivitas perkantoran.
Pengaruh aktivitas perkantoran terhadap penyebaran Covid-19 tecermin pada menurunnya proporsi kluster perkantoran pasca-pembatasan sosial berskala besar digelar kembali di wilayah DKI Jakarta.
Berdasarkan keterangan yang dipublikasikan pada Rabu (30/9/2020) oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, proporsi kasus positif Covid-19 pada kluster perkantoran periode 4 Juni–7 September sebesar 7,2 persen, yaitu, 4.617 kasus dengan jumlah 419 kluster.
Angka ini menurun pada periode pascapenerapan PSBB. Proporsi kasus positif di perkantoran periode 21-27 September 2020 sebesar 4,1 persen, yakni 379 kasus dengan jumlah 51 kluster.
”Jendela yang terbuka dan menggunakan masker tampaknya menjadi cara yang terbaik untuk menekan ancaman penyebaran airborne di dalam ruangan,” kata Profesor Paul Linden, pakar matematika terapan dan fisika dari University of Cambridge Inggris melalui laman resmi universitas, Selasa (29/9).
Linden beserta koleganya telah meneliti mengenai dinamika udara di dalam ruangan perkantoran modern serta kaitannya dengan potensi penyebaran Covid-19 via udara (airborne).
Dalam penelitiannya yang telah dipublikasikan di Journal of Fluid Mechanics pada Selasa (28/9), Linden menunjukkan bahwa sistem ventilasi yang lumrah digunakan oleh perkantoran justru dapat menyebarkan droplet kecil yang disebut aerosol. Sebab sistem ventilasi yang biasa disebut dengan mixed ventilation ini berfungsi menyeragamkan kondisi udara di suatu ruangan.
Untuk memperkirakan dinamika pergerakan droplet, Linden menggunakan suhu dan konsentrasi karbon dioksida di udara, dua karakteristik udara yang diembuskan manusia bersama droplet.
Konsentrasi karbondioksida yang relatif tinggi adalah indikator ventilasi yang buruk. Udara pernapasan yang mengandung droplet pun relatif lebih panas, dibandingkan dengan udara biasa. Melalui deteksi dua karakteristik tersebut, Linden memperkirakan pergerakan droplet dan aerosol dalam sebuah ruang tertutup perkantoran.
Jendela yang terbuka dan menggunakan masker tampaknya menjadi cara yang terbaik untuk menekan ancaman penyebaran airborne di dalam ruangan
Dari penelitian ini juga terlihat bahwa masker memiliki pengaruh yang kuat untuk menjaga udara keluaran pernapasan tidak menyebar luas dalam ruang tertutup.
”Masker dapat menghentikan droplet yang besar. Dan masker yang berlapis tiga mengurang jumlah droplet yang tersirkulasikan di dalam ruangan melalui ventilasi,” kata Linden.
Dugaan sirkulasi udara dalam ruangan tertutup berkontribusi dalam penyebaran Covid-19 juga didukung oleh penelitian yang dipimpin oleh Ye Shen, associate professor bidang epidemiologi dan biostatistik University of Georgia AS.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal JAMA Internal Medicine pada awal September 2020 menunjukkan bahwa virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2 menyebar tersirkulasikan dalam ruangan yang tertutup dan bahkan sistem pendingin udara.
Shen mengambil kesimpulan ini setelah meneliti insiden penyebaran Covid-19 yang terjadi pada sebuah bus di kota Ningbo, Zhejiang, China. Seseorang yang diduga terinfeksi Covid-19 berada di dalam bus yang berisi 67 orang. Dalam bus tersebut, seluruh penumpang termasuk si pasien tersebut tetap duduk di tempat masing-masing dan tidak berpindah-pindah tempat duduk.
Namun, tiga hari setelah menumpang bus tersebut, 23 orang lainnya terinfeksi Covid-19. Namun, hal yang menarik adalah selain penumpang yang memang duduk berdekatan, penumpang yang terkena Covid-19 lokasi duduknya menyebar. Sistem pendingin udara dalam bus tersebut pun dalam moda resirkulasi; artinya udara yang ada di dalam bus disirkulasikan terus-menerus.
”Kalau Covid-19 hanya menular melalui kontak jarak dekat ataupun droplet saja, orang yang berada di dekat pasien pertama memiliki risiko lebih besar. Namun, pada kasus ini, secara statistik, orang yang duduk jauh pun risikonya sama besar,” kata Shen.
Oleh karena itu, Shen menyarankan bahwa penanganan Covid-19 ke depannya harus mempertimbangkan adanya risiko penularan secara airborne, terutama di tempat tertutup.