Pandemi Covid-19 adalah momen untuk mengelola ekspektasi. Gerakan-gerakan sosial-ekonomi, kolaborasi, dan kerja sama diharapkan mampu menjadi gerakan ekonomi berjemaah menggeliatkan kopi Nusantara.
Oleh
M Paschalia Judith J/Karina Isna Irawan/Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
”Semoga coffee roaster di Indonesia semakin banyak, semoga kafe semakin banyak, semoga yang berjualan kopi semakin banyak. Dengan demikian, petani kian sejahtera.”
Demikian doa Ayi Suteja saat wawancara eksklusif dengan Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI), Rabu (30/9/2020), dalam rangka Hari Kopi Internasional yang diperingati setiap 1 Oktober. Ayi adalah petani kopi sekaligus Pengurus Koperasi Murbeng Puntang, Jawa Barat.
Khusus untuk konsumen, dia ingin mengajak mereka minum kopi dari petani Tanah Air karena petani adalah teman dan tetangga bagi para penikmat si hitam pekat. Menggairahkan minat masyarakat untuk membeli kopi dalam negeri menjadi kunci menjaga kesejahteraan petani selama pandemi Covid-19. Petani kopi di Jawa Barat merasa terbantu dengan promosi Jabaruno yang digencarkan pemerintah setempat ke mancanegara.
Ayi menuturkan, sebelum pandemi Covid-19, komunitas petani Puntang telah membentuk jaringan pasar secara daring melalui aplikasi Whatsapp dan media sosial. Jaringan ini turut membantu petani kala pandemi. ”Sekarang, kalau ada kebutuhan di pasar, kami langsung memberikan informasinya di grup (Whatsapp), nanti langsung ditanggapi,” katanya.
Komunitas petani Puntang telah membentuk jaringan pasar secara daring melalui aplikasi Whatsapp dan media sosial. Jaringan ini turut membantu petani kala pandemi.
Ketua Dewan Pengurus SCOPI Irvan Helmi menyatakan, gerakan-gerakan itu patut dicontoh petani dan pemerintah daerah lain karena kopi di setiap daerah memiliki karakteristik dan keunggulan tersendiri. Dia juga mengapresiasi gerakan #SatuDalamKopi yang dinisiasi pemerintah pusat karena dapat menggerakkan pengolah biji kopi domestik yang mayoritas merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Irvan juga berpendapat, dibandingkan pasar ekspor, pelaku usaha penyangrai kopi (coffee roaster) berskala UMKM lebih berani memberikan harga tinggi kepada petani. Marginnya berkisar 30-70 persen. ”Roaster di Indonesia bisa memberikan harga yang lebih tinggi karena menghasilkan produk minuman bagi konsumen, sedangkan trader biasanya tidak memberikan nilai tambah pada hasil panen petani,” katanya.
Terkait gerakan #SatuDalamKopi yang digelar 20-26 April 2020, External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menyatakan, hampir 1.000 pengusaha kopi baru dari berbagai wilayah di Indonesia memanfaatkan kanal digital Tokopedia untuk mempertahankan kelangsungan bisnis di tengah pandemi. Jumlah transaksi produk kopi mencapai lebih dari 2,5 kali lipat sejak kampanye diluncurkan pada April 2020 jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Para pemilik kedai kopi dan barista juga membangun gerakan-gerakan sosial-ekonomi untuk menggeliatkan kopi di musim pagebluk ini. Gerakan inisiatif Barista Asuh, misalnya. Gerakan ini mempertemukan para barista yang dirumahkan atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pemilik kedai kopi yang mau memberikan satu sif kerja per pekan.
”Sehari dapat sif sangat berarti untuk menyambung hidup, apalagi di masa di mana banyak teman yang di-PHK,” ujar Zenal, pemuda asal Cengkareng, Jakarta Barat.
Berdasarkan data Barista Guild Indonesia (BGI), pandemi menyebabkan setidaknya 1.000 barista menganggur. Pengurus BGI, Yudistira Bawana, menyatakan, setidaknya ada 40 kedai kopi di seluruh Indonesia yang sanggup ikut serta dalam gerakan ini (Kompas, 28 Mei 2020).
Co-founder Bagi Kopi Dalzi Danil mengatakan, di masa awal Covid-19, pada Maret-April, Dalzi menggelar donasi kopi dan jamu untuk beberapa rumah sakit di Bandung, Jawa Barat. Hasilnya, 9.000 cup kopi dibeli oleh donatur. Namun, program donasi tidak selalu efektif karena pasar kian sulit.
Dalam kondisi berat seperti saat ini, sistem kolaborasi dan kerja sama penting. Harus ada sistem pengembangan ekonomi berjemaah.
Dia berupaya berinovasi, salah satunya melalui kolaborasi dengan merek (brand) komponen produk sehingga biaya produksi bisa lebih murah, tetapi kualitas tetap baik. ”Omzet yang sempat anjlok mulai menanjak lagi. Sekarang turun 20 persen per toko dari kondisi normal sebelum Covid-19. Pada awal pandemi, omzet jeblok hingga 70 persen. Dalam kondisi berat seperti saat ini, sistem kolaborasi dan kerja sama penting. Harus ada sistem pengembangan ekonomi berjemaah,” katanya.
Irvan Helmi, co-founder Anomali Coffee, menuturkan, pandemi Covid-19 adalah momen untuk mengelola ekspektasi. Selain efisiensi produksi, Anomali Coffee juga kembali ke kultur bisnis kopi. Penjualan kopi bubuk dan biji kopi kini menjadi prioritas.
”Banyak konsumen lebih membeli kopi bubuk atau biji kopi ketimbang kopi siap saji. Penjualan kopi bubuk dan biji kopi selama pandemi meningkat 20 persen,” ujarnya.