Batalnya liga sepak bola Indonesia 2020 dinilai bentuk inkonsistensi pemerintah dalam penanganan Covid-19. Hal itu mengingat, di tengah ketiadaan izin keramaian dari Polri untuk liga, pilkada tetap bisa berlangsung.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pembatalan kompetisi sepak bola Shopee Liga 1 dan Liga 2 menimbulkan konsekuensi klub yang mati suri dan nasib pemain yang makin tak menentu.
Batalnya liga dipastikan setelah Kepolisian RI tidak menerbitkan izin keramaian. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, izin keramaian tidak dikeluarkan karena situasi pandemi Covid-19, yang kasusnya masih terus meningkat.
Selain itu, Kepala Polri menerbitkan maklumat yang menjadi penegasan bahwa Polri tak akan mengeluarkan izin keramaian di semua tingkatan. ”Polri bersama TNI dan pemangku kepentingan terkait sedang berkonsentrasi mendukung kebijakan pemerintah dengan melaksanakan operasi yustisi,” kata Argo (Kompas, 30/9/2020).
Ketiadaan izin keramaian ini antiklimaks dari ”lampu hijau” bergulirnya kembali liga sepak bola setelah terhenti tujuh bulan akibat pandemi. Sinyal positif pemerintah itu melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali dan Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo yang merestui bangkitnya kompetisi sepak bola, juga bola basket.
Kompetisi ibarat urat nadi cabang olahraga. Tanpa kompetisi, klub tidak bisa menjalankan aktivitas hakiki mereka: berlatih dan bertanding. Jika klub tak bisa berkegiatan, yang terdampak sudah pasti pemain, juga pelatih. Di sekitar mereka ada asisten pelatih, pelatih fisik, pelatih kiper, masseur (juru pijat), dan banyak kru pendukung lainnya.
Kompetisi juga mendorong perputaran modal. Sebuah pertandingan sepak bola menjadi sumber pemasukan bagi tim tuan rumah (home) seiring kehadiran tim tamu (away) beserta fasilitas yang menyertai, seperti akomodasi, konsumsi, dan biaya perjalanan. Di masa normal, kehadiran penonton juga sumber pemasukan bagi klub, yang kini harus direlakan karena laga harus digelar tanpa penonton.
Bagi para pesepak bola, juga atlet di cabang lain, ketiadaan kompetisi atau kejuaraan apa pun bentuknya dan bagaimanapun skalanya sama saja menggerus, bahkan mematikan penghasilan. Mayoritas pemain dikontrak di awal musim dan mekanisme pembayaran gaji diatur sesuai kesepakatan klub dan pemain. Kalau tidak ada kompetisi, banyak dana tak berputar, lalu dari mana pemain berharap gaji dicairkan?
Mayoritas atlet sudah mendedikasikan hidupnya untuk olahraga. Demi olahraga yang mereka cintai, tak sedikit olahragawan merelakan pendidikannya. Banyak yang tak melanjutkan sekolah demi prestasi olahraga.
Tak heran, hidup-mati atlet benar-benar berasal dari bergulirnya event. Tanpa kejuaraan, bagaimana mereka bisa membuktikan diri bisa berprestasi? Terlebih di Indonesia, yang kerap menghargai prestasi dengan bonus. Untuk satu medali emas perseorangan di Asian Games Jakarta-Palembang 2018, misalnya, pemerintah mengucurkan bonus Rp 1 miliar.
Insan olahraga menilai pembatalan liga ini wujud inkonsistensi pemerintah dalam menangani pandemi. Sebab, di sisi lain, pilkada serentak pada Desember 2020 tetap berjalan.