Terjadi dan Terjadi Lagi, Korban Pelecehan Ikut Menanggung Hukuman
Saat tidak mampu melawan, korban pelecehan seksual dituding ikut menikmati. Saat berani mengejar pelaku, mereka dianggap berlebihan.
Di negeri ini, tidak cukup pelaku pelecehan seksual yang dihukum. Korban-korban yang mereka renggut kehormatannya juga harus ikut menanggung hukuman. Namun, bukan berupa vonis dari meja pengadilan yang menjerat, melainkan penghakiman dari masyarakat.
“Dipegang doang,” tutur seorang pria berjaket ojek daring saat berusaha menengahi keributan antara satu pemuda dan dua perempuan. Si pemuda yang diteriaki habis-habisan tersebut berkali-kali mengatupkan kedua telapak tangan sambil berucap maaf.
Para perempuan itu tidak terima. Mereka tidak rela laki-laki ini begitu saja melenggang. “Dipegang itu, kan, pelecehan, Pak!” seru salah satu perempuan dengan suara bergetar menahan tangis.
“Kamu dipukul apa cuma dipegang? Dicemet kamu (diremas)?” tanya bapak pengojek memastikan ke para perempuan tersebut. Pada akhirnya, ia menyuruh si laki-laki tadi untuk bergegas melajukan sepeda motornya agar keributan berhenti.
Dongkol hati SAP (22) saat mengingat adegan nyata itu, yang terjadi Sabtu (26/9/2020) lalu di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang. Ia dan kakaknya, HAP (24), adalah dua perempuan yang terlibat adu ribut. Laki-laki yang kemudian diketahui berinisial I (25) sebelumnya secara sengaja memegang paha HAP dan langsung kabur.
Sudah emosi gara-gara pelecehan seksual I, SAP dan HAP kian jengkel dengan permisifnya warga sekitar terhadap perbuatan pelaku. “Dipegang tanpa consent (persetujuan), kan, termasuk pelecehan, bahkan catcalling (godaan verbal) saja sudah termasuk,” ucap SAP saat dihubungi pada Selasa (30/9/2020).
Ceritanya, Sabtu sore, mahasiswi semester 7 itu memboncengkan kakaknya naik sepeda motor dalam perjalanan pulang setelah membeli makanan untuk kucing. Sekira 500 meter sebelum mencapai rumah, SAP melihat dari spion kanan ada pemuda memepet motor mereka. Tangan pemuda itu lalu mengarah ke paha HAP.
Kecurigaan SAP benar. “Dek, paha gue dipegang,” ujar HAP.
Amarah SAP meletup. Seperti kerasukan, ia melesatkan sepeda motor untuk mengejar pemuda kurang ajar yang juga mengemudi dengan kecepatan tinggi. Tak disangka pelaku, SAP mampu menjangkaunya.
SAP dan HAP tidak peduli lagi. Maki-makian dimuntahkan pada I yang sudah menodai kedaulatan HAP atas tubuhnya. Kakak-adik itu juga memvideokan wajah serta nomor polisi kendaraan pelaku. SAP lantas menyertakan video dalam utasan cuitan di akun Twitter-nya, yang pada Rabu (30/9/2020) petang sudah disukai 47.900-an akun dan dicuit ulang oleh 14.500-an akun.
Namun, warga sekitar yang mengetahui kemarahan dahsyat SAP dan HAP bukannya memberikan simpati atas keberanian mereka melawan I. Pengemudi ojek menganggap sepele perbuatan pelaku. Bahkan, ada wanita paruh baya, sesama perempuan, yang juga menilai SAP dan HAP bereaksi berlebih.
“Sok nengahin, sok jadi pahlawan, tapi malah jadi mojokin saya sama kakak,” tutur SAP.
Apakah jika korban pelecehan tidak berani mengejar dan melawan pelaku akan terhindar dari penghakiman warganet maha benar? Tidak juga.
Utasan cuitan SAP yang menceritakan kejadian itu juga menggerakkan sejumlah akun untuk turut menyudutkan keduanya di jagat maya, dengan kalimat yang lebih tak berperasaan. Ada yang mengetik komentar bahwa SAP dan HAP sok suci. Ada pula yang menyebutkan, mereka pasti tidak marah jika pria berparas rupawan yang memegang paha kakaknya.
Baca juga : Selama 12 Tahun Memendam Rahasia Kekerasan Seksual
Apakah jika korban pelecehan tidak berani mengejar dan melawan pelaku akan terhindar dari penghakiman warganet maha benar? Tidak juga.
Sebelum pelecehan terhadap HAP, terdapat kekerasan seksual pada LHI (23) di Bandara Soekarno-Hatta, 13 September lalu. Ia waktu itu mengakses layanan tes cepat Covid-19 sebagai syarat berangkat ke Nias, Sumatera Utara.
Seorang petugas tes cepat, EFY (34), menipu LHI dengan mengatakan hasil tes dia reaktif. EFY mendesak agar LHI mau dites lagi dengan jaminan hasilnya bakal non reaktif. Sebagai imbalan, EFY menerima tambahan uang Rp 1,4 juta dari korban lewat transfer ke rekening pribadi.
EFY rupanya belum puas menipu. Ia kemudian mengajak LHI ke tempat yang sepi, berusaha mencium bibir, lalu meraba-raba dada korban.
LHI menceritakan semua pengalaman pahitnya juga di Twitter. Ia mengatakan tidak kuasa melawan. Ia hanya bisa diam. Lari dan berteriak minta tolong pun tidak bisa.
“Please jangan hujat aku ‘akunya yang ngebolehin/gak ngelawan,’ tapi jujur pada saat kejadian bener-bener gak bisa ngapa-ngapain dan ngerasa powerless,” cuit LHI.
Kondisi nir perlawanan dari LHI mengundang komentar-komentar jahat. Salah satu akun dengan teganya berkomentar,”Kok kamu diam aja ya Mbak? punya mulut, tangan, kaki bukannya dilawan. Apa kamu menikmatinya ya?”
Baca juga : Polisi Dorong Korban Lain Penipuan Tes Cepat di Bandara Soekarno-Hatta Segera Melapor
Padahal, banyak perempuan yang pernah mengalami pelecehan menanggung kondisi serupa saat pelaku beraksi. SAP, salah satunya. Ia bercerita, sewaktu masih sering naik bus untuk “ngampus”, beberapa kali tubuhnya dipegang oleh pria. “Saya juga ngalamin kok nge-‘freeze’. Saya pengen bersuara, tapi kok gak keluar. Makanya, saya sikut perutnya,” kata dia.
Saat seseorang mengalami ketakutan yang ekstrem, tubuh punya mekanisme pertahanan diri bernama tonic immobility, yakni ketidakmampuan tubuh untuk bergerak sampai ancaman bahaya berlalu. (Jiemi Ardian)
Kondisi korban yang terdiam saat pelecehan pun ada penjelasan ilmiahnya. Psikiater di Siloam Hospitals Bogor, dokter Jiemi Ardian, menerangkan, saat seseorang mengalami ketakutan yang ekstrem, tubuh punya mekanisme pertahanan diri bernama tonic immobility, yakni ketidakmampuan tubuh untuk bergerak sampai ancaman bahaya berlalu.
“Ini adalah reaksi biologis tubuh. Kita tidak bisa memilih untuk tidak demikian,” kata Jiemi yang aktif kampanye terkait perlindungan terhadap kekerasan seksual di media sosial.
Saat rasa takut memuncak, salah satu bagian otak bernama amygdala membajak bagian otak lain sehingga tubuh tidak bisa bergerak, tetapi tetap sadar. “Bisa bayangkan betapa mengerikannya? Kamu ingat detil kejadian pemerkosaan itu tetapi tidak bisa bergerak,” ucap Jiemi.
Sindiran pada yang berani melawan serta stigma pada yang hanya terdiam membuat korban pelecehan seakan dinodai lagi oleh sebagian masyarakat. Para predator pun merasa punya dukungan untuk tetap mencari mangsa. “Di negara Indonesia, kayaknya enggak ada tempat aman untuk kami,” kata SAP.
Menurut Catatan Tahunan 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dalam kurun 12 tahun (2008-2019), kekerasan terhadap perempuan naik hampir delapan kali lipat! Pada 2018, terdapat 54.425 kasus, sedangkan di tahun 2019 ada 431.471 kasus.
Sepanjang tahun 2019, tercatat 25 persen kekerasan terhadap perempuan di ranah personal adalah berupa kekerasan seksual, atau terbanyak kedua yang dilaporkan. Di ranah publik atau komunitas, kekerasan seksual merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan. Dari 2.091 kasus kekerasan seksual di ranah komunitas, sebanyak 756 pelaku merupakan orang tidak dikenal.
Arieska Kurniawaty, Koordinator Program Solidaritas Perempuan, mengatakan, terabaikannya kasus-kasus pelecehan seksual merupakan fenomena global, bahkan termasuk di negara-negara maju. Itu terbukti dengan begitu banyaknya korban di seantero dunia yang berani bersuara setelah digaungkannya gerakan #metoo.
Menurut Arieska, budaya di masyarakat jadi salah satu faktor penyubur kekerasan seksual terhadap perempuan. Mengatur-atur tubuh perempuan, termasuk bagaimana dalam berpakaian, sudah jadi kewajaran. “Yang dididik di Indonesia adalah perempuan harus pakai ini karena kalau tidak kamu nanti diperlakukan begini. Harusnya dibalik, anak laki-laki diajarkan untuk menghormati tubuh orang lain, jangan melakukan sesuatu yang tanpa consent,” ujar dia.
Namun, meski masyarakat adalah aktor dalam membudayanya kekerasan seksual, negaralah penanggung jawab tertinggi untuk menghapusnya. Arieska merujuk pada Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah diratifikasi RI, 36 tahun silam.
Pasal 5 huruf a CEDAW mengamanatkan negara-negara peserta membuat peraturan untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan guna mencapai penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan, dan segala praktik lain yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan.
“Kalau perubahan tidak sistematis, kasus akan terus-terusan ada dan banyak sekali,” tambah Arieska.
Sayangnya, komitmen yang gagah didemonstrasikan di panggung internasional melempem di dalam negeri. Anggota Dewan yang terhormat memilih mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Penindakan konkret atas pelaku kekerasan seksual masih jauh panggang dari api.
Baca juga : Sulitnya Pembahasan RUU PKS
Sampai kapan SAP, HAP, LHI, dan perempuan lain merasa aman di ruang publik? Bilamana korban-korban pelecehan seksual tidak lagi ikut dihukum bersama pelaku?