Peringatan Hari Kesaktian Pancasila seyogianya tak hanya menyangkut kudeta Gerakan 30 September 1965, tetapi juga pemberontakan/kudeta yang terjadi sejak Indonesia merdeka, seperti Madiun 1948, DI/TII, PRRI/Permesta.
Oleh
ASVI WARMAN ADAM
·3 menit baca
Setiap tahun bangsa Indonesia dua kali melakukan peringatan yang berhubungan dengan Pancasila, yaitu Hari Lahir Pancasila 1 Juni dan Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Peringatan Hari Lahir Pancasila diadakan di Istana Negara tahun 1958 dan 1959 dengan kursus mengenai Pancasila yang diberikan Bung Karno. Diikuti sekitar 3.000 orang, di dalam dan luar Istana Negara. Dalam peringatan hari lahir tahun 1964, Bung Karno menegaskan, Pancasila itu untuk selamanya.
Pada masa Orde Baru, Kopkamtib melarang peringatan itu sejak 1 Juni 1970. Mei 2016, PBNU mengusulkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Presiden Joko Widodo menyetujui dan mengeluarkan Keppres No 24/2016 yang menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Dalam keppres disebutkan rumusan Pancasila sejak 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Soekarno, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga rumusan final 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara.
Dalam peringatan hari lahir tahun 1964, Bung Karno menegaskan, Pancasila itu untuk selamanya.
Sebelumnya, 18 Agustus telah ditetapkan menjadi Hari Konstitusi pada 2008. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila diadakan sejak 1966. Pada 17 September 1966, Jenderal Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat (AD) mengeluarkan Surat Keputusan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati seluruh slagorde AD.
Pada 24 September 1966, Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan peringatan itu oleh seluruh Angkatan Bersenjata. Tanggal 29 September 1966, Soeharto selaku Menteri Utama Bidang Pertahanan Keamanan memutuskan peringatan itu oleh seluruh slagorde Angkatan Bersenjata. Peringatan itu tak wajib di Lubang Buaya, bisa di Istana Negara atau lebih tepat lagi di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena tujuh jenazah pahlawan revolusi itu disemayamkan di sana.
Peringatan Hari Lahir Pancasila dan Hari Kesaktian Pancasila sangat penting dan saling melengkapi. Pada 1 Juni, kita berbicara lahirnya Pancasila yang juga berperan mempersatukan bangsa. Pancasila abadi karena ancaman perpecahan lumrah terjadi kapan saja pada bangsa yang demikian majemuk. Apabila dasar negara itu diibaratkan fondasi rumah, dinding, dan atapnya sudah dibangun, perlu dijaga dari bahaya lain, yaitu angin badai dan topan atau tanah longsor.
Bahaya itu adalah pemberontakan, kudeta, makar yang terjadi dari masa ke masa sejak 1945. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu bermakna kita mampu bertahan dan tetap eksis dari rongrongan berbagai upaya untuk meruntuhkan negara, dari luar ataupun dalam.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila seyogianya tak hanya menyangkut kudeta Gerakan 30 September 1965, tetapi juga pemberontakan/kudeta yang terjadi sejak Indonesia merdeka, seperti Madiun 1948, DI/TII, PRRI/Permesta, RMS, OPM, dan GAM. Pemberontakan/kudeta itu berideologi kiri dan kanan serta kedaerahan.
Pancasila abadi karena ancaman perpecahan lumrah terjadi kapan saja pada bangsa yang demikian majemuk.
PRRI/Permesta dibantu negara asing, yakni AS. Ada beberapa tokoh yang pernah berjuang untuk kemerdekaan RI, seperti Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Daoed Beureueh di Aceh, dan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, tetapi mereka kemudian melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia yang sah. Tetap saja perlawanan itu juga pemberontakan dan kudeta, tak dapat dibenarkan. Semua itu merusak persatuan bangsa.
Selama ini peristiwa pemberontakan/kudeta ini sudah diajarkan dalam buku pelajaran Sejarah di sekolah. Selain Museum Lubang Buaya di kompleks Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto, juga terdapat Museum Waspada Purba Wisesa yang diresmikan Jenderal Benny Moerdani (untuk mengingatkan bahaya golongan ekstrem kanan).
Namun, belakangan ada upaya membelokkan sejarah dengan mengatakan pemberontakan yang terjadi di daerah itu bukan pemberontakan, melainkan hanya pergolakan daerah. Dikatakan, PRRI itu bukan gerakan separatis karena masih menggunakan istilah Indonesia.
Meski peristiwa di atas perlu diwaspadai agar tak terulang di negara ini, kita tak perlu memberikan stigma kepada anak-cucu pelaku. Yang diharapkan, kita terhindar dari rongrongan pada negara yang berdasarkan Pancasila ini dari dalam dan luar negeri, keutuhan dan persatuan bangsa dapat terpelihara. Kita harus melihat peristiwa sejarah nasional secara komprehensif, tak parsial, dan bermanfaat untuk keutuhan bangsa secara keseluruhan.