Para pendiri bangsa mempunyai kesadaran sejarah yang kuat sehingga bisa mengonstruksi negara dan bangsa ini menjadi seperti saat ini. Kesadaran sejarah harus senantiasa dibangun dan dirawat untuk masa depan bangsa.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Beberapa tahun terakhir, tumbuh kelompok-kelompok yang membawa pendidikan sejarah ke ruang publik dalam bentuk kelompok-kelompok diskusi ataupun perbincangan di media sosial. Namun, di sisi lain, muncul generasi yang rendah kesadaran sejarahnya.
Memang belum pernah ada survei ataupun penelitian tentang hal tersebut, tetapi beberapa hal menunjukkan indikasi tersebut. Ketua Umum Perkumpulan Prodi Pendidikan Sejarah Indonesia (P3SI) Abdul Syukur pun menceritakan pengalaman sejarawan Prof Taufik Abdullah dalam sebuah seminar sejarah sekitar 24 tahun lalu.
Dalam seminar tersebut seorang eksekutif muda melontarkan satire, ”Apakah kita akan mengekspor sejarah?” Mengutip Prof Taufik, Abdul Syukur mengatakan, pertanyaan tersebut merupakan cerminan generasi yang rendah kesadaran sejarahnya, menganggap mata pelajaran sejarah tidak penting. Generasi seperti ini berbahaya kalau mempunyai posisi kuat dalam menentukan kebijakan pemerintah.
Dokumen penyederhanaan kurikulum yang beredar belakangan, meskipun masih berupa draf, (juga) merupakan bukti nyata rendahnya kesadaran sejarah.
”Dokumen penyederhanaan kurikulum yang beredar belakangan, meskipun masih berupa draf, (juga) merupakan bukti nyata rendahnya kesadaran sejarah,” kata Abdul Syukur dalam webinar yang diselenggarakan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Minggu (27/9/2020).
Perubahan mata pelajaran sejarah dari wajib menjadi pilihan di SMA dan peniadaan mata pelajaran sejarah di SMK dalam draf tersebut menguatkan upaya reduksi mata pelajaran sejarah yang telah dilakukan pada tiga kali revisi Kurikulum 2013. Revisi terakhir, pada 2018, mata pelajaran sejarah di SMK yang semula wajib di semua jenjang menjadi hanya diajarkan di kelas 10.
Hal tersebut memunculkan pertanyaan, apakah ada yang salah dalam pembelajaran sejarah yang seharusnya bisa menumbuhkan rasa cinta Tanah Air. Pelajaran sejarah juga seharusnya mendorong siswa belajar tentang manusia dalam membangun peradaban bangsa dan dunia.
Dalam penelitiannya tentang kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia saat menyusun disertasi pada 2013, Abdul Syukur menemukan, masalahnya bukan pada guru, tetapi pada kurikulum. Dalam Kurikulum 2013, misalnya, ada kelemahan konsep antara mata pelajaran sejarah yang ditempatkan dalam kelompok wajib dan kelompok peminatan. Konten sejarah sebagai mata pelajaran wajib yang seharusnya lebih ke nilai-nilai dan sejarah sebagai peminatan yang seharusnya lebih ke sejarah sebagai ilmu ternyata relatif sama.
”Berdasarkan penelitian saya, ada materi yang dari pra-aksara sampai zaman kemerdekaan, dalam kurikulum tahun 1975, 1984, 1994, dan 2004, itu diulang (di kurikulum 2013). Materi yang sama menyebabkan kebosanan karena peserta didik merasa diajarkan hal yang sama, demikian juga guru mengajarkan hal yang sama,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta, Rabu (30/9/2020).
Perspektif baru
Karena itu, perlu ada perspektif baru dalam mata pelajaran sejarah. Perspektif Indonesia sentris tidak lagi sesuai perkembangan zaman. Pelajaran sejarah harus berperspektif Indonesia sentris yang humanistis. Selain itu, konten mata pelajaran sejarah harus disesuaikan dengan perkembangan psikologis siswa.
Pendekatan kronologis dalam pelajaran sejarah selama ini tidak sesuai dengan perkembangan psikologis siswa. Penggunaan konsep pendalaman dan perluasan materi sejarah sesuai kenaikan jenjang pendidikan, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, merupakan pengaruh ilmu alam dalam ilmu sejarah.
”Pendekatan ini harus dibagi dengan tematik kronologis, pilih tema-tema yang cocok dengan perkembangan psikologis siswa. Kita harus mempunyai konsep, bagaimana membedakan pelajaran sejarah di SD, SMP, dan SMA. Sejarah penting untuk membangun keindonesiaan, pentingnya tidak hanya di SMA, tetapi juga di SD dan SMP,” tuturnya.
Guru Besar Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia Nana Supriatna menawarkan pendekatan rekonstruksi sosial untuk merevisi pelajaran sejarah. Caranya dengan menjadikan pelajaran sejarah lebih bermakna, mengajak siswa menarik permasalahan masa lalu untuk menghadapi atau menyelesaikan masalah yang kini dihadapi.
Penting bagi siswa mengenal para pahlawan, tetapi tidak kalah penting menjadikan mereka sebagai pahlawan, pelaku sejarah pada zamannya. Ini akan memperkuat aspek kognitif, yaitu bernalar, berpikir dengan cerdas, dan kritis.
”Sejarah kita terlalu fokus pada sejarah politik, pada publik figur, pada perkembangan nasional. Itu tidak salah, dan penting, tetapi dengan sumber pelajaran sejarah yang demikian banyak, ada di mana-mana, memperkaya konten menjadi hal yang sangat penting,” kata Nana.
Revisi mata pelajaran sejarah tersebut akan memperkuat kemampuan berpikir historis bangsa ini dalam menghadapi persoalan kontemporer. Hal ini akan membangun kesadaran sejarah mereka sebagaimana para pendiri bangsa yang mempunyai kesadaran sejarah yang sangat kuat sehingga bisa mengonstruksi negara dan bangsa menjadi kuat dan besar seperti saat ini.
Sejarah bersifat terbuka dan dinamis, menjadi tantangan para guru untuk tidak sekadar mentransfer pengetahuan kepada siswa, melainkan proses berpikir yang memengaruhi pembentukan kesadaran dalam diri peserta didik. ”Guru Sejarah jangan sampai bersifat ’kaku’ dengan memberikan informasi antiquariat (koleksi tua), dengan nilai-nilai yang sudah lapuk, yang memicu keringnya pemahaman peserta didik terhadap kesadaran sejarah kekinian,” kata Sumardiansyah Perdana Kusuma, Presiden AGSI.