Perubahan KPK Berujung ”Bedol Desa”
Menyusul revisi UU KPK setahun lalu, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah ini menurun. Pegawai KPK pun beramai-ramai mengundurkan diri. Sejak Januari, sebanyak 31 pegawai ”bedol desa” dari KPK.
Situasi Komisi Pemberantasan Korupsi telah berubah seiring dengan adanya revisi Undang-Undang KPK yang terjadi pada 17 September 2019. Akibatnya, tak hanya kehilangan kepercayaan dari publik, pegawai KPK berbondong-bondong memilih mengundurkan diri lembaga antirasuah tersebut.
Dalam setahun terakhir, KPK terus dihadapkan pada kritikan negatif akibat minimnya penindakan yang mereka lakukan, tetapi justru sarat dengan kontroversi. Salah satunya, belum tertangkapnya Harun Masiku, buron KPK dalam kasus suap untuk bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan.
Baca juga: Alarm untuk KPK
Publik sudah tidak yakin lagi, pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK akan lebih baik. Situasi tersebut tergambar pada hasil survei Litbang Kompas pada Juni 2020.
Sebanyak 54,9 persen responden yakin pemberantasan korupsi oleh KPK akan lebih baik, sedangkan responden yang menjawab tidak yakin 41,6 persen dan sisanya tidak tahu. Hal ini memburuk dibandingkan jajak pendapat Kompas pada Januari 2020, yakni 76,8 persen menjawab yakin dan 19,8 persen tidak yakin.
Baca juga: Satu Tahun Pascarevisi UU, KPK Melemah
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, persentase penindakan yang dilakukan KPK selama semester I-2020 jauh di bawah target. KPK memiliki target 120 kasus, sedangkan yang terealisasi hanya 6 kasus atau 5 persen. Realisasi target tersebut dihitung berdasarkan kasus korupsi yang telah masuk tingkat penyidikan diikuti dengan penetapan tersangka selama 1 Januari hingga 30 Juni 2020.
Di saat KPK sudah kehilangan kepercayaan publik karena minimnya penindakan yang dilakukan, KPK juga kehilangan kepercayaan dari pegawainya sendiri. Sejak Januari hingga September 2020, sebanyak 31 pegawai KPK yang terdiri dari 24 pegawai tetap dan 7 pegawai tidak tetap mengundurkan diri.
Sejak Januari hingga September 2020, sebanyak 31 pegawai KPK yang terdiri dari 24 pegawai tetap dan 7 pegawai tidak tetap mengundurkan diri.
Salah satu pegawai yang mundur tersebut adalah mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Kepada wartawan di gedung KPK, Febri mengungkapkan bahwa kondisi politik dan hukum telah berubah bagi KPK. Perubahan tersebut terjadi seiring adanya revisi Undang-Undang KPK.
Banyaknya pegawai KPK yang mengundurkan diri tersebut dianggap oleh Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri sebagai hal yang wajar terjadi di organisasi atau lembaga, termasuk KPK. Pada 2016, sebanyak 46 pegawai mengundurkan diri, 2017 sebanyak 26, 2018 sebanyak 31, dan 2019 sebanyak 23 pegawai.
Baca juga: Modal Sosial KPK Semakin Tergerus
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melihat KPK adalah kawah candradimuka bagi para pejuang antikorupsi. Menurut Ghufron, pejuang tak akan meninggalkan gelanggang sebelum kemenangan diraih walaupun kancah perjuangan antikorupsi kini berubah. Bagi Ghufron, perubahan itu seharusnya menjadi ujian kesetiaan cinta.
Febri menanggapi pernyataan Ghufron tersebut dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum bertema ”Ada Apa Dengan KPK?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (30/9/2020). ”Perang besar kita adalah perang melawan korupsi. Di dalam peperangan itu sebenarnya ada banyak pertempuran. Saya pikir kontribusi saya tidak untuk pertempuran yang dari dalam KPK, tetapi pertempuran di luar sana,” kata Febri.
Pejuang tak akan meninggalkan gelanggang sebelum kemenangan diraih walaupun kancah perjuangan antikorupsi kini berubah.
Acara dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo. Hadir pula secara daring sebagai pembicara Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, dan anggota DPR Komisi III Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni.
KPK berubah
Febri menjelaskan, pertempuran tersebut sebagai bagian dari perang melawan korupsi dengan posisi sebagai pegawai KPK di berbagai unit untuk melawan korupsi. Cara dan ruang bertempur ketika menjadi pegawai KPK dengan di luar KPK ada perbedaan. Ia memandang, dengan segala perubahan yang ada, maka dengan berada di luar KPK, ia akan lebih memberi kontribusi dalam pertempuran yang lain, tetapi dalam perang yang sama.
Baca juga: 56,9 Persen Responden Tak Puas atas Kinerja KPK, Musisi Penolak Revisi UU KPK Merasa Miris
Ia menyebutkan, ada perubahan politik hukum di KPK saat ini. Perubahan tersebut terjadi karena ada revisi Undang-Undang KPK dengan segala konsekuensinya. Perubahan mendasar yang ada, yakni terkait dengan KPK diletakkan pada rumpun eksekutif.
Posisi pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) juga menjadi pertanyaan bagi Febri. ”Ketika pegawai KPK menjadi ASN, desain seperti apa yang tetap memastikan independensi pegawai KPK dalam melaksanakan tugasnya nanti?” ujarnya.
Ketika pegawai KPK menjadi ASN, desain seperti apa yang tetap memastikan independensi pegawai KPK dalam melaksanakan tugasnya nanti?
Selain perubahan regulasi, pendapat dan harapan publik kepada KPK serta apa yang terjadi di dalam KPK turut memengaruhi pertimbangannya dalam memutuskan untuk pamit dari KPK. Ia menyimpulkan ke dalam satu kalimat, kondisi KPK memang telah berubah.
Akan tetapi, ia menegaskan tak akan menyerah melawan korupsi. Sebab, KPK tidak mungkin dibiarkan sendiri berperang melawan korupsi. Masyarakat, kampus, jurnalis, dan komitmen politik dibutuhkan dalam perang melawan korupsi.
Baca juga: Independensi KPK Dipertanyakan
Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan, ada dua faktor yang memengaruhi perubahan KPK, yaitu revisi UU KPK dan pemilihan komisioner yang diperlakukan secara politis. ”Yang paling mengecewakan, hampir seluruh komisioner yang baru menandatangani semacam pakta integritas untuk mendukung perubahan UU KPK,” katanya.
Ia menduga, fenomena ”bedol desa” yang terjadi di KPK karena konstelasi UU KPK yang tidak lagi mendukung pemberantasan korupsi. Fenomena bedol desa tersebut bukan persoalan wajar atau tidak, melainkan merupakan konsekuensi dari komisioner KPK dan UU KPK yang jauh dari semangat pemberantasan korupsi.
Fenomena ’bedol desa’ yang terjadi di KPK karena konstelasi UU KPK yang tidak lagi mendukung pemberantasan korupsi.
Nawawi mengakui, ada perubahan yang harus dilakukan sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 seperti dalam penindakan. Sebab, pada Pasal 70 huruf C disebutkan, sejak UU ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi harus dijalankan menurut UU yang baru.
Alhasil, segala sesuatu yang ada di KPK harus diubah dengan mengikuti peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian, Nawawi menegaskan, bahwa mereka terus bekerja dengan lima unsur pimpinan yang kolektif kolegial.
Baca juga:KPK Tetap Menjadi Harapan Pemberantasan Korupsi
Terkait dengan banyaknya pegawai KPK yang mengundurkan diri, Nawawi menceritakan, setiap bulan hampir ada 3-4 surat tembusan permohonan mundur yang ada di meja pimpinan. Berdasarkan data yang diperoleh Sekretaris Jenderal KPK dari bagian SDM (sumber daya manusia), sejak 20 Desember 2019 saat komisioner KPK dilantik sampai dengan 21 September, ada 29 pegawai tetap dan 8 pegawai tidak tetap yang mengundurkan diri. Bahkan, pengunduran diri tersebut dilakukan oleh seseorang yang dikenal Nawawi memiliki kinerja yang bagus dan sempat mengikuti seleksi rekrutmen pejabat eselon II.
Nawawi menuturkan, pimpinan belum melakukan kajian, apa yang menjadi dasar pertimbangan pegawai KPK tersebut mundur. Namun, ia menyimpan beberapa model surat permohonan yang diberikan kepadanya.
Wabah Covid-19
Menanggapi kritikan terhadap revisi UU KPK, Ahmad Sahroni mengungkapkan, tidak menjadi bulat bahwa revisi adalah bagian dari punahnya KPK. KPK tetap kuat dengan internal yang kuat juga. Soal menurunnya prestasi KPK, menurut dia, terjadi karena adanya wabah Covid-19, bukan karena revisi UU KPK.
Baca juga: Independensi KPK Dipertanyakan
Ia yakin KPK ke depan pasti akan menjadi kuat dengan UU yang ada. Kekuatan dari KPK bukan karena faktor tangkap tangan, melainkan bagaimana bisa melindungi uang negara. ”Jangan menangkap, tetapi pengembalian ke negara tidak ada,” kata Sahroni.
Menanggapi pernyataan Sahroni, Zainal menegaskan, kalau mengharapkan KPK memiliki kekuatan untuk mengembalikan uang negara seharusnya bukan UU KPK yang diubah, melainkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sementara itu, Nawawi sependapat dengan Sahroni, wabah Covid-19 turut berpengaruh terhadap kinerja KPK. Sebab, ada 118 pegawai yang positif Covid-19, 72 di antaranya sembuh dan 45 pegawai masih dalam perawatan.
Meskipun demikian, KPK tetap berusaha bekerja seoptimal mungkin, termasuk dalam upaya mengejar buronan yang belum tertangkap seperti Harun Masiku. KPK masih dengan keinginan luhur dalam upaya pemberantasan korupsi.