Potongan Hukuman bagi Koruptor Berlanjut, Komitmen MA Dipertanyakan
›
Potongan Hukuman bagi Koruptor...
Iklan
Potongan Hukuman bagi Koruptor Berlanjut, Komitmen MA Dipertanyakan
Komisi Pemberantasan Korupsi prihatin dengan terus berulangnya pengurangan hukuman bagi koruptor melalui putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/PRAYOGI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi prihatin dengan terus berulangnya pengurangan hukuman bagi koruptor melalui putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung. Hal ini dinilai menunjukkan belum adanya komitmen dan visi yang sama di antara aparat penegak hukum dalam melihat korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan hal itu, Kamis (1/10/2020).
Catatan KPK, sejak September 2019, ada 23 terpidana korupsi yang dikurangi hukumannya melalui putusan peninjauan kembali (PK). Yang terbaru, terpidana kasus korupsi proyek Hambalang, Anas Urbaningrum, dikurangi hukumannya dari semula 14 tahun penjara menjadi 8 tahun.
”Kami tegaskan kembali, sekalipun PK adalah hak terpidana sebagaimana ditentukan oleh undang-undang, pada gilirannya masyarakat juga akan ikut mengawal dan menilai rasa keadilan pada setiap putusan majelis hakim ataupun terhadap kepercayaan MA (Mahkamah Agung) secara kelembagaan,” ujar Ali Fikri.
Pengajar Hukum Pidana di Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, berpendapat, korupsi sudah tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa sejak revisi Undang-Undang KPK, September 2019. Melalui revisi itu, KPK dinilainya dilemahkan. Kondisi itu secara tidak langsung berimbas terhadap komitmen pemberantasan korupsi di MA.
”Karena korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, hakim agung di MA dengan mudah menurunkan hukuman koruptor,” katanya, menambahkan.
Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, potongan hukuman bagi koruptor kian memperburuk agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.
”Eksekutif dan legislatif melemahkan pemberantasan korupsi dengan melemahkan KPK lewat revisi UU KPK. Yudikatif dengan potongan hukuman,” katanya.
Hormati putusan
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah mengatakan, majelis pemeriksa perkara PK mengadili dan memutus perkara sesuai dengan ketentuan undang-undang dan rasa keadilan. Dalam memutus, majelis hakim pun memiliki independensi yang dijamin oleh undang-undang dan tidak dapat dipengaruhi oleh siapa pun.
”Oleh karena itu, siapa pun harus menghormati putusan apa adanya. Kritik, analisis, ataupun kajian terhadap putusan harus dilakukan dengan membaca putusan terlebih dahulu secara lengkap,” kata Abdullah.
Dengan membaca putusan secara lengkap, dapat diketahui landasan filosofis, yuridis, ataupun sosiologis majelis hakim. Dari pertimbangan itu baru dapat diketahui penalaran hukum atau alur pikir yang dibangun oleh majelis hakim. ”Memahami putusan hakim tidak mungkin hanya membaca amarnya, tetapi harus membaca tuntas,” ujarnya, menambahkan.
Terkait hal ini, Ali Fikri sebelumnya pernah mengatakan, KPK belum menerima salinan putusan lengkap PK yang meringankan 23 terpidana korupsi sejak September 2019. ”Kami berharap MA dapat segera mengirimkan salinan putusan lengkap tersebut agar kami dapat pelajari lebih lanjut apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim,” ujar Ali.
Adapun kuasa hukum Anas Urbaningrum, Firman Wijaya, menilai putusan PK MA bagi Anas telah memenuhi rasa keadilan.
Menurut dia, pengurangan hukuman adalah sebuah keniscayaan karena dalam upaya hukum luar biasa itu, hakim dapat memeriksa hal-hal yang bersifat kekeliruan pada putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap.
Saat pengajuan PK, bukti baru yang dibawa ke MA salah satunya adalah putusan majelis kasasi yang dianggap tidak proporsional, terutama dari aspek pembuktian.