Adjie Santosoputro Berjalan ke Dalam Diri
Kepahitan masa lalu membawa Adjie Santosoputro (36) pada jalur untuk menelusuri jalan ke dalam diri melalui hening dan tenang di tengah hiruk pikuk.
Masa lalu sejatinya penuntun jejak bagi tiap orang untuk menentukan keberlanjutan hidupnya. Kepahitan di masa lalu yang membawa Adjie Santosoputro (36) pada jalurnya saat ini. Jalur untuk terus belajar menelusuri jalan ke dalam diri melalui hening dan tenang di tengah hiruk pikuk. Sampai saat ini, prosesnya tak pernah usai.
Simpel. Kata itu yang pertama terlintas ketika akhirnya bertemu secara virtual dengan Adjie pada Rabu (30/9/2020) sore. Sehari sebelumnya, Adjie menyangka hanya akan berbincang lewat sambungan telepon. Bahkan ketika disepakati dengan aplikasi Zoom, ia masih memastikan apakah cukup dengan suara atau butuh tampilan video.
”Kalau perlu pakai video, saya mau set ruangan dulu,” balasnya lewat pesan singkat beberapa menit sebelum waktu yang dijanjikan untuk bersua. Beberapa menit kemudian, terdengar notifikasi. Sapaan apa kabar mengawali perbincangan sore itu. Sosok Adjie yang berkaus putih dipadu jaket abu-abu pun identik dengan kesehariannya ketika tampil di berbagai sesi daring lewat sosial medianya. Tampilan yang simpel.
Kami (Adjie dan istri) memilih hidup sesimpel mungkin,” ungkapnya yang berpandangan semakin orang bertambah ilmunya, hidupnya justru semakin simpel. Bukan malah kian ruwet dan menjadi tidak bahagia. Adjie rupanya pernah menjajal berbagai hal sebagai pelampiasan atas rangkaian peristiwa masa kecil yang menyisakan luka batin baginya.
Semua yang dijalaninya itu berkelindan dengan persoalan hidupnya di masa lalu. Lahir sebagai anak bungsu, Adjie justru merasakan kesendirian karena jarak usia yang jauh dengan kedua kakaknya. Kondisi keluarga juga menuntutnya untuk dapat menerima keadaan bahwa ayahnya meninggalkan keluarga sehingga ia hanya tumbuh bersama ibu.
Latar belakang itu tanpa sadar mempengaruhinya menjadi orang yang menarik diri dari pergaulan saat SMA, bahkan pernah dirundung oleh teman-teman sekolahnya. Salah satu pelampiasan dilakukannya ketika SMA dengan bermusik dan rutin mengganti gaya rambut. ”Itu eksplorasi pencarian jati diri yang embuh. Ha-ha-ha. Pernah rambutnya emo, gundul, warna-warni. Weekend itu, dulu rambutnya kuning, hijau, ungu. Nanti minggu malam, cat hitam lagi. Senin sekolah lagi,” ujarnya sambil terkekeh.
Meski begitu, prestasi akademik Adjie tetap moncer. Ia menggenapi janji pada ibunya untuk tetap bertanggung jawab pada masa depan dengan serius bersekolah. Ia pun masuk Fakultas Psikologi UGM yang menjadi pilihan ketiganya saat UMPTN. Pilihan pertama dan keduanya adalah teknik informatika dan teknik komputer. Walau menempatkan jurusan psikologi sebagai pilihan ketiga, hasrat untuk mempelajari tentang isu mental sudah terpantik sejak lama.
”Di masa kecil, saya melihat ibu saya dalam kondisi yang tidak mudah. Kondisi itu, mungkin ya, saya tidak bisa memastikan secara persis ya, tapi rasanya memengaruhi saya untuk menelusuri batin. Penasaran dengan mental dan psikologi seseorang,” jelas Adjie yang pernah bercita-cita sebagai pemain sepak bola.
Bunuh diri
Dalam perjalanan studinya di Yogyakarta, Adjie merasa memperoleh kesempatan untuk membebaskan diri karena tinggal merantau jauh dari rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Berbagai hal yang dirasanya dapat menyembuhkan luka batin dilakukannya, mulai dari berkenalan dengan obat-obatan, minuman keras, hingga pergaulan tanpa kendali.
”Keinginan saya dengan melakukan itu ya saya sembuh gitu. Luka batin saya jadi pulih. Tapi itu tidak saya dapatkan malah jadi makin hampa. Membuat saya terluka berlipat ganda dan makin parah. Di titik itu, saya beberapa kali berpikir, ’ya udahlah hidup ini selesai saja. Lha habis jalan keluarnya gimana lagi?’ Saya mencoba bunuh diri,” ungkapnya.
Kejadian seperti itu berulang. Sampai pada suatu malam, Adjie yang sendirian di kamar kos merasa dirinya akan mati meski saat itu tidak sedang mencoba bunuh diri. Aneh memang. Namun, hal itu menuntunnya menuju kesadaran baru dengan memulai belajar meditasi, belajar mindfulness, dan belajar tentang renungan hidup.
Tak langsung berhasil, ia mengaku keinginan untuk mengakhiri hidup kerap kambuh. Pelarian pada hal di luar diri juga kembali dilakukan. Jatuh bangun berulang kali hingga pada akhirnya ia pasrah. ”Ya wes ah ke dalam. Karena sebatas saya pahami, pikiran saya yang membuat hidup saya ruwet. Hidup ini simpel sebenarnya,” kata pria yang lulus dengan predikat cumlaude ini.
Selepas kuliah pada 2006, Adjie mulai rutin bermeditasi. Ilmunya diperoleh dari perburuan buku-buku lama di pasar loak di Yogyakarta. Kemudian, disadarinya sejumlah buku itu pernah dilihatnya saat kecil berada di rak buku milik ibunya, seperti buku Rumi atau Kahlil Gibran. Kadang dibacanya juga sekilas ketika duduk di bangku SMP. Selain buku, ia juga mencari informasi tentang pelatihan dan retret berkaitan dengan meditasi.
Informasi belum banyak seperti sekarang sehingga pencariannya tidak mudah. Hanya berbekal dari mulut ke mulut, Adjie memasuki beragam kelas dan sesi. Tak jarang, ia salah masuk kelas. ”Yo pernah keblasuk juga. Ikut meditasi yang ternyata buat nyari aji-aji, buat nyari mantra, buat nyari pesugihan, gitu. Seru sih itu.”
Dua perempuan
Kenyataan bahwa ia mampu bertahan hingga sekarang tak dapat dilepaskan dari peran dua perempuan yang setia menemaninya, yakni ibu dan istrinya. Ibu yang selalu mendukungnya dan menemaninya dalam kondisi sesulit apa pun.
Dukungan ibu yang sangat dirasakannya belakangan ini adalah kesetiaan sang ibu menyaksikan Instagram Live Adjie. Menurut ibunya, kehadiran Adjie di ruang virtual merupakan momen penting yang tak boleh dilewatkan. ”Beberapa jam sebelum IG Live itu sudah ngeributin biasanya hahaha,” guraunya.
Ibu Adjie memiliki satu mimpi untuk anaknya yang, menurut Adjie, tak dapat diwujudkannya dulu. ”Ibu pengin saya ngajar. Tapi kan gitu lulus S-1, saya mbalelo. Sibuk belajar di luar perkuliahan, bukan ambil S-2. Tapi ya namanya doa ibu, sekarang ini meskipun tidak jadi dosen resmi, saya sering diundang ngajar atau jadi dosen tamu. Ibu saya ketawa ngeliatnya,” kata Adjie.
Selain ibu, istri yang telah bersama hampir 20 tahun, terhitung sejak masa pacaran di SMA, disebutnya sebagai sosok yang tangguh karena bersedia menghadapi dirinya yang berubah-ubah sejak dulu. Adjie merasa lebih tenang dan melihat keindahan tersendiri dari pola pikir istrinya yang simpel dalam menjalani hidup.
”Dari rambut saya cat warna-warni, gaya emo, jadi pesulap, jadi pengangguran, gundul, gondrong. Ya sama istri saya ini. Antara setia atau terpaksa ya. Sempat saya tanya iseng gitu, jawaban dia ’yo meh piye meneh’ (ya mau gimana lagi), he-he-he," ujarnya.
Adjie pun merasa aneh jika lama tidak bertengkar dengan istri. Menurut dia, kehidupan pasangan tanpa pertengkaran justru berpotensi mengindikasikan salah satu pihak tertekan.
Menjadi bermanfaat
Dari pasang surut perjalanan hidupnya, Adjie memegang satu prinsip, yakni agar ia bisa bermanfaat bagi orang lain. Sembari mendalami meditasi, ia pernah menjadi finalis wirausaha muda dengan membangun bimbingan belajar sulap dipadukan dengan ilmu pengembangan diri, di antaranya kepemimpinan, melatih kepercayaan diri, dan kemampuan komunikasi.
Sulap adalah hal lain yang pernah digelutinya karena juga mampu mengasah kepekaan terhadap perasaan dan kondisi psikis orang lain. Lewat sulap, ia juga merasa dapat memberi kebahagiaan bagi seseorang walau hanya melalui perjumpaan yang singkat.
Kini, Adjie lebih fokus dengan kesadaran batin dan kesehatan mental lewat meditasi. Sekitar setahun ini, ia mendirikan Santosha sebagai sarana bagi orang yang membutuhkan. Melalui Santosha, ia juga ingin agar orang tidak bergantung kepada sosok, tetapi memang menyelami materi dan menemukan dalam diri masing-masing.
Di masa pandemi ini, Adjie mendapat pembelajaran baru. Ia belajar mengurangi mobilitas. Sebab, nyatanya mobilitas tinggi yang dilakukannya kerap dimanfaatkannya untuk mengalihkan rasa tak nyaman dalam dirinya saja. Selama tujuh bulan ini, hanya dua kali Adjie keluar rumah, yaitu untuk wawancara dan fisioterapi karena problem tulang belakang yang dideritanya sejak sekolah.
Ia juga sengaja membuka sesi yang dinamainya Hening Serentak beberapa waktu lalu sebagai pengingat bahwa kesepian dan rasa terisolasi yang kerap diabaikan di saat pandemi ini dirasakan banyak orang.
”Kita enggak sendiri lho. Dan saya lakukan itu ke orang lain, juga sebenarnya saya lakukan untuk diri sendiri. Karena saat saya membantu orang lain, saya juga sedang membantu diri saya sendiri. Saya hanya terus belajar untuk bermanfaat bagi orang lain,” kata Adjie.