Menangkal Stres dengan Pangan Nabati
Menjadi vegan ternyata juga bisa membantu mengurangi stres dan depresi di masa pandemi.
Gaya hidup yang mengonsumsi hanya pangan nabati kian digandrungi kaum urban. Alasannya bukan sekadar isu kesehatan. Pelakunya menjalani pola makan berbasis nabati juga didorong rasa welas asih pada hewan dan demi merawat Bumi tercinta. Eh, jadi vegan ternyata juga bisa membantu mengurangi stres dan depresi di masa pandemi, lho....
Didiet Maulana (38) menunjukkan makan siangnya yang tersusun rapi dalam boks karton. Nasi hitam bertabur beberapa kedelai rebus berdampingan dengan sambal matah, tumis terung diselingi kacang panjang, ubi ungu, dan putren yang dipanggang.
”Kebetulan, saya lagi ambil paket makanan vegan. Pengin makan ini, jadi pesan. Sebenarnya, di rumah hari ini juga masak terong balado,” kata Didiet, Rabu (30/9/2020).
Perancang busana dengan jenama Ikat Indonesia itu lantas menyiapkan masakan tadi untuk makan malam dengan ditata dalam piring saji.
”Biasanya, kalau makan siang seperti tadi, malamnya lebih ringan,” ucapnya seraya turut memampangkan sayur kacang, sambal, dan perkedel tahu lewat kiriman video. Ia dengan antusias kemudian bercerita asal mula menjalani pola hidupnya.
Didiet mulai membiasakan menyantap makanan nonpeternakan pada 2006-2008. Alasannya simpel saja, ia ingin memaksimalkan asupan nutrisi tumbuhan. ”Saya jadi vegan penuh sejak awal tahun 2020,” katanya.
Emosi menjadi terkendali, stres dan marah pun berkurang. Perspektif Didiet perlahan bergeser dengan kepedulian terhadap ternak yang dipotong sebagai pangan. ”Personal banget. Saya sedih dan mau lebih lembut terhadap kehidupan, termasuk hewan,” katanya.
Terlebih, selama sepuluh tahun terakhir ia memelihara kucing. Tak sekadar peliharaan, Didiet bahkan menganggapnya teman bicara. ”Saya jadi vegan enggak neko-neko. Oke, let’s do this (mari laksanakan). Ada teman ngajak makan, ayo. Nanti pasti ada yang bisa dimakan. Dibawa asyik saja,” katanya.
Secara filosofis, ia berteman, bahkan berdamai dengan tubuhnya. Didiet tak memandang jalan hidupnya menjadi vegan sebagai ketakutan. ”Tubuh saya ajak berpartner memasuki fase baru. Saya enggak craving (tergiur) lagi dengan daging, susu, dan telur,” ujarnya.
Pertimbangan kesehatan menjadi alasan utama bagi Andi Muhyiddin (42), karyawan swasta, setelah menjalani operasi pengangkatan batu empedu pada 2019. Kepedulian terhadap lingkungan juga menjadi pertimbangannya untuk tak mengonsumsi daging.
Memperbanyak makan sayur-mayur mampu meningkatkan stamina tubuh. Sakit kepala yang dulu sering ia rasakan, hilang. Diimbangi olahraga, badan lebih segar dengan berat cenderung stabil. ”Selama pandemi, takut imun turun, tetapi saya jadi percaya diri karena makanan dijaga dan olahraga rutin,” kata Dio, sapaan akrabnya.
Yusdina Fibriyanti, pemilik restoran Simply Raw dan Yus Vegan Foods, dulu sangat suka makanan cepat saji, tetapi kini malah jadi juru masak raw vegan (sayuran mentah) tersertifikasi. Sebelumnya, hingga nyaris memasuki usia kepala empat, makanan yang disantapnya sehat atau memicu penyakit, ia tak peduli.
Jika makanan itu lezat, ia sikat. Kesadaran Yusdina terketuk saat harus memeriksakan kesehatan hingga ke Singapura. ”Dokter menganjurkan saya dioperasi. Saya pikir-pikir, bisa enggak solusinya tanpa operasi. Akhirnya, saya coba dengan makanan,” ujarnya.
Soda, produk pabrik, dan makanan cepat saji ditinggalkan. Ia melewati satu tahun dengan disiplin. Yusdina kembali mengecek kesehatannya. ”Semua bersih. Jadi, pepatah you are what you eat (kamu adalah yang kamu makan) itu benar sekali,” ujarnya.
Nutrisi memasuki tubuh secara penuh lewat sayuran mentah yang bisa merekayasa balik kesehatan. Apalagi, jika kandungan antioksidan dalam makanan itu tinggi. ”Badan lebih sehat. Imunitas naik. Banyak penyakit bisa dicegah dengan diet raw vegan,” katanya.
Kurangi depresi
Penjelasan Yusdina dapat diletakkan dalam bingkai kontekstual. Sesuai tulisan berjudul ”Foods That Battle Stress During the Coronavirus Pandemic” yang dimuat Wall Street Journal pada 27 Juli 2020, disebutkan sebagian sayuran bisa mengurangi depresi di masa merebaknya Covid-19.
Selama lebih dari sepuluh tahun, penelitian menunjukkan bahwa diet menyehatkan, seperti dengan buah, sayuran, dan biji-bijian, membantu melawan depresi. Beri, kacang-kacangan, dan minyak zaitun juga dapat membantu mengatur emosi. Kecemasan, contohnya, menyebabkan hormon kortisol meningkat.
Direktur Klinik Psikiatris Nutrisi dan Gaya Hidup Rumah Sakit Umum Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, Uma Naidoo mengungkapkan, makanan bisa membantu menurunkan kortisol. Ia merekomendasikan kunyit yang mengandung kurkumin untuk meningkatkan kualitas ekosistem mikroba dalam usus.
Serotonin dan dopamin selanjutnya meningkat. Saat depresi pun, level serotonin menjadi rendah. Biji-bijian, seperti chia, kelui, atau rami, yang kaya asam lemak omega-3, membantu membangun membran sel dalam otak. Anti inflamasi penting karena peradangan saraf, termasuk elemen depresi.
Dari aspek lingkungan, artikel dalam The New York Times berjudul ”The Meat Business, a Big Contributor to Climate Change, Faces Major Tests” pada April 2020 mengutip studi ilmiah yang menyebut industri peternakan menyumbang seperlima efek gas rumah kaca dunia. Tak heran, aktor Hollywood, Joaquin Phoenix, saat menerima Piala Oscar pada Februari lalu menyisipkan kampanye cukup emosional dalam pidatonya, mengajak warga dunia untuk mengurangi konsumsi daging hewan, telur, dan produk susu serta turunannya.
Vegan Indonesia
Populasi pelaku pangan berbasis nabati terus tumbuh. Saat ini diperkirakan sekitar 8 persen dari populasi dunia adalah vegan dan vegetarian (petpedia.co). Di Indonesia, jika hanya merujuk jumlah anggota dari komunitas vegan/vegetarian, tercatat sekitar 200.000 orang. Tahun 1998, saat komunitas dimulai, hanya 5.000 anggota.
President of World Vegan Organisation and Vegan Society of Indonesia Dr Susianto Tseng menjelaskan, alasan utama orang Indonesia menjadi vegan atau vegetarian masih kesehatan. Sementara, di negara maju, motivasi utamanya kini adalah kesejahteraan hewan dan isu lingkungan. Sebagai informasi, vegetarian masih mengonsumsi telur dan atau susu. Sementara, vegan hanya mengonsumsi pangan nabati.
Mengacu laporan Livestock’s Long Shadow yang dirilis Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), 2006, industri peternakan menyumbang 18 persen terhadap pemanasan global atau lebih tinggi daripada transportasi sebesar 13 persen.
Tseng mengungkapkan, di masa pandemi, imunitas dibutuhkan untuk menangkal penyakit, termasuk Covid-19. Konsumsi nabati dianjurkan karena sangat kaya antioksidan yang juga berperan melawan stres. Vegan umumnya memiliki imunitas tinggi. ”Mereka punya antibodi lebih tinggi daripada nonvegan,” katanya.
Sayur, buah, umbi, dan kacang bisa meningkatkan imunitas karena fitokimia yang tinggi. ”Ini yang membuat makanan nabati lebih mampu merawat imunitas. Penting untuk menghadang Covid-19,” katanya.