DPR Soroti Pendanaan Dalam Draf Perpres Perbantuan TNI
›
DPR Soroti Pendanaan Dalam...
Iklan
DPR Soroti Pendanaan Dalam Draf Perpres Perbantuan TNI
DPR telah melakukan rapat internal terkait Rancangan Peraturan Presiden tentang Perbantuan Tugas TNI dalam Penanganan Terorisme pada Senin (5/10/2020). Selain soal pendanaan, juga soal perbantuan TNI ikut serta.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan rapat internal terkait Rancangan Peraturan Presiden tentang Perbantuan Tugas TNI dalam Penanganan Terorisme pada Senin (5/10/2020) secara tertutup. Salah satu yang dibahas dalam rapat tersebut, yakni terkait pendanaan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat, Rizki Aulia Natakusumah, mengatakan, Komisi I telah melakukan rapat internal untuk membahas draf perpres tersebut. “Yang menjadi catatan Komisi I terkait dengan pendanaan karena pada salah satu pasal menyebutkan bahwa APBD ikut disertakan dalam pendanaan penanggulangan terorisme yang melibatkan TNI ini,” kata Rizki ketika dihubungi di Jakarta.
DPR memandang, tugas di daerah sudah terlalu banyak, apalagi ada refocusing anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19. Komisi I memandang, APBD difokuskan pada pembangunan masyarakat. Karena itu, idealnya pendanaan pelibatan TNI dalam penanggulanan terorisme tersebut berasal dari APBN. Meskipun demikian, pemerintah daerah tetap memiliki peranan ketika terjadi tindakan yang bisa memecah persatuan atau mengancam kedaulatan negara.
Selain itu, DPR juga memberikan masukan agar pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini dilakukan secara bijaksana. Sebab, Komisi I ingin mejaga citra dari TNI. Mereka berharap jangan sampai ada kesewenang-wenangan.
“Ini kan operasi militer selain perang. Tentu di satu sisi kami memahami pentingnya untuk mempercepat proses pelibatan TNI dalam satu tindakan. Namun, tentu ini harus dilakukan sehati-hati mungkin,” kata Rizki.
“Ini kan operasi militer selain perang. Tentu di satu sisi kami memahami pentingnya untuk mempercepat proses pelibatan TNI dalam satu tindakan. Namun, tentu ini harus dilakukan sehati-hati mungkin”
Ia mengungkapkan, peranan TNI dibutuhkan untuk mempercepat penanganan terorisme. Karena itu, DPR memberikan fleksibilitas kepada pemerintah dalam menggunakan instrumen TNI. Namun, di sisi lain DPR juga mendorong asas akuntabilitas dari kewenangan yang ada di perpres tersebut dijunjung.
Pendekatan yang dilakukan TNI harus secara humanis dan tidak bisa dilakukan dengan cara yang semena-mena serta menghormati hak asasi manusia. Selain itu, terkait dengan kewenangan perlu juga dipikirkan agar tidak terjadi tumpang tindih antara kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), dan TNI.
Rizki berharap, DPR bisa diikutsertakan dalam pembahasan perpres ini. Sebab, sejauh ini pemerintah melakukan pembahsan melalui pimpinan DPR. Ia juga berharap, perpres tersebut tidak keluar dari UU TNI yang sudah ada, sehingga UU TNI menjadi acuan utama dalam pelaksanaannya nanti. Saat ini, DPR masih menunggu jawaban dari pemerintah terkait catatan yang mereka berikan.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, berharap agar ada perbaikan dalam draft perpres tersebut sesuai dengan UU Terorisme yang pendekatannya dengan menggunakan sistem peradilan pidana, sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan dan mempertegas peran TNI sesuai dengan UU TNI.
Selain itu, ia berharap skala ancaman dan bagaimana keterlibatan TNI serta pertanggungjawabannya diperjelas. Hal tersebut dibutuhkan agar sifat ad hoc dan karakter UU Terorisme sebagai mekanisme sistem peradilan pidana tetap bisa digunakan.
Tak terpusat
“Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan ketentuan anggaran TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan) sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI”
Terkait dengan penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN, Koalisi Masyarakat Sipil yang di antaranya terdiri dari Kontras, Imparsial, Elsam, serta Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) melihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 rancangan prepres tersebut bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI.
“Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan ketentuan anggaran TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan) sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI,” kata Sekretaris Jenderal PBHI Julius Ibrani.
Ia mengungkapkan, pendanaan di luar APBN memiliki problem akuntabilitas, potensial terjadi penyimpangan, dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah sarat dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing-masing. Hal ini juga berpotensi menabrak pembagian kewenangan absolut pusat dan daerah yang telah ditegaskan di dalam Pasal 10 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.