Efisiensi dan debirokratisasi tidak sekadar kenyamanan berbisnis, tapi juga harus memenuhi aspek kesejahteraan pekerja.
Oleh
Enny Sri Hartati -- Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
·4 menit baca
Rilis Badan Pusat Statistik menyebutkan, September 2020 kembali terjadi deflasi 0,05 persen. Dengan demikian, selama tiga bulan berturut-turut, Indeks Harga Konsumen atau IHK turun secara persisten. Penurunan IHK di tengah pandemi mencerminkan tingkat konsumsi atau daya beli masyarakat yang anjlok. Tidak mungkin disebabkan pasokan melimpah, karena pasokan justru terganggu pandemi Covid-19.
Tanpa harus menunggu rilis resmi BPS pada 5 November 2020, perekonomian Indonesia sudah hampir pasti memasuki resesi pada triwulan III-2020. Apalagi kontribusi deflasi terutama disumbang kelompok makanan, minuman, dan tembakau serta sektor transportasi. Padahal, dua sektor tersebut menjadi cermin utama aktivitas ekonomi riil masyarakat. Sektor transportasi menjadi indikator utama pemulihan pergerakan ekonomi. Sementara, harga pangan yang turun bisa mengindikasikan dua hal sekaligus, yakni penurunan permintaan konsumsi semakin mengkhawatirkan karena menyentuh kebutuhan pokok serta harga pangan yang turun menekan pendapatan sisi produsen.
Pendek kata, sektor konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sekitar 56-58 persen dalam pertumbuhan ekonomi jelas belum membaik atau masih tumbuh negatif. Kondisi ini diperparah penurunan konsumsi rumah tangga yang tidak hanya disebabkan pendapatan atau daya beli masyarakat yang merosot. Apalagi, 20 persen kelompok masyarakat dengan pendapatan teratas semakin menahan konsumsi. Hal ini terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan yang 11,64 persen.
Di sisi lain, upaya mendorong pertumbuhan investasi melalui berbagai injeksi likuiditas belum kunjung menggerakkan sektor riil. Misalnya, penempatan dana Kementerian Keuangan pada Bank-bank BUMN sebesar Rp 47,5 triliun dan pada tujuh Bank Pembangunan Daerah (BPD) Rp 11,5 triliun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 tahun 2020 tentang Restrukturisasi Kredit Perbankan yang mencapai Rp 884,46 triliun. Bahkan, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan stimulus moneter melalui injeksi likuiditas Rp 662,1 triliun.
Namun, pertumbuhan kredit pada Agustus 2020 terkontraksi 1,69 persen sejak awal tahun. Kredit modal kerja terkontraksi paling dalam, yakni 2,86 persen, kredit konsumsi minus 1,89 persen, dan kredit investasi masih tumbuh 0,84 persen. Kendati pada Agustus 2020 kredit tumbuh 1,04 persen secara tahunan, namun dibandingkan dengan Juli 2020 masih minus 0,26 persen.
Pemerintah seolah “frustasi” dengan berbagai terobosan program guna menghalau resesi. Perluasan dana perlindungan sosial ternyata tidak mampu menahan penurunan daya beli masyarakat. Penambahan dana Pemulihan Ekonomi Nasional menjadi Rp 695,2 triliun juga tetap majal.
Namun, alih-alih mengevaluasi ketidakefektifan berbagai program tersebut, pemerintah justru menemukan justifikasi baru dengan dalih mempercepat pemulihan ekonomi. Dalam rapat paripurna DPR, Senin (5/10/2020), Rancangan Undang-undang Cipta Kerja disepakati untuk disahkan. RUU Cipta Kerja diyakini sebagai upaya “curi start” Indonesia untuk menyiapkan berbagai daya tarik investasi pasca pandemi, terutama menampung sejumlah perusahaan yang berencana merelokasi pabrik keluar dari China. Sebab, pemerintah akan memberi kemudahan investasi melalui penyederhanaan perizinan dengan memangkas prosedur dan proses perizinan usaha yang berbelit. Melalui RUU sapu jagat ini, berbagai aturan yang tumpang tindih, tidak efisien, dan saling bertentangan akan dihapus. Ada 79 UU dengan 1.244 pasal yang akan digantikan satu UU omnibus law Cipta Kerja yang dirampingkan ke dalam 15 bab dan 174 pasal.
Sekilas, logika tersebut menemukan rasionalitas, akan ada upaya deregulasi dan debirokrasi besar-besaran secara cepat dan instan. Jika tujuan RUU tersebut semulia itu, niscaya seluruh elemen masyarakat akan mendukung penuh. Pemerintah tidak perlu “sembunyi-sembunyi” dalam membahas detail isi UU, bahkan akan seluas-luasnya mengakomodasi aspirasi seluruh pemangku kepentingan.
Jika tujuan RUU tersebut semulia itu, niscaya seluruh elemen masyarakat akan mendukung penuh.
Namun, RUU tersebut justru memancing polemik dan resistensi berbagai pihak. Pemicunya tidak mungkin disederhanakan hanya mengenai persoalan komunikasi publik. Sejumlah pasal memang berpotensi merugikan kepentingan negara. Filosofi kemudahan berinvestasi terutama untuk kepentingan nasional.
Pemberian kewenangan yang terlalu besar pada Lembaga Pengelola Investasi harus diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Setidaknya, kewenangan tersebut harus dipagari dengan audit oleh sesama lembaga tinggi negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bukan hanya akuntan publik.
Penentuan perizinan investasi pada sektor-sektor strategis berisiko moral hazard. Kemudahan investasi juga tidak boleh menafikan komitmen perlindungan ekosistem lingkungan. Adapun kompleksitas persoalan alih fungsi lahan tidak mungkin langsung diatur secara sederhana dan instan dalam satu aturan yang seragam.
Sesuai judulnya, RUU Cipta Kerja mestinya disambut suka cita seluruh kelompok pekerja. Anehnya, resistensi terbesar yang menggelinding ke ruang publik justru dari kluster ketenagakerjaan. Asosiasi perwakilan pekerja/buruh menilai RUU ini merugikan hak-hak pekerja dan posisi tawar buruh terhadap pengusaha semakin rendah. Sementara, pemerintah mengklaim justru telah menambah jaminan sosial pekerja melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kematian (JKM).
Persoalan ketenagakerjaan tidak mungkin diselesaikan dengan sekadar berbalas pantun. Harus ada rumusan yang pasti perihal jaminan investasi sektor padat karya. Efisiensi dan debirokratisasi tidak sekadar kenyamanan berbisnis, tapi juga harus memenuhi aspek kesejahteraan pekerja.
Efisiensi dan debirokratisasi tidak sekadar kenyamanan berbisnis, tapi juga harus memenuhi aspek kesejahteraan pekerja.
Apa pun alasannya, satu hal yang pasti, upaya pemulihan ekonomi tidak akan terjadi jika belum berhasil menyelesaikan pandemi Covid-19. Artinya, dalam jangka pendek, untuk segera menyelesaikan pandemi dan keluar dari jurang resesi ekonomi, keterpaduan dan dukungan masyarakat adalah hal paling penting. Untuk itu, modal utama yang dibutuhkan adalah kepercayaan. Namun, kebijakan-kebijakan pemerintah justru mengurangi kepercayaan masyarakat. Setelah pilkada di tengah pandemi, kini memaksakan RUU Cipta Kerja.