Mari, Kejar ”Sunrise” hingga Puncak Gunung Lokon
Gunung Lokon laksana menara pandang yang menyingkap keindahan lanskap Sulawesi Utara. Pendakian singkat ke puncak akan berbalas pemandangan memesona. Namun, gunung ini menyimpan bahaya yang bisa muncul kapan saja.
Septhianti Mangundap (26) mendadak lupa akan nyeri yang mencengkeram paha dan lututnya ketika menoleh ke belakang. Jingga surya telah merekah di kaki langit sebelah timur Sulawesi Utara. Garis sinarnya seolah berdansa dengan gelap dini hari yang perlahan makin membiru. Lelah pendakian menuju puncak Gunung Lokon terbayar lunas.
Keberhasilan Septhi, guru TK di Manado, mencapai puncak 1.580 meter di atas permukaan laut (mdpl) di utara Kota Tomohon itu terasa makin indah ketika fajar menyingsing, Kamis (20/8/2020), tepat pada 05.43 Wita. Dari balik gumpalan awan yang bersanding dengan Gunung Klabat (1.995 mdpl) jauh di timur sana, sang bintang utama muncul seperti bola emas bercahaya.
Kemilaunya menyeruak di sela kabut yang menyelimuti hamparan bukit yang lebih dekat. Puncak Gunung Empung (1.340 mdpl) yang menyanding puncak Gunung Lokon, terpaut 3 kilometer, pun terlihat makin jelas. Tanah vulkanis Kawah Tompaluan (1.140 mdpl) di lembah yang memisahkan dua puncak itu tampak keemasan pula memantulkan sinar sang surya.
Lampu Kota Tomohon di kaki gunung Lokon yang tadinya berkelip dalam gelap kini dikalahkan terangnya pagi. Puncak Gunung Lokon pun menjelma menara pandang untuk menyingkap keindahan bentang alam Sulut.
Jika di timur tampak Gunung Klabat, pandangan ke utara akan memperlihatkan Pulau Manado tua yang berbentuk gunung (655 mdpl) di tengah Teluk Manado. Pulau Bunaken, surga wisata bahari Sulut, juga tampak di sebelahnya. Di arah tenggara Puncak Gunung Soputan (1.784 mdpl) pun berdiri megah dengan latar perairan timur Sulawesi Utara.
Tak butuh lama bagi Septhi, dan dua kawannya, Philia Turnip (26) yang juga guru TK dan Andi Trimulfian (27), seorang calon polisi hutan, untuk segera menangkap momen nyata yang terkesan surealis itu dengan kamera ponsel. Tiga pemburu sunrise (matahari terbit) itu telah berhasil melalui pendakian terjal meski tak tidur semalaman.
Ini pertama kali Septhi dan Andi mencapai puncak gunung, sedangkan Philia berpengalaman mendaki Gunung Soputan di Minahasa Tenggara. Menurut dia, Gunung Lokon di Tomohon, kota yang terletak 900 mdpl, termasuk mudah didaki. Jarak gunung itu juga relatif dekat dengan Manado, hanya sekitar 45 menit perjalanan dengan sepeda motor.
”Mendaki Lokon hanya butuh waktu sekitar dua jam, tidak harus menginap di perjalanan menuju puncak. Cocok untuk pemula dan untuk wisata singkat,” kata Philia.
Karena itu, Septhi dan Andi yang pemula pun tak keberatan. Pendakian kali ini juga bukan sekadar mendaki, tetapi lebih untuk mengatasi kebosanan yang mendera selama enam bulan terakhir karena pembatasan aktivitas sosial akibat pagebluk Covid-19.
Setelah sekitar dua jam berfoto, makan, menikmati hangatnya mentari pagi, ketiganya pun turun. Semakin terang dan panas, jalur pendakian juga semakin ramai diisi orang-orang yang ingin melepas penat akibat pandemi.
Keunikan
Gunung api aktif berbentuk kerucut (stratovolcano) itu tampak unik karena punggung dan puncak yang hijau seolah subur oleh beragam tumbuhan. Alih-alih berbentuk kepundan, puncak gunung ini berupa kubah lava yang padat dan datar.
Di lembah yang diapit dua puncak tersebut, menganga Kawah Tompaluan yang senantiasa mengepulkan asap putih. Kawah ini termasyhur di kalangan pemuda pencinta aktivitas di alam terbuka karena sering muncul menjadi latar foto para pendaki Lokon. Keunikan Lokon pun mengundang setidaknya ratusan pendaki setiap hari.
Menurut Kepala Pos Pengamatan Gunung Lokon Farid Ruskanda, dulu Gunung Lokon pernah memuntahkan lahar. Namun, letusan berulang kali selama ratusan tahun menyebabkan sumbatan yang kokoh pada lubang magma di puncaknya. Aktivitas pun berpindah ke Gunung Empung, antara tahun 1300 dan 1400.
Namun, pada 1829, aktivitas gunung api kembali berpindah ke Kawah Tompaluan. ”Mungkin sudah terjadi pemadatan di dua kawah Gunung Empung. Akhirnya, material vulkanis menemukan zona yang lemah di Kawah Tompaluan. Pada letusan 2014 pun, material letusan keluar 200 meter dari kawah, sebelum kembali lagi ke kawah pada 2015,” katanya.
Baca juga :Puncak Magis Tomohon
Mudah dan gratis
Pendakian Septhi, Philia, dan Andi nyaris batal ketika David Mantiri (30), teman mereka, datang ke titik kumpul pada tengah malam tanpa membawa tas berisi logistik. Sebagai satu-satunya orang dalam kelompok itu yang pernah mendaki Gunung Lokon, sedianya ia akan menjadi pemandu pendakian. Namun, David justru membatalkan keikutsertaannya pada menit-menit terakhir sebelum berangkat.
Keraguan sempat merasuk. Namun, keinginan untuk mendaki gunung telanjur kuat. Alhasil, tiga orang yang tersisa itu tetap berangkat, memacu sepeda motor menembus dinginnya malam menuju gerbang pendakian Gunung Lokon di area tambang pasir di Kelurahan Kakaskasen I, Tomohon Utara, sekitar 30 kilometer di selatan Manado.
Tak ada pos pendakian, tak ada loket retribusi, tak ada pula petugas yang berjaga. Mendaki Gunung Lokon, cagar alam berusia 100 tahun dengan luas 700 hektar itu gratis.
Satu-satunya patokan untuk mencapai puncak adalah mengikuti alur sebuah sungai kering bernama Pasahapen dari hilirnya di kaki gunung menuju hulu di punggung gunung. Niscaya tidak akan tersesat meski tak pernah mendaki Gunung Lokon sebelumnya. Pendaki dapat melintasi jalur ini atau menggunakan jalan setapak di dalam hutan yang juga berujung ke dekat hulu sungai.
Farid Ruskanda mengatakan, sungai kering itu merupakan jalur aliran lahar, kemungkinan dari Kawah Tompaluan. Seolah semen yang mengering, carian magma yang mengalir membeku lalu menjadi bentangan batu sekaligus dasar sungai kering itu. ”Belum diketahui apakah lahar itu berasal dari Lokon atau dari Tompaluan,” katanya.
Berbekal senter dan peta kawasan konservasi berbasis sinyal satelit di ponsel Andi, ketiganya menyusuri jalur batu berundak yang diapit hutan kayu dan tumbuhan pakis itu. Otot paha dan lutut ditambah kemampuan tangan untuk memanjat menjadi andalan mereka menaklukkan tangga-tangga alami hasil aktivitas vulkanis itu.
Undakan demi tanjakan mereka taklukkan. Jika batuan tak mungkin dipanjat, mereka menggunakan jalan setapak yang telah dirintis di tepian sungai. Peta satelit pun menunjukkan mereka semakin dekat ke puncak hingga mereka sampai ke hulu sungai.
Pijakan mereka berangsur menjadi pasir dan batu-batu kerikil. Saat disorot senter, bebatuan kecil itu tampak berkilau dengan beragam warna, dari hitam legam, abu-abu, merah, dan kuning belerang, melengkapi taburan bintang di langit malam yang cerah.
Baca juga :Puncak Gunung Lokon Jadi Destinasi Favorit Liburan
Menurut Farid, batuan itu bisa jadi adalah batuan andesit yang telah lama terendam dalam air di Kawah Tompaluan sebelum dimuntahkan pada letusan-letusan gunung yang terakhir pada 2015.
”Kalau sudah lama terendam, batuan itu akan berubah warna dari aslinya abu-abu. Batuan jenis ini adalah komponen utama penyusun Gunung Lokon yang dapur magmanya cenderung dangkal,” kata Farid.
Di hadapan tiga sekawan itu, terbentang punggung gunung. Tidak ada lagi jalur setapak. Para pendaki pun harus menaklukkan lereng berpasir dengan batuan-batuan besar. Jika lengah, mereka akan terperosok atau terantuk batuan besar atau bahkan jatuh ke kawah yang menganga. Inilah tahap pendakian yang paling berat dan paling menguras tenaga.
Namun, motivasi mencapai puncak lebih kuat. Puluhan pendaki lainnya juga turut memberi semangat, ”Ayo, sedikit lagi!” Ternyata pendakian Gunung Lokon tidak semudah itu bagi pemula.
”Lututku sudah gemetar,” kata Septhi sambil memegangi lutut kanannya ketika mendaki punggung gunung. Namun, di puncak, lelahnya seakan hilang sekejap. Ia malah lincah berfoto.
Waspada bahaya
Terlepas dari keindahan dan keunikannya, Gunung Lokon menyimpan bahaya yang kapan saja dapat menyerang. Sejak abad ke-21, gunung ini telah meletus beberapa kali pada 2001, 2002, dan 2003. Farid mengatakan, selama 2011 hingga 2015 selalu ada letusan.
”Sejak itu belum ada lagi. Memang sudah terdeteksi adanya migrasi magma, tetapi energinya masih kurang untuk menyebabkan letusan,” kata Farid.
Pada 1991, letusan Gunung Lokon menyebabkan seorang wisatawan asal Swiss meninggal dunia ketika sedang mendaki. Letusan dari Kawah Tompaluan pada 2011, yang mengembuskan awan panas dan debu, sempat mendorong sekitar 10.000 warga Tomohon mengungsi.
Selama 10 tahun terakhir, pendakian Gunung Lokon pun dibiarkan seolah tanpa pengawasan. Farid mengatakan, seharusnya ada instansi pemerintah yang mendata identitas para pendaki.
”Orang jadi bisa keluar masuk seperti biasa. Padahal bahaya kalau tiba-tiba aktivitas gunung meningkat. Kami dari PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) bertugas menginformasikan pemda dan memberi rekomendasi berdasarkan pemantauan aktivitas gunung,” katanya.
Karena itu, yang bisa dilakukan para pendaki Gunung Lokon adalah waspada. Status gunung dapat dipantau di aplikasi Magma Indonesia yang bisa diunduh di ponsel pintar.