Terjebak Kontak Senjata di Aceh
"Ada kontak!". Tidak lama setelah datang kabar terjadinya kontak senjata antara pasukan TNI/Polri dan GAM, saya telah berada di sebuah parit dengan tubuh bergetar, keringat mengalir deras, dan napas tertahan.
Ditugaskan meliput ke daerah yang belum pernah dikunjungi adalah sedikit dari keseruan pekerjaan jurnalis. Di tempat baru tersebut, kita bisa melihat kehidupan keseharian warga setempat. Meski demikian, tugas ke daerah tidak selalu menjanjikan kesenangan. Terkadang, kita berjumpa hal mengejutkan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seperti yang saya alami pada 2003. Pada bulan Agustus tahun itu, redaktur foto Kompas, Kartono Ryadi, menugaskan saya berangkat ke Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (sekarang Provinsi Aceh). Saat itu, saya baru enam bulan diangkat sebagai karyawan tetap di harian Kompas.
Kesempatan liputan ke luar kota itu kemudian menjadi gerbang pembuka perjalanan jurnalistik saya. Sebelumnya, selama setahun menjadi calon wartawan Kompas, sebagian besar kegiatan saya adalah belajar di kelas dilanjutkan magang di redaksi dengan meliput berbagai peristiwa di Jakarta dan sekitarnya.
Baca juga: Kesaksian Jakob Oetama yang Banyak Terlupakan
Saya berangkat ke Aceh untuk melanjutkan tugas fotografer Kompas Agus Susanto dan Danu Kusworo yang lebih dulu berangkat untuk meliput perkembangan kondisi darurat militer di sana. Saat itu, personel TNI ditempatkan untuk menjaga kawasan Aceh dari konflik dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Sebelum berangkat, saya sempat membayangkan ”keseruan” meliput kondisi darurat militer di sana, sekaligus penasaran dengan kehidupan warga setempat di tengah konflik. Perasaan saat itu antusias dan bergelora, tak sadar sebuah pengalaman tak terlupakan tengah menanti: terjebak dalam sebuah perang.
Setibanya di Banda Aceh, Ibu Kota Provinsi NAD, saya langsung menemui Nadjmuddin Oemar, wartawan Kompas di Aceh. Pak NJ, begitu dia dipanggil, sangat memahami latar belakang kondisi darurat militer di Aceh.
Selain itu, dia dikenal punya banyak sumber dari lingkaran GAM yang mungkin akan berguna sebagai kontak saya selama peliputan di Aceh. ”Kamu santai dulu saja, jalan-jalan lihat suasana warga di Aceh,” ucap NJ saat melihat saya semangat bertanya.
Pada pekan pertama, saya larut dalam aktivitas warga di Banda Aceh. Karena masih dalam bulan Agustus, masih banyak diselenggarakan berbagai kegiatan terkait perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI. Warga Banda Aceh terlihat sangat menikmati suasana saat itu.
Umbul-umbul dipasang di sepanjang jalan, bendera merah putih berkibar di mana-mana, anak-anak terlihat gembira membeli pernak-pernik perayaan kemerdekaan.
Baca juga: Liputan Travel Saat Pandemi: antara Antusias dan Waswas
Kegembiraan warga Aceh kembali terlihat saat berlangsung pameran pembangunan untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan Ke-58 RI di Lapangan Blang Padang. Ribuan warga memenuhi lapangan yang berada di pusat Kota Banda Aceh itu untuk menikmati berbagai sajian.
Mereka mengunjungi stan-stan milik pemerintah atau swasta dan menikmati jajanan yang dijual kedai-kedai makanan. Dari situ, tampak betul bahwa warga membutuhkan hiburan untuk sedikit membebaskan emosi mereka karena sekian lama dalam suasana konflik yang belum jelas kapan akan berakhir.
Kota Banda Aceh semakin meriah ketika kemudian digelar pentas hiburan. Sehari sebelum pertunjukan, warga berdesakan di pinggir jalan untuk melihat iring-iringan penyanyi dari Jakarta yang akan tampil memeriahkan HUT Kemerdekaan RI. Rombongan artis dan kru tersebut dielu-elukan oleh warga, seperti kegembiraan warga saat menyambut iring-iringan Piala Adipura.
Melihat bagaimana warga Banda Aceh melewati hari-hari mereka di tengah konflik, saya mulai merancang ulang liputan di sini. Terlalu sayang untuk hanya menyoroti konflik dan mengesampingkan keindahan alam, kearifan lokal, serta semangat hidup mereka.
Pernah suatu hari, saya menyusuri pinggir pantai barat Aceh hingga masuk wilayah Kabupaten Aceh Besar. Selama perjalanan, saya dimanjakan dengan lanskap yang baru kali itu saya lihat sepanjang hidup.
Garis pantai berkelok dan jalan beraspal mulus yang naik-turun di perbukitan pinggir pantai adalah rute terindah yang pernah saya tempuh. Di pinggir jalan sebuah bukit yang tinggi, saya memandang dari kejauhan garis pantai dengan deretan pohon nyiur melambai. Di atasnya, langit biru nan cerah dengan iring-iringan awan putih. Pemandangan yang sebelumnya hanya bisa saya lihat di brosur tempat wisata, saat itu hadir di depan mata.
Baca juga: Ke Borobudur Kukejar David Beckham dan Barack Obama
Selain di Banda Aceh, saya juga meliput keseharian warga di Lhokseumawe, kota terbesar di sisi pantai timur Aceh. Saya berangkat bersama wartawan Kompas, Doty Damayanti, dengan menumpang mobil rental yang dikendarai Syafei. Bang Pi’i, begitu panggilan akrabnya, adalah sopir langganan wartawan-wartawan Kompas yang ditugaskan meliput ke Aceh.
Bang Pi’i yang asal Lhokseumawe ini bukan sekadar mengantarkan kami ke lokasi peliputan, tetapi juga berperan sebagai penerjemah saat kami harus berbincang dengan warga yang lebih senang menggunakan bahasa lokal.
Lebih dari itu, Bang Pi’i semacam ”malaikat penjaga” kami, yang selalu muncul firasatnya jika suasana kurang aman untuk peliputan. Sebagai orang lokal, Bang Pi’i banyak memberikan masukan, terutama soal rute perjalanan menuju lokasi liputan.
Di Lhokseumawe, kami berupaya mencari liputan yang membangkitkan semangat di tengah konflik. Kami datangi sejumlah pelaku usaha kecil yang meski setiap hari selalu waswas dengan kondisi sekitar, tetap berusaha melanjutkan hidup dan mencari nafkah.
Sesekali kami juga singgah di tempat para prajurit TNI berjaga mengamankan wilayah. Kami mengobrol santai, berbagi informasi terbaru tentang Jakarta dan cerita dari Pulau Jawa. Sebagian besar prajurit itu bertugas di Aceh dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga cerita-cerita ringan tersebut membuat hati mereka senang.
Meski kami jarang sekali ikut operasi militer di bukit-bukit yang diduga menjadi tempat persembunyian simpatisan GAM. Namun, kami cukup sering bertemu dengan para personel TNI yang tak pernah absen menjaga rute jalan lintas Aceh.
Karena cukup lama berada di Aceh, liputan saya pun cukup beragam. Selain liputan ekonomi sektor riil, kami juga sempat meliput rilis penggagalan pengiriman ganja ke Jawa di markas Polsek Bireun. Tidak hanya itu, kami juga berkunjung ke Takengon untuk meliput wisata Danau Takengon yang termasyhur.
Foto-foto kehidupan manusia di Aceh yang saya kirimkan menjadi penyeimbang berita tentang suasana kelam di Aceh yang disajikan di halaman politik. Sebagai contoh, foto warga yang tengah panen padi di Bireun dipasang berdampingan dengan berita tentang tewasnya Gubernur GAM wilayah Linge, Aceh Tengah, beserta istri saat kontak senjata dengan TNI.
Pembaca pun dapat menilai sendiri dua sisi kehidupan yang ada di wilayah konflik. Meski ingin lebih menonjolkan sisi kemanusiaan di wilayah konflik, sebuah peristiwa yang saya alami meninggalkan pesan amat kuat bagi kehidupan saya kelak.
Mengendap-endap di parit
Pada suatu siang yang terik, ketika sedang berbincang santai sambil menyeruput kopi bersama rekan-rekan jurnalis Banda Aceh, salah satu dari mereka kemudian menerima telepon. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. ”Ada kontak!” serunya memecah suasana.
Kontak adalah istilah untuk tembak-menembak antara TNI dengan GAM. Peristiwa itu berlangsung di Desa Lamphuk, Kecamatan Ulee Kareng, yang berjarak sekitar 4 kilometer dari Kota Banda Aceh. Kami segera menuju ke lokasi.
Saya membonceng sepeda motor seorang rekan jurnalis yang kemudian mengambil jalur tercepat. Saat sepeda motor melaju di jalanan kampung Lamphuk terdengar rentetan tembakan dari kejauhan. Mau tidak mau, kami harus berhenti.
Baca juga: Hutan, Penawar Jenuh Liputan
Setelah memarkir sepeda motor, kami berjalan menuju sumber suara. Kami berhenti di depan rumah warga. Di kejauhan, saya melihat sebuah panser berhenti di tengah gang.
Sejumlah personel TNI berada di sekitar panser. Senjatanya diarahkan ke sebuah rumah warga. Posisi saya cukup aman, tetapi tidak cukup bagus untuk mendapatkan foto yang ”bersih” karena panser terhalang pepohonan dan kebun. Beberapa teman jurnalis yang sama-sama berangkat dari kedai tadi juga tidak terlihat.
Mereka pasti berada di posisi lain. Saya mematikan telepon seluler agar tidak mengeluarkan bunyi. Sebagai fotografer, posisi saya kurang bagus. Saya harus mendapatkan gambar dengan bingkai yang bersih.
Baca juga: Mengikuti Perburuan Teroris di Palu dan Poso
Saya melihat, jika saya pindah ke seberang rumah tempat saya berlindung saat itu, kemungkinan bisa memperoleh gambar yang bersih. Namun, saya tidak bisa menyeberang begitu saja karena tidak ada benda yang bisa menjadi pelindung jika tiba-tiba ada tembakan mengarah ke saya.
Saya mencoba mencari rute alternatif. Akhirnya saya memutuskan menyusuri parit yang ada di pinggir jalan untuk menuju lokasi. Namun, saya butuh mengumpulkan keberanian sebelum benar-benar terjun ke parit yang kering itu untuk berjalan mengendap-endap.
Saya berusaha membungkuk serendah mungkin agar tidak ada bagian badan yang terlihat di atas parit. Saat itu suasana hening. Tidak terdengar lagi rentetan tembakan. Meski begitu, tubuh saya bergetar, keringat mengalir deras di wajah, sementara napas tertahan.
Baca juga: ”Saya Jakob Oetama”
Perjalanan melintasi parit yang hanya sejauh 200 meter terasa bagai perjalanan yang amat jauh dan tak berujung. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saya berpikir bagaimana kalau tiba-tiba terjadi lagi kontak senjata? Saya hanya bisa berpikir, saya harus tiarap dan berharap Tuhan masih memberi umur untuk saya.
Setibanya di ujung parit, saya menghela napas panjang. Lokasi baru ini cukup bagus untuk memotret. Beberapa personel TNI tampak mencoba mendekati sebuah rumah yang diduga menjadi tempat persembunyian simpatisan GAM.
Saya memotret beberapa prajurit TNI, baik yang berpakaian lengkap maupun yang berpakaian sipil, tengah memegang senjata sambil berlindung di balik panser mengamati keadaan. Foto yang lumayan ”bersih” itu cukup mampu menggambarkan suasana.
Sore hari, saya meninggalkan lokasi karena harus mengirim foto dari hotel. Saat itu, jaringan internet nirkabel belum menjangkau semua wilayah di Banda Aceh. Pengepungan berlangsung hingga malam hari. Informasi yang saya peroleh kemudian, dua anggota GAM tewas dalam kontak senjata tersebut, sedangkan dua personel TNI terluka.
Peristiwa yang saya anggap suasana perang tersebut memberi pelajaran pada saya bahwa jurnalis bisa menjadi profesi yang berbahaya. Saya bersyukur masih diberi hidup meski baru saja meliput peristiwa yang berbahaya.
Di sisi lain, banyak warga Aceh tidak seberuntung saya. Mereka menjadi korban konflik karena perbedaan pandangan politik. Dalam sebuah album foto di pameran pembangunan di Lapangan Blang Padang, saya melihat bagaimana nyawa orang bisa terenggut di mana saja.
Sebuah foto memperlihatkan seorang warga yang tampaknya hendak berangkat kerja, tergeletak di pinggir jalan dengan darah berceceran di sampingnya. Nyawa dan kehidupan manusia seperti tak punya harga lagi.
Baca juga: ”Your Excellency” Tommy Suryopratomo
Warga Aceh berusaha memaknai hidup mereka di tengah konflik yang mendera. Bagi yang masih diberi kesempatan menjalani hari, mereka akan memberikan sisi kemanusiaan yang mereka punya.
Pada suatu sore, saya mendapatkan informasi, jenazah seorang yang terlibat kontak senjata di hutan di kawasan Aceh Besar akan dievakuasi oleh warga setempat. Suasana sudah gelap saat saya menunggu di pinggir sungai. Dari kejauhan, di seberang sungai, terlihat sejumlah warga keluar dari dalam hutan sambil menggotong jenazah.
Mereka terlihat tulus mengusung korban konflik tersebut tanpa memandang dia berasal dari pihak mana. Beberapa hari setelahnya, warga berinisiatif mengadakan ”bersih bukit” untuk mencari barang yang mungkin masih tercecer akibat peristiwa kontak senjata.
Selama satu bulan berada di Aceh meliput suasana darurat militer, saya merasa bak naik roller coaster kehidupan. Ada kebahagiaan yang diselingi kepedihan. Ada keterpurukan yang berganti menjadi semangat hidup.
Saat meninggalkan Aceh, saya berharap dapat berkunjung lagi ke sana dalam kondisi Aceh yang lebih baik. Namun, keinginan itu tidak terwujud. Saya memang bisa kembali ke Aceh, tetapi untuk meliput dampak tsunami yang terjadi pada Desember 2004.
Kondisi warga yang sebelumnya terpuruk akibat konflik, kian terluka lebar akibat terpaan bencana alam tersebut. Air mata saya jatuh di Lambaro, Banda Aceh, saat berdiri di area bekas rumah Nadjmuddin Oemar yang rata dengan tanah disapu tsunami. Sejak peristiwa tersebut, Pak NJ tidak diketahui lagi keberadaannya.