Pembukaan obyek wisata baru di Taman Bumi Ciletuh-Palabuhanratu, Jawa Barat, dengan perambahan hutan dapat mengancam keanekaragaman hayati. Satwa-satwa liar turut menghilang.
Gunung Cupu dan Curug Puncak Manik di kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, Jawa Barat, dulunya kawasan tebing berhutan tempat owa jawa, kera, dan lutung bersarang. Begitu hutan dirambah untuk obyek wisata, satwa-satwa liar ini sirna entah ke mana.
Senin (7/9/2020) sore, batang-batang pohon malaka sepanjang belasan meter terlihat bergulingan di tanah di tebing Gunung Cupu di Desa Tamanjaya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi. Beberapa tunggul pohon besar sudah menjadi arang karena dibakar supaya tak bertunas. Tak dapat dikenali lagi jenisnya.
Nana Supriatna (60) dan rekannya, Usep (50), warga Desa Tamanjaya, sedang menuntaskan pekerjaan mereka hari itu. Setelah selesai menebangi pohon-pohon besar, sekarang mereka tengah membuat jalan. ”Sudah setahun ini kami kerja berdua membersihkan tempat ini, sekarang sudah mudah dilewati orang,” kata Nana.
Jalan itu mengarah pada Curug Puncak Manik, air terjun bersusun di antara bebatuan tua di kawasan Taman Bumi atau Geopark Ciletuh-Palabuhanratu. Puncak Curug Manik merupakan salah satu situs geologi di Ciletuh-Palabuhanratu.
Pembabatan hutan di lahan itu dimulai dengan membuat tempat parkir setahun lalu. Letaknya tepat di pinggir jalan raya Desa Tamanjaya. Karena keuntungan yang menggiurkan, lama-kelamaan, rencana itu berkembang, hingga sekarang areal hutan hampir habis ditebang.
Nana mengatakan, dari memungut parkir selama tiga bulan ini saja, hasilnya sekitar Rp 9 juta. Penghasilan ini diperoleh dengan kondisi kunjungan wisatawan yang terbatas, rata-rata peneliti atau orang yang betul-betul mencari petualangan di alam.
Selanjutnya, mereka berencana mengeraskan jalan dengan semen sepanjang 400 meter. Tujuannya agar mobil dan sepeda motor bisa turun ke tebing sehingga pengunjung hanya perlu berjalan kaki sekitar 100 meter.
Mereka berharap kerja keras itu dapat menarik semakin banyak pengunjung sehingga penghasilan dari parkir pun bertambah. Bahkan, menurut rencana, juga akan ada kios-kios atau pedagang di sana. ”Apalagi, jika ibu-ibu bersepatu hak tinggi bisa datang. Jalan dibuat bagus, bukannya karena tidak pengin uang. Pasti pengin uang, tetapi dengan membuat orang senang dulu. Bukan memaksa,” kata Usep.
Menurut Usep, lahan hutan itu berstatus tanah cadangan Desa Tamanjaya. Lahan itu bisa dikelola warga, tetapi tak boleh dijual.
Dilema
Pengembangan obyek wisata dengan upaya konservasi alam terlihat dilematis di Gunung Cupu-Curug Puncak Manik ini. Lima tahun lalu, Curug Puncak Manik harus ditempuh dengan menembus hutan rimbun di tebing curam. Dibutuhkan waktu berjam-jam dengan susah payah untuk bisa menembusnya. Owa jawa, monyet, lutung, dan elang jawa masih bergelantungan di sana.
Sekarang, hanya terlihat Nana dan Usep yang bersemayam di pondokan di lahan itu. Tak terlihat lagi sisa-sisa kawasan hutan. Sepanjang perjalanan, hanya tampak petak-petak tanaman cabai diselingi pohon srikaya di antara batang-batang pohon besar yang bertumbangan.
Tak terlihat seekor pun owa jawa, monyet, ataupun lutung di sana. Usep mengatakan, mereka tak memusuhi satwa-satwa penghuni asli tempat itu. Namun, dengan tidak adanya lagi pepohonan, satwa-satwa itu kehilangan tempat tinggal dan tempat mencari makan. Mereka pun memilih menyingkir ke lokasi lain.
Asep Ganjar (44), anggota Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (Papsi) yang juga tinggal di Desa Tamanjaya, menceritakan, hutan di Gunung Cupu dulu rimbun oleh pepohonan yang dalam bahasa lokal disebut pohon konang, benying, bungur, sempur, sonokeling, pohon malaka, dan raflesia patma. Papsi adalah organisasi masyarakat di Geopark Ciletuh-Palabuhanratu yang masih bersikukuh memprioritaskan konservasi dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.
Asep merupakan salah satu anggota Papsi yang pertama kali mendampingi tim peneliti geologi untuk menembus hutan itu guna mencapai Curug Puncak Manik beberapa tahun lalu. ”Itu buah-buahan dan bunganya makanan owa dan monyet. Mungkin mereka pergi ke tempat lain yang masih lebat,” katanya.
Begitu rimbunnya kawasan itu, warga sekitar menganggap kawasan tersebut menakutkan dan tak berani macam-macam di sana. Bahkan, konon dikabarkan pernah ditemukan sepasang gelang emas antik yang diyakini milik bangsawan di masa lalu di lokasi itu.
Kisah ini membuat kawasan itu semakin dihormati sebagai petilasan orang besar di masa lalu. Warga sekitar juga masih meyakini membunuh owa jawa bisa mendatangkan malapetaka bagi desa mereka. Namun, rasa hormat itu terkikis godaan keuntungan.
Ideal
Tak hanya di Curug Puncak Manik, kondisi yang mirip juga terjadi di lokasi-lokasi lain di sana. Sejak diakui sebagai Taman Bumi oleh UNESCO sekitar 2018, pariwisata semakin menggeliat di kawasan Geopark Ciletuh. Gelora mendatangkan wisatawan ini terkadang kurang sejalan dengan prinsip pelestarian alam.
Ketua Harian Badan Pengelola Geopark Ciletuh-Palabuhanratu Dody Somantri mengatakan, dalam pengembangan Geopark Ciletuh, prinsip yang dipegang adalah ”memuliakan bumi, menyejahterakan masyarakat”. Definisi geopark dimulai dari keragaman batuan, biologi, dan budaya. Dalam konteks menyejahterakan warga, sisi wisata memang tak terhindarkan.
”Mungkin memang ujung-ujungnya bisa ke pariwisata, tetapi yang terpenting adalah tiga tadi. Namun, yang menjadi harapan geopark tersendiri sebenarnya ada pemberdayaan masyarakat. Pasti larinya ke wisata,” kata Dody.
Dari 62 situs geologi yang terdata, 12 di antaranya sudah dikembangkan menjadi tempat wisata. Tiga oleh pemerintah, sementara sembilan lainnya oleh masyarakat.
Namun, yang terjadi saat ini adalah masyarakat yang masih mengutamakan wisata massal dan relatif masih sedikit yang sadar akan pentingnya konservasi alam.
Kendalanya, kata Dody, adalah edukasi pada masyarakat. ”Di kita ini masyarakatnya belum sampai pada konsep menjual keindahan alam saja bisa mendatangkan sesuatu. Bahwa sebenarnya mereka enggak perlu kayak tadi, membabat hutan,” katanya.
Ketua Papsi Endang Sutisna mengatakan, tanpa pengaturan, wisata massal yang sekarang terjadi justru bisa mematikan wisata itu sendiri di masa mendatang.
”Kalau alam semakin rusak, di sini nanti sudah panas, sudah sedikit pohonnya semua ditebangi dan disemen, siapa mau datang lagi,” katanya.
Menurut Endang, idealnya pengembangan geopark adalah dengan menggalakkan promosi wisata minat khusus, yaitu menerapkan tarif tinggi bagi pengunjung. Konsep ini memprioritaskan konservasi alam, tetapi tetap mendatangkan pemasukan bagi warga.
Saat ini, di beberapa lokasi, keindahan alam Geopark Ciletuh-Palabuhanratu begitu mudah dicapai. Namun, tak lagi terasa keagungan alam dalam proses menuju ke sana. Kesulitan air kian dirasakan warga, satwa kian tersingkir, demi swafoto yang kian mudah.