”Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX” dan Upaya Pemimpin Membangun Legitimasi
Problem kepemimpinan dari era abad ke-16 hingga saat ini masih menemui titik yang sama, yaitu bagaimana pemimpin mengukuhkan legitimasinya.
Kekuasaan erat kaitannya dengan kewibawaan. Masalah utama yang selalu terjadi sejak abad ke-16 hingga saat ini adalah upaya pemimpin mengukuhkan letigimasi kedudukannya. Tujuannya untuk tetap berkuasa dan dapat diterima masyarakat luas.
Salah satu cara untuk memahami relasi kewibawaan dan kekuasaan raja di Jawa adalah melalui konsep magis-religius (dewa-raja). Masyarakat Jawa menempatkan aspek kepercayaan dan agama pada kedudukan yang tinggi. Naskah ajaran-ajaran orang Jawa tentang moral dan tata krama menyimpan penjabaran praktik konsep magis-religius, termasuk mengenai kedudukan seorang raja.
Konsep tersebut merupakan salah satu hal yang dikupas dalam buku Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI—XIX ini. Publikasi ini merupakan tesis karya Soemarsaid Martono dalam studinya yang diterbitkan tahun 1968.
Judul aslinya adalah State and Statecraft in Old Java; A Study of the Later Mataram Period, XVI-XIX Century. Penulis meneliti sistem kekuasaan dan pengelolaan negara Mataram II atau Mataram Islam dalam periode empat abad.
Moertono menemukan bahwa legitimasi raja-raja Jawa utamanya bersumber pada aspek magis-religius. Sebuah pengakuan dalam ranah kepercayaan hingga hal mistis yang tidak tersentuh masyarakat yang menjadi fondasi kokohnya kekuasaan.
Konsep tersebut juga menguraikan relasi antara orang yang memerintah dan yang diperintah, dalam hal ini hubungan antara raja dan rakyatnya. Dengan patuh dan setia mengikuti raja, masyarakat berharap akan hidup tenteram. Namun di sisi lain, masyarakat juga memiliki harapan adanya kekuasaan akan memberi perlindungan kepada rakyatnya.
Buku ini juga menguraikan bagaimana kekuasaan dan kewibawaan seorang raja diterapkan secara teknis. Dipaparkan tentang manajemen kepemimpinan raja dalam mengelola pemerintahan (birokrasi) serta pembiayaan kerajaan (ekonomi).
Penulis mendalami bagaimana cara kekuasaan diterapkan pada soal-soal yang teknis dan apa saja perlengkapan yang dimiliki raja untuk mencapai tujuannya. Perlengkapan yang dimaksudkan adalah birokrasi kerajaan dan kekayaan untuk membiayai roda kerajaan.
Sejarawan Peter Carey dalam kata pengantar di buku ini menyebutkan, kedudukan raja adalah sentral dari tatanan masyarakat. Dengan demikian, seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja. Kekuatan apa pun yang mungkin dimiliki oleh para birokrat dan para pembesarnya diperolah dari atas. Dalam konteks ini, segala upaya negara untuk memperoleh kekayaan juga bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan raja.
Di sisi lain, dalam tataran aspek teknis-ekonomis, sikap perhatian raja melalui kegiatan berderma dapat menarik simpati rakyat sehingga akan menumbuhkan rasa cinta raja. Cara lainnya adalah dengan membagi kekuasannya kepada pembantu-pembantu raja.
Para raja kecil diperintah untuk mengelola wilayah di luar Keraton. Pada masa Kerajaan Mataram, wilayah kekuasaan dibagi dalam empat area, yakni Keraton, Nagara, Nagara Agung, dan Mancanegara. Sultan berkedudukan di Keraton dan dibantu bawahannya yang disumpah setia untuk menjalankan pemerintahan, perpajakan, hingga ekonomi.
Kestabilan negara
Lebih lanjut diungkapkan, faktor lain yang penting dalam menentukan kehidupan negara adalah rakyat. Mereka merupakan kekuatan yang diperlukan untuk menghasilkan kekayaan maupun untuk mempertahankan kerajaan. Merekalah sumber kekuatan fisik dalam masa damai dan masa perang.
Dengan memiliki rakyat yang banyak, tenaganya dapat digunakan juga untuk menopang kerajaan, seperti membuka jalan, mengangkut barang-barang, membantu para bangsawan, hingga berperang.
Namun jika ternyata kekuasaan mutlak dari raja dilakukan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang, rakyat memiliki alat penangkal yang ampuh, yaitu pemberontakan. Pemberontakan terjadi hanyalah apabila pemerintahan raja menjadi begitu kejam dan tidak acuh sehingga rakyat tidak bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Tetapi dalam kasus yang terjadi, pemberontakan dan gangguan tersebut lebih dikarenakan perang, percecokan, dan pertentangan antardinasti untuk memperoleh kekuasaan. Salah satu kisah yang terkenal adalah pemberontakan Trunojoyo dari Madura yang terjadi pada 1674. Kejadian ini merepotkan Amangkurat I yang memerintah Mataram pada 1646-1677.
Seri Perang Suksesi I, II, dan III juga menggerogoti kestabilan Mataram. Perang Suksesi I pada tahun 1703 terjadi akibat seteru antara Amangkurat III dan saudaranya, yakni Pangeran Puger.
Kemenangan Amangkurat I melawan Trunojoyo dan kekalahan Amangkurat III melawan Pangeran Puger sama-sama disokong oleh Belanda atau VOC. Di sini tampak bahwa peran pihak luar negeri turut serta memengaruhi kestabilan pemerintahan Mataram.
Hal ini menjadi salah satu temuan penting dalam tesis Moertono. Ia menuliskan dalam hal kekuasaan Mataram ada dua hal yang jadi pengaruh, yakni agama Islam dan Belanda dalam hal ini VOC. Disebutkan juga bahwa ”VOC mula-mula berdampingan dengan Mataram, namun berangsur mengunggulinya”.
VOC sejengkal demi sejengkal menguasai tanah Mataram dalam bentuk imbalan karena telah membantu menyelesaikan konflik internal kerajaan. Dalam perang pemberontakan Trunojoyo dan Pangeran Pugeran, pihak VOC selalu mendapat imbalan atas campur tangannya dalam bantuan militer.
Legitimasi goyah
Studi ini mencoba mengungkap teori dan praktik kedudukan raja. Karena menyangkut kekuasaan, pemikiran yang diberikan tidak bisa dilepaskan dari perspektif politik. Salah satu yang mendapat perhatian utama adalah pengaruh Belanda di kerajaan Jawa. Dalam konteks ini tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik VOC.
Moertono menemukan campur tangan VOC dalam urusan internal kerajaan Mataram yang semakin luas mulai merongrong kekuasaan raja, termasuk penentuan pemimpin kerajaan. VOC dan Pemerintah Belanda juga memiliki andil dalam memilih kedudukan raja.
Tersanderanya kekuasaan akibat utang budi dengan Belanda, bukan hanya membuat wilayah Mataram semakin mengecil, melainkan juga membatasi gerak politik raja untuk memperluas wilayah. Padahal, ekspansi wilayah tersebut merupakan strategi politik para raja pada masa-masa itu. Dengan memiliki wilayah luas dan rakyat banyak, kemakmuran kerajaan dapat lebih banyak didapat.
Sesudah Perjanjian Giyanti pada 1755, Mataram kemudian terpecah menjadi empat kerajaan. Kekuasaan VOC membuat perjanjian-perjanjian yang membuat kerajaan-kerajaan tersebut semakin terikat, seperti layaknya sebuah provinsi di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Dampak lain bagi perekonomian kerajaan, berkurangnya wilayah juga berakibat pada penyusutan pendapatan raja. Tidak heran, jika pada masa-masa VOC mulai memengaruhi, kedudukan kerajaan Mataram banyak mengalami kemunduran.
Mengurai ideologi
Moertono berusaha mengurai sistem pemerintahan Kerajaan Mataram dari segi nilai dan ideologi yang mendasari kognisi. Hingga pada sistem perpajakan yang diterapkan di seluruh tanah Mataram yang dikelola oleh orang-orang kepercayaan raja.
Dalam bukunya, ia membagi menjadi lima bab. Bagian pertama berisi pendahuluan yang dilanjutkan dengan pembahasan masalah kewenangan Bab ketiga menguraikan masalah tata pemerintahan yang menganalisis motif-motif pengaturan negara dan kedudukan raja. Dua bagian terakhir membahas tentang sistem perpajakan dan pengerahan.
Buku ini berfokus pada sistem monarki era Mataram Islam. Jika para pembaca berharap memahami seluk-beluk pemerintahan Mataram, paripurnalah fungsi buku ini. Di sisi lain buku ini memiliki kelebihan dalam pemilihan sumber primer dari naskah-naskah Jawa kuno. Kepiawaian penulis dalam membaca literatur berbahasa Jawa membuat sumber studi literatur ini sangat kaya.
Sumber penelitian dalam buku ini adalah arsip yang memuat ajaran nilai-nilai Jawa. Ajaran tata krama, norma, dan nilai-nilai sosial menjadi media pengawas untuk menjaga ketertiban negara.
Nilai dan norma tersebut ditekankan sebagai sebuah ajaran luhur hubungan kawula-gusti atau hubungan tuan dengan hamba. Baik pemimpin maupun rakyat sama-sama terikat pada seperangkat sistem sosial yang kemudian dibakukan dalam budaya.
Hubungan kawula-gusti disebut Moertono sebagai relasi ketergantungan. Apabila pemimpin berlaku lalim, akan menyebabkan rakyat menderita. Apabila masyarakat tidak dapat dikondisikan selalu tertib, kedamaian tidak dapat terwujud.
Sumber sejarah Jawa berbahasa Belanda juga digunakan oleh penulis. Ia merujuk hasil temuan sesama peneliti sosial, budaya, dan politik Jawa kuno, yakni HJ de Graaf. Kualitas sumber yang prima menguatkan pendapat bahwa buku ini adalah salah satu buku klasik dalam bidang sejarah Jawa kuno.
Membaca buku ini butuh kesabaran dan kecermatan dalam memahami kata demi kata yang padat informasi serta makna. Baik jika ketika membaca buku ini sembari membuat catatan kecil tentang ”hal apa yang mirip dalam masa Mataram dan masih terjadi hingga kini”. Hal ini perlu dilakukan karena penulis tidak menyuratkan langsung kaitan antara temuannya dan kondisi Indonesia modern. Bisa jadi, kejadian-kejadian saat ini pernah terjadi masa lalu.
Konsep magis-religius dan adat keturunan memiliki pengaruh besar dalam penentuan kekuasaan raja di Jawa. Sementara, kepemimpinan modern saat ini menganut sistem demokrasi rakyat dalam menentukan pemimpin negara/wilayah.
Walau berbeda cara, upaya itu sama-sama dilakukan untuk membangun legitimasi pemimpin di mata rakyatnya. Artinya, problem kepemimpinan dari dulu hingga saat ini masih menemui titik yang sama, yaitu bagaimana pemimpin mengukuhkan legitimasinya.
Melihat perjalanan sejarah Mataram II, legitimasi tersebut juga berhadapan dengan ketidakpuasan yang berujung pemberontakan dan pengaruh politik dari pihak asing. Untuk mempertahankan kedudukan, raja tidak segan memperkuat barisannya lewat bantuan pihak-pihak di luar kerajaan (VOC).
Dengan kekuatan ini, mudah bagi raja dan koalisinya untuk mencapai tujuannya, yaitu tetap mempertahankan kedudukannya. Namun, cara ini secara tidak langsung justru mengurangi wibawa raja itu sendiri karena wilayah kerajaannya makin berkurang dan pengaruh kekuasaan kemudian tersandera oleh koalisinya (Belanda).
Apabila problem utama kekuasaan masih sama dari dulu hingga saat ini, cara-cara pemimpin mempertahankan kedudukan atau mencapai tujuannya juga dapat terulang saat ini. Agar tujuannya mudah dicapai, pemimpin dapat membangun koalisi dengan banyak partai politik. Dengan begitu, segala keputusan mudah dibuat.
Namun, pemikiran magis-religius juga meyakini konsep keselarasan bahwa ketaatan rakyat kepada raja akan berbuah pada perlindungan. Oleh karena itu, orang Jawa tidak akan menganggap negara telah memenuhi kewajiban-kewajibannya apabila tidak mendorong suatu ketentraman hati. Jadi utamanya, kehadiran kekuasaan (pemimpin) harus memberikan rasa tenteram dan kesejahteraan bagi rakyatnya. (LITBANG KOMPAS).
Baca juga : ”Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang” dan Resep Sejarah ala Ong Hok Ham