Seorang Lelaki Lima Puluh Lima Tahun dan Seorang Wanita Sembilan Belas Tahun
Om Aloy tidak menjawab teleponnya. Apa yang terjadi padanya? Mungkinkah dia tidak hanya marah pada teman-teman Jilu, tetapi juga pada Jilu?
”Ini buat kamu, Jilu,” kata Om Aloy sambil menyodorkan lolipop.
”Masak aku dikasih makanan anak kecil, Om?”
”Saya teringat anak saya ketika tadi membeli minuman.”
”Hmm…, kalau begitu terima kasih, Om.”
”Sama-sama. Oh ya, tadi saya hubungi kenapa malah dimatikan dan mengirim pesan singkat?”
”Loudspeaker handphone saya rusak, Om.”
”Kebetulan saya ada handphone di kos. Tidak dipakai. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut saya ke kos,” kata lelaki lima puluh lima tahun itu.
”Oh ya?”
”Iya, kamu bisa memakainya.”
”Hmm…, tapi saya tidak enak, Om.”
”Tidak apa. Santai saja.”
”Benarkah? Waah…, terima kasih, Om. Soalnya saya belum ada uang untuk reparasi. Orang tua saya biasa kirim di tanggal satu. Saya pinjam sampai handphone saya baik ya, Om?”
”Bebas. Ayo, ke kos saya sekarang.”
”Oke. Saya ikuti dari belakang ya, Om. Jangan ngebut-ngebut, nanti saya kehilangan arah,” kata Jilu pada lelaki yang baru seminggu dikenalnya itu.
”Waah…, enak sekali tempat kosnya. Halamannya luas, ya. Tamannya indah, kamar Om juga terlihat seperti bangunan baru. Mahal, ya, Om?”
”Ah tidak. Biasa saja. Sebentar, ya, kamu tunggu dulu di sini. Saya mau pergi ke laundry di depan. Soalnya tokonya dua puluh menit lagi tutup. Ini camilan sambil menunggu.” Om Aloy berkata sambil menyodorkan kue-kue: ada kumis kucing, putri salju, brownis kering, dan nastar.
Tidak lama, Om Aloy kembali membawa dua plastik pakaiannya, ”Enak kalau laundry di sana, benar-benar bersih dan harum. Tapi saya tidak pernah mau menaruh celana dalam di laundry. Saya malu.”
”Kenapa malu, Om? Kan, bayar.”
”Malu deh pokoknya, tidak elok. Bagaimana? Enak kuenya?”
”Enak sekali, Om. Apa lagi yang ini. Manis-asin,” kata Jilu sambil menunjuk kumis kucing. Baru kali ini ia makan kue kering yang begini enak, ”Mahal, ya, Om kue-kuenya?”
”Ah tidak. Saya beli di langganan saya dari Jakarta. Kalau beli di sini takutnya tidak cocok.”
”Dikirim?”
”Iya.”
”Waaah, sampai bela-belain, ya.”
”Mau bagaimana lagi. Makanan, kan, juga turut menentukan suasana hati kita. Eh, sebentar, malah jadi lupa sama handphone-nya.” Dia cepat masuk ke dalam kamar, lalu memeriksa lemarinya, ”Ini,” katanya.
Jilu langung saja membuka kardusnya, ”Waah, lebih bagus dari punya saya.”
”Kalau kamu mau, kamu boleh ambil.”
”Ah, tidak Om. Terima kasih. Saya pinjam saja. Siapa tahu nanti juga Om butuh untuk cadangan.”
”Saya serius. Kamu boleh ambil, kok.”
”Terima kasih banyak Om tawarannya. Tetapi saya janji akan kembalikan kalau punya saya sudah beres. Oh, ya, Om. Sore ini saya ada bertemu teman-teman…”
”Teman-teman yang sewaktu kita bertemu pertama kali itu?”
”Iya. Om mau ikut?”
”Boleh. Senang saya bicara pada teman-temanmu. Sebentar saya mandi dulu.” Om Aloy lalu masuk ke dalam. Jilu coba membuka handphone itu, memasukkan kartu SIM-nya dan terakhir men-charge-nya. Ketika dihidupkan langsung terlihat foto Om Aloy beserta dua anak kecil. Di bawah foto itu ada tulisan: I love you Cika and Mia.
Warung itu terletak tepat di samping kampus Jilu. Ketika ada rapat organisasi atau ketika mereka hanya ingin kumpul saja, warung itu sering dijadikan tempat. Teman-temannya yang lelaki memandang ke arah Jilu dan Om Aloy ketika mereka baru sampai.
”Halo Om,” kata mereka hampir bersamaan.
”Halo,” kata Om Aloy antusias.
”Sudah dari tadi?” tanya Jilu.
”Iya, tinggal nungguin kamu saja,” kata Jo, ”Dan Om Aloy juga,” tambahnya.
Mereka ngobrol-ngobrol tentang kampus, lalu di tengah pembicaraan Om Aloy berkata, ”Saya ada punya kebun durian, nanti kalau musim mau saya bawakan?”
”Waah…, mau-mau Om,” kali ini kata Rasta.
”Punya kebun apa lagi Om?” tanya Bibu. Entah kenapa wajah Om Aloy jadi berubah.
Belum ada jawaban untuk Bibu, tiba-tiba Aksa nyeletuk, ”Kalau kita bermusuhan sama Jilu masih boleh makan durian, kan, Om?” dia mengatakan itu dengan wajah nakal, sambil melirik ke arah Jilu.
”Boleh, tentu boleh,” Om Aloy menjawab sekenanya.
Jilu mulai tidak nyaman berada di antara teman-temannya, ia mengambil handphone dari dalam tas. ”Waaah…, Jilu. Handphone baru, ya? Baru rusak kemarin hari ini langsung ganti, betul-betul orang kaya,” Jo kembali berkata.
”Ini Om Aloy yang kasih pinjam,” kata Jilu datar, ia mulai kesal dengan teman-temannya.
Seperti api yang diberi minyak, yang lain semakin gila menyambar, ”Om sudah pacaran, ya, sama Jilu?”
”Jadikan istri kedua aja, Om.”
”Istri siri aja, Om.”
”Heh, kalian ini! Tidak tahu sopan santun,” kata Om Aloy tiba-tiba. Dia yang biasanya ramah dan menawarkan ini-itu pada Jilu dan teman-temannya kali ini terlihat geram. Wajahnya yang semula putih berubah merah, matanya yang sipit melotot. ”Kalian pikir saya ini orang macam apa? Kalian pikir saya ini om-om hidung belang?” Suasana mendadak hening, tidak ada lagi yang berani berkata-kata di antara para pemuda yang belum genap berusia dua puluh tahun itu.
”Kalian ini mesum semua.” Om Aloy bangkit, ”Jilu, saya permisi dulu. Mahasiswa, kok, ngomongnya ngawur seperti ini.” Om Aloy berlalu.
”Om kamu tidak bisa bercanda, ya Jilu?”
”Kalian yang tidak bisa bergaul.” Jilu lalu ikut berlalu.
Jilu merasa sungguh bersalah pada Om Aloy atas ulah teman-temannya, tetapi ia juga tidak enak pergi ke kos lelaki tersebut, maka ia menelepon Om Aloy keesokan harinya.
Baca juga : Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan
Om Aloy tidak menjawab teleponnya. Apa yang terjadi padanya? Mungkinkah dia tidak hanya marah pada teman-teman Jilu, tetapi juga pada Jilu? Apakah Om Aloy berpikir bahwa omongan teman-temannya berdasar dari gosip, di mana Jilu yang menyebarkan gosip itu? Jilu mulai berpikir macam-macam, menyalahkan dirinya sendiri.
Setelah setiap hari selama seminggu mencoba menelepon Om Aloy, akhirnya lelaki itu mau mengangkat telepon.
”Ya,” kata suara di seberang.
”Ini Om Aloy, kan?”
”Iya Jilu..”
”Aduh Om. Maaf ya atas kejadian seminggu lalu.”
”Santai saja. Saya tidak memaafkan, tapi sekarang saya sudah tenang.”
”Om lagi di mana?”
”Lagi mancing, untuk menenangkan diri. He-he-he.”
”Kapan-kapan kita ketemu ya, Om.”
”Hmm, sepertinya kita tidak cocok berteman, deh,” kata Om Aloy.
”Hah? Kenapa Om?”
”Hmm... bagaimana ya. Sebentar, saya lepas life jacket dulu. Panas juga memakai ini.”
”Kenapa memakai life jacket Om? Tidak bisa berenang, ya? He-he-he.”
”Iya. He-he-he.”
”Begini, sepertinya memang usia kita mengharuskan kita berteman dengan yang seumuran.”
”Siapa yang mengharuskan, Om?”
”He-he-he. Ini yang saya suka dari kamu. Kamu suka bertanya. Saya juga belum tahu jawabannya. Tapi suatu hari mungkin saya punya jawabannya. Atau mungkin suatu hari saya benar-benar sadar bahwa saya tidak punya jawabannya, dan kita bisa berteman lagi.”
”Bagaimana dengan handphone ini?”
”Kamu bisa simpan.”
”Tidak. Saya tidak mau, Om. Saya sudah memperbaiki punya saya yang rusak.”
”Kamu bisa titip di kos saya. Seminggu lagi saya lewat kotamu.”
”Tidak bisakah kita bertemu sebentar ketika itu?”
”Maaf, tidak bisa Jilu. Saya hanya lewat.”
Setelah telepon ditutup, entah kenapa embusan angin dari jendela kamar kos Jilu menjadi begitu dingin menusuk. ”Sampai bertemu suatu saat nanti, Om,” katanya sambil memasukkan handphone Om Aloy ke dalam tasnya. Ia ingin segera mengantar barang itu, tak ingin berlama-lama didera rasa sedih.
Gunung Sari-Gang Metro, 18-22 April 2020
***
Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Pernah memimpin Teater Koin di almamaternya. Cerpen-cerpennya terbit di Detik, Cendana News, Baca Petra, Medan Pos, dan Takanta. Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.