Menjaga Jarak, Mencegah Penularan Korona
Meski banyak yang meragukan Covid-19, kenyataannya penyakit itu ada dan bisa fatal. Para ilmuwan membuktikan, jaga jarak bisa menjadi salah satu cara untuk mengurangi jumlah kasus baru.
Tujuh bulan setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi, belum juga ditemukan vaksin maupun obat ampuh untuk mencegah dan mengatasi. Korban terus berjatuhan.
Per 11 Oktober 2020, menurut laman worldometers.info, ada 37.478.334 kasus Covid-19 di dunia dengan 1.077.630 kematian. Laman Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menyatakan, SARS-CoV-2 menginfeksi 333.449 orang di Indonesia, sebanyak 11.844 orang di antaranya meninggal dunia.
Sampai saat ini para ilmuwan terus melakukan penelitian dan uji coba untuk mendapatkan vaksin dan obat. Selama menunggu, untuk memutus rantai penularan, banyak negara menerapkan protokol kesehatan antara lain sering mencuci tangan dengan air dan sabun, mengenakan masker di tempat umum, menjaga jarak, serta mengurangi bepergian. Sejumlah penelitian menunjukkan, praktik itu mampu menurunkan kasus Covid-19.
Survei yang dilakukan para peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Bloomberg Universitas Johns Hopkins mendapatkan, bepergian, menggunakan transportasi umum, mengunjungi tempat umum penuh orang, meningkatkan kasus positif Covid-19. Sebaliknya, menerapkan jaga jarak bisa menurunkan jumlah kasus. Analisis hasil survei tersebut dimuat di jurnal Clinical Infectious Diseases, 2 September 2020.
Survei elektronik sepanjang 17-28 Juni 2020 itu melibatkan 1.030 penduduk Negara Bagian Maryland, Amerika Serikat. Tujuannya untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan protokol kesehatan, akses terhadap tes dengan metode reaksi berantai polimerase atau PCR serta status positif Covid-19.
Sejak 30 Maret hingga 15 Mei 2020, negara bagian itu menerapkan semacam pembatasan sosial berskala besar. Per 18 April, warga diwajibkan mengenakan masker dalam transportasi umum serta di toko bagi penjual maupun pembeli.
Baca juga Manusia Tak Berbakat Jaga Jarak Fisik
Pembatasan sosial dilonggarkan mulai 12 Juni 2020 dengan mengizinkan warga bersantap di restoran dengan kapasitas 50 persen. Kemudian pada 19 Juni, pusat kebugaran, toko, salon, taman hiburan, kolam renang, dan tempat ibadah dalam ruang boleh dibuka dengan pembatasan kapasitas.
Secara umum, 92 persen responden menyatakan keluar rumah untuk keperluan penting (ke toko bahan makanan atau apotek) setidaknya sekali. Dari jumlah itu, 40 persen mengaku pergi tiga kali atau lebih dalam dua minggu sebelumnya. Selain toko makanan, tempat yang dikunjungi yakni kediaman teman atau keluarga, tempat dalam ruang (bar, salon, restoran), tempat luar luar (pantai, kolam renang).
Hanya 18 persen responden menggunakan transportasi umum. Sebanyak 68 persen responden mengaku menjaga jarak secara ketat di dalam ruang, 53 persen di antaranya disiplin mengenakan masker.
Ada 55 responden mengaku hasil tesnya positif SARS-CoV-2. Hal ini terkait erat dengan frekuensi bepergian. Sementara itu yang hasil tesnya negatif adalah mereka yang ketat melaksanakan protokol kesehatan.
Analisis hasil survei menunjukkan, mereka yang terinfeksi 4,3 kali lebih banyak pada responden yang naik transportasi umum lebih dari tiga kali dalam dua minggu sebelum survei dibandingkan dengan yang tidak menggunakan transportasi umum. Riwayat infeksi juga 16 kali lebih banyak pada mereka yang mengunjungi tempat penuh orang tiga kali atau lebih dalam dua minggu sebelumnya, dibandingkan dengan yang tidak.
Sebaliknya, mereka yang ketat menjaga jarak hanya 10 persen berisiko tertular SARS-CoV-2 dibanding dengan yang tidak menjaga jarak.
Data menunjukkan, kelompok rentan lebih sadar menerapkan protokol kesehatan. Yakni, 81 persen responden berusia lebih dari 65 tahun selalu menjaga jarak pada aktivitas di luar rumah. Sementara pada responden berusia 18-24 tahun hanya 58 persen yang menerapkan jaga jarak.
Baca juga Menjaga Jarak Sosial, Antara Ada dan Tiada
"Kami melakukan penelitian di Maryland pada bulan Juni. Terlihat orang-orang muda cenderung kurang peduli untuk mengurangi risiko. Sebulan kemudian, sebagian besar infeksi SARS-CoV-2 di Maryland terjadi pada orang muda," kata peneliti senior Sunil Solomon, Guru Besar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins seperti dikutip ScienceDaily, 10 September 2020.
Negara lain
Sebelumnya, di Plos One, 30 Juli 2020, Daniel McGrail dari Pusat Kanker MD Anderson Universitas Texas dan kolega meneliti penerapan kebijakan jaga jarak di 50 negara bagian AS dan 134 negara lain.
Tim menganalisis data yang diperoleh dari Kumpulan Data COVID-19 Pusat Ilmu dan Teknologi Sistem Universitas Johns Hopkins. Informasi tentang kebijakan jaga jarak didapat dari Aura Vision Global COVID-19 Lockdown Tracker dan data mobilitas diperoleh dari laporan mobilitas Google. Semua data penelitian dikumpulkan pada 5 Juni 2020.
Analisis dilakukan terhadap kasus baru Covid-19 sebelum dan sesudah negara bagian memberlakukan kebijakan jaga jarak. Hal itu mengingat banyak faktor mempengaruhi penyebaran penyakit.
Hasil analisis menunjukkan, penurunan kasus Covid-19 signifikan terjadi pada negara bagian yang menerapkan kebijakan jaga jarak. Hal itu sebanding dengan penurunan mobilitas penduduk. Hanya ada tiga negara bagian yang tidak menerapkan kebijakan jaga jarak.
Karena itu, hasil divalidasi dengan menganalisis tingkat penyebaran Covid-19 di 134 negara. Rinciannya, 46 negara menerapkan kebijakan jaga jarak secara nasional, 14 negara dengan kebijakan jaga jarak per daerah/regional, serta 74 negara tanpa kebijakan jaga jarak.
Secara global, kebijakan jaga jarak signifikan mengurangi tingkat penyebaran Covid-19, kasus baru menurun sekitar 65 persen.
Secara global, kebijakan jaga jarak signifikan mengurangi tingkat penyebaran Covid-19, kasus baru menurun sekitar 65 persen. Pada negara-negara dengan kebijakan jaga jarak, mobilitas penduduk berkurang signifikan dibanding negara-negara tanpa kebijakan. Negara-negara dengan kebijakan jaga jarak secara nasional mengalami penurunan kasus lebih besar daripada negara-negara dengan kebijakan regional.
Hasil tersebut menunjukkan, kebijakan jaga jarak dapat menjadi alat ampuh untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Hasil yang sama didapat dari penelitian Mark Siedner dari Rumah Sakit Umum Massachusetts dan Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, dan kolega yang dimuat di Plos Medicine, 11 Agustus 2020.
Tim melakukan penelitian perbandingan sebelum dan sesudah penerapan kebijakan jaga jarak di seluruh negara bagian di AS untuk memperkirakan perubahan pertumbuhan kasus Covid-19. Yaitu, jumlah kasus 14 hari sebelum penerapan kebijakan ditambah 3 hari setelahnya, dibandingkan dengan jumlah kasus 4 hari setelah penerapan jaga jarak hingga 21 hari kemudian.
Didapatkan, kebijakan jaga jarak mengurangi jumlah kasus Covid-19 sekitar 1.600 kasus pada 7 hari setelah penerapan, berkurang sekitar 55.000 kasus pada pelaporan 14 hari setelah implementasi, serta berkurang sekitar 600.000 kasus pada 21 hari setelah implementasi. Tingkat kematian terkait Covid-19 juga turun 2 persen sejak 7 hari setelah penerapan kebijakan jaga jarak.
Jarak aman
Menurut Nicholas Jones dan kolega dari Universitas Oxford, Inggris, aturan yang menetapkan jarak fisik 1-2 meter antar orang untuk mengurangi penularan virus korona baru, sudah ketinggalan zaman.
Aturan itu mengabaikan fisika emisi pernapasan, di mana berbagai ukuran percikan cairan tubuh yang tersembur lewat bersin atau batuk bergerak cepat lebih dari beberapa meter dalam beberapa detik. Setelah gerakan semburan percikan melambat, maka ventilasi, pola aliran udara, dan jenis aktivitas ganti berpengaruh. Hal lain yang penting dalam penularan SARS-CoV-2 yakni jumlah virus, lama waktu paparan, serta kerentanan seseorang terhadap infeksi.
Untuk itu Jones dan kolega yang melakukan analisis bersama Lydia Bourouiba, Guru Besar Fisika Fluida, Institut Teknologi Massachusetts, AS, dalam publikasi di BMJ, 25 Agustus 2020, mengusulkan rekomendasi risiko penularan berdasarkan sejumlah faktor yang berpengaruh (lihat grafis).
Menurut mereka, penentuan jarak aman 1-2 meter didasarkan penelitian ahli bakteri dari Jerman, Carl Flugge, tahun 1897, sebagai jarak sampel tetesan yang terlihat mengandung patogen. Namun, dalam perjalanan waktu dan perkembangan teknologi, terlihat bahwa jarak “terbang” kuman ternyata lebih jauh.
Bernyanyi, batuk dan bersin bisa menghasilkan semburan percikan cairan dengan momentum tinggi yang dapat menjangkau hingga 7-8 meter dalam beberapa detik. Temuan dari penelitian dinamika fluida ini membantu menjelaskan mengapa di satu tempat paduan suara di AS, seorang penderita Covid-19 bisa menulari 32 penyanyi lain meski jarak fisiknya relatif jauh.
Kasus lain dilaporkan terjadi di pusat kebugaran, pertandingan tinju, tempat ibadah. Terengah-engah akibat berolahraga berat menyebabkan aliran napas bergerak dengan momentum lebih tinggi dibanding pernapasan biasa. Jika olahraga dilakukan di udara terbuka, semburan partikel dalam napas lebih cepat terurai dibanding dalam ruangan.
Pengaruh aliran udara dari ventilasi lokal terlihat pada kasus penularan di sebuah restoran di China. Sepuluh orang dari tiga keluarga terinfeksi pada jarak hingga 4,6 meter tanpa kontak fisik langsung.
Kelompok Penasihat Ilmiah untuk Situasi Darurat Inggris (SAGE) memperkirakan, risiko penularan SARS-CoV-2 pada jarak 1 meter bisa 2-10 kali lebih tinggi daripada jarak 2 meter. WHO juga melakukan kajian sistematis untuk menganalisis jarak fisik terkait penularan Covid-19. Risiko penularan pada jarak kurang dari 1 meter adalah 12,8 persen. Sedangkan risiko penularan pada jarak lebih dari 1 meter hanya 2,6 persen.
Sejumlah bukti menunjukkan, SARS-CoV-2 bisa “terbang” hingga lebih dari 2 meter dalam semburan bersin atau batuk penderita. Karena itu, aturan jaga jarak seharusnya tidak terbatas pada 1-2 meter, tapi perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi risiko penularan termasuk ventilasi, kepadatan orang di suatu tempat, serta waktu paparan.